{hal-hal}
8/16/2011 06:09:00 PM
semacam kontemplasi selama dan pasca classy conversation (hahaha) sama monic kemarin sore.
*
belakangan ini saya agak mengkhawatirkan beberapa pihak yang mengagung-agungkan kebebasan, sebagaimana secara natural dilakukan oleh setiap orang, namun akhirnya malah dipenjara oleh kebebasan itu sendiri. kebebasan dianggap sebagai kuasa manusia untuk bisa melakukan segala, sehingga mereka yang terpenjara menganggap bahwa karena hakikat manusia adalah kebebasan, maka mereka berkewajiban untuk dapat bisa melakukan segala-galanya atas nama kebebasan yang dipanggulnya; padahal sebenarnya, kebebasan (dan dikutuknya kita untuk memilikinya) lebih merujuk pada kuasa untuk bisa melakukan pilihan dan bertanggung jawab terhadap pilihannya itu.
harus diakui bahwa kurang lebih benar apa yang disampaikan oleh arkan, bahwa kata “kebebasan”, seperti halnya “absurditas” adalah pemborosan kata dalam bahasa, namun kebebasan sendiri tetap akan ramai diperbicarakan orang, atau setidaknya tetap menjadi bagian dari kontemplasi filosofis pribadinya tanpa harus ruwet merumuskan definisi dari kebebasan (yang akan menjadikan kebebasan itu sendiri tidak bebas karena dibatasi oleh definisi) untuk dijadikan definisi universal untuk semua orang. oh hey, iya kebebasan itu eksistensial menurut saya.
mungkin tragis melihat yang sedang saya lakukan sekarang hanya semacam pemerkosaan kebebasan dari “kebebasan” itu sendiri, tapi bagi saya masih jauh lebih tragis orang yang malah dipenjara oleh kebebasannya. kebebasan bisa ada karena ada batas, dan menurut saya, setiap orang yang mengejar kebebasan seharusnya juga bisa tahu sampai mana ia harus mengendurkan kekang dan sampai sejauh mana ia tetap berada di dalam kekang.
perkara itu, saya ingat kak fer pernah membicarakan kebebasan yang justru tidak akan lagi bermakna jika ia adalah bebas sebebas-bebasnya. mengutip,
“Tanggung jawab adalah ciri kebebasan manusia. Maksudnya, kebebasan kita bermakna kalau ada tanggung jawab. Ketika kebebasan dimaknai sebagai dapat melakukan apa saja tanpa batas, ia justru kehilangan maknanya. Kalau kamu boleh melakukan apa saja tanpa ada batasan, masih adakah makna bagi kata kebebasan? Bisa-bisa kita terpenjara oleh ‘kebebasan’ itu sendiri.” yang kurang lebih sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Sartre dalam kalimatnya yang terkenal, “man is condemned to be free.”
demikian kebebasan saya yakini beresensi.
dan si kebebasan ini dalam memenjara orang, sama biasnya dengan kata “berontak” atau “pemberontakan”. pemberontakan menjadi kata yang menarik terutama bagi mereka yang begitu mengagung-agungkan kebebasan. pemberontakan dianggap sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menunjukkan kebebasan dalam dirinya. tapi sayangnya, generasi kita ini generasi yang mudah diperdaya oleh jargon. we're all just easily mesmerized by jargons, lalu dengan naifnya berpikir bahwa pengetahuan yang parsial tentang suatu hal sudah cukup untuk menjadikan kita selalu benar dengan berdalihkan jargon tertentu. pathetic. super pathetic.
dan perkara orang-orang yang memberontak hanya dengan alasan, “gue pengen aja. karena gue capek dikekang-kekang” is pretty irrational. mungkin bukan irasional sih, tapi lebih ke arah unacceptable, karena enggak signifikan dan enggak bertanggung jawab. oke, lo berontak, dan lo sadar kalo elo lagi berontak, tapi lo harus tahu apa yang lagi diberontaki dan apakah memang penting pemberontakan yang lo lakukan? Jangan-jangan hanya sekedar pemuasan diri sendiri tanpa menghasilkan apa-apa yang justru malah menyakiti orang lain. contohnya kerusuhan di L0ndon kemaren. hahaha ini kejauhan sih, tapi memang contohnya kayak gitu hahaha. mereka bilang revolusi dan wawancara dengan rioters yang saya baca di kompas, beberapa mengaku dirinya anarkis. nah kan. yang namanya revolusi itu menggulingkan suatu sistem otoriter untuk tujuannya kesejahteraan umum yang dianggap enggak lagi bisa terwujudkan dari system yang ada, bukannya ngerampokin masyarakat lo sendiri.
semua orang punya idealisme. tapi enggak semua orang itu idealis. kebanyakan dari mereka yang terlalu memberhalakan kebebasan (memuja, mengejar, tanpa pernah tahu hakikatnya apaan) biasanya sih idealis. menurut hemat saya. dan yang menyebut diri sendiri idealis, jangan-jangan enggak paham apa itu artinya “idealis” hanya karena keburu jatuh cinta aja sama jargon itu. Idealis, my dear, menganggap bahwa yang riil adalah idea yang ada di kepala. dan orang yang sepenuhnya idealis enggak sekeren how the jargon sounds. segala sesuatunya mesti seimbang karena hidup di dunia ini enggak sendirian. mungkin memang lo terjebak di antara society yang kayak tai (no, you’re not alone) sehingga berpikir bahwa hanya idealisme-mu sendiri yang patut untuk dipercaya. but what is truth, darling, if no one ever refutes it?
kadang saya berpikir bahwa orang yang terlalu idealis itu kayak orang yang hidupnya penuh sama denial. iya, termasuk mengejar kebebasan yang diartikan ketertiadabatasan dan bebas yang tidak memandang apa-apa lagi selain idealisme yang ingin dikejarnya.
saya pernah di titik itu. terus jadi mikir. sebenernya saya ngapain juga? saya pribadi enggak mau hidup berakhir hanya dengan hidup untuk diri sendiri. so far, ketika sampe di titik itu, dan sekarang jadinya mikir, kalo saya malah keseringan bikin susah hidup orang dengan miskonsepsi kebebasan yang saya kejar.
kayak perbincangan kemarin dengan monic, berkaitan dengan cita-cita yang besar terhadap kebebasan dalam lingkup keluarga yang mengekang, kerena kalau memang kebebasan itu benar-benar ada, orang enggak akan ribut-ribut soal mengejar kebebasan. kayak omongannya jacque fresco, "The minute you hear “freedom” or “democracy”, watch out because in a truly free nation, no one has to tell you that you’re free."
kebebasan dicita-citakan supaya ada. dan menciptakan kebebasan enggak melulu serta merta lepas dari kekang sama sekali. dan berontak enggak berarti enggak ikut aturan dan jadi seenaknya. enggak ada yang salah dengan "jadi seenaknya", yang bermasalah ketika enaknya kita jadi enggak enak ke orang lain.
saya jadi mikir betapa konyolnya saya jika terus-terus berpola pandang bahwa orang tua saya harus bisa mengerti keinginan saya untuk bebas memilih dan bertanggung jawab sesuai kesadaran saya atas kebutuhan saya sendiri yang enggak seharusnya dicampuri orang lain (iya, umur saya udah mau dua puluh!), lalu saya berontak dengan cara ngabur-ngabur dari rumah, bikin khawatir orang tua, dan marah-marah yang ujungnya kurang ajar.
memang orang tua, tidak sepenuhnya benar dan tidak akan sepenuhnya salah juga. i should start to understand, bahwa orang tua saya juga sedang melakukan "kebebasan"nya dengan memilih untuk mengkhawatirkan saya, anaknya, yang menjadi tanggung jawab mereka.
dan jika orang tua saya berhak melakukan kebebasan mereka itu, maka di sinilah saya harusnya bisa menyuarakan kebebasan saya dengan lebih asertif.
enggak lucu juga, saya berbicara tentang keadilan, kebebasan, kemanusiaan kepada orang-orang di luar sana tapi sama sekali enggak berafeksi denganorang di rumah. kayak ngarepin ada orang lain yang bisa berafeksi aja sama mereka? dan hanya karena berbeda pandangan bukan lantas harus saya benci kan?
itu soal kebebasan dan pemberontakan di rumah.
idealis, ketika saya beranggapan idea saya lah yang paling benar satu-satunya. dan dodol ketika saya engga mau denger idea dari orang tua saya.
lah kok saya jadi curhat. krik.
tapi sepertinya, saya jadi kepengen ngomong:
kayak perbincangan kemarin dengan monic, berkaitan dengan cita-cita yang besar terhadap kebebasan dalam lingkup keluarga yang mengekang, kerena kalau memang kebebasan itu benar-benar ada, orang enggak akan ribut-ribut soal mengejar kebebasan. kayak omongannya jacque fresco, "The minute you hear “freedom” or “democracy”, watch out because in a truly free nation, no one has to tell you that you’re free."
kebebasan dicita-citakan supaya ada. dan menciptakan kebebasan enggak melulu serta merta lepas dari kekang sama sekali. dan berontak enggak berarti enggak ikut aturan dan jadi seenaknya. enggak ada yang salah dengan "jadi seenaknya", yang bermasalah ketika enaknya kita jadi enggak enak ke orang lain.
saya jadi mikir betapa konyolnya saya jika terus-terus berpola pandang bahwa orang tua saya harus bisa mengerti keinginan saya untuk bebas memilih dan bertanggung jawab sesuai kesadaran saya atas kebutuhan saya sendiri yang enggak seharusnya dicampuri orang lain (iya, umur saya udah mau dua puluh!), lalu saya berontak dengan cara ngabur-ngabur dari rumah, bikin khawatir orang tua, dan marah-marah yang ujungnya kurang ajar.
memang orang tua, tidak sepenuhnya benar dan tidak akan sepenuhnya salah juga. i should start to understand, bahwa orang tua saya juga sedang melakukan "kebebasan"nya dengan memilih untuk mengkhawatirkan saya, anaknya, yang menjadi tanggung jawab mereka.
dan jika orang tua saya berhak melakukan kebebasan mereka itu, maka di sinilah saya harusnya bisa menyuarakan kebebasan saya dengan lebih asertif.
enggak lucu juga, saya berbicara tentang keadilan, kebebasan, kemanusiaan kepada orang-orang di luar sana tapi sama sekali enggak berafeksi denganorang di rumah. kayak ngarepin ada orang lain yang bisa berafeksi aja sama mereka? dan hanya karena berbeda pandangan bukan lantas harus saya benci kan?
itu soal kebebasan dan pemberontakan di rumah.
idealis, ketika saya beranggapan idea saya lah yang paling benar satu-satunya. dan dodol ketika saya engga mau denger idea dari orang tua saya.
lah kok saya jadi curhat. krik.
tapi sepertinya, saya jadi kepengen ngomong:
i don’t want to be an idealist anymore.
i just no longer want freedom sets me unfree.
i just no longer want freedom sets me unfree.
mending saya jadi bitter realist aja kayak soe hok gie. gie ngejar kebebasan kok, dia sadar dirinya adalah manusia bebas, dan dia menyadari kebebasan sebagai kuasa untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. hidup pahit supaya bisa tahu atau sekedar punya makna ngejar yang manis. atau hidup manis untuk mengecap yang pahit. siapa yang bilang bahwa yang pahit selalu buruk dan manis selalu baik? tapi kalau mau nihilis juga terserah sih, meski saya jadi bertanya-tanya, how is it, to be responsible to my nihilism? semacam paradoks? atau malah membawa kita pada konklusi gesa akan ketidakadaan sebuah ketiadaan?
ah ngomong apaan sih saya ini. krik.
3 comments
Di satu tempat dimana tidak ada kebencian, orang orang bahkan tidak pernah mengenal arti kata itu.
ReplyDeleteAda di suatu tempat orang orang tidak mengenal kata pelit karena saat kamu meminta mereka memberimu semuanya dan kamu mengambil secukup yang engkau inginkan, karena dasar diri mereka adalah “Aku tidak memiliki tubuh dan semua benda di semesta ini, jika kamu menginginkannya ambillah sepuasmu, semua itu bukan milikku.”
Saat orang amerika lama mau memiliki tanah para Indian, mereka cukup memintanya karena para Indian amerika berkata “Tanah bukan milikku , aku tidak dapat membuatnya, jika kamu menginginkannya , ambillah.”
Saat seseorang berbicara kebebasan, dia sadar atau tidak sadar telah menempatkan dirinya sendiri pada sebuah posisi “Tidak Bebas” dan hendak menuju kearah kebebasan. Yang artinya Ia perlu memenjarakan dirinya sendiri untuk dapat melihat kebebasan itu seperti apa dan mendefenisikannya.
Seseorang tidak akan mengenal udara hingga ia tenggelam dalam lautan dan kehilangan udara.
Pada orang yang memiliki kebebasan kata kebebasan sama sekali tidak diperlukan, ia dapat melakukan apapun dalam wajar sebebas bebasnya. Ia memiliki semua pilihan dan tidak terpengaruh pengkondisian apapun termasuk bawah sadarnya. ( Dianetik mengenai bawah sadar dan pengkondisian oleh L. Ron Hubbard )
Pembentukan sebuah idealisme adalah berbahaya jika seseorang tidak memiliki pengetahuan akan dirinya sendiri, bagaimana seseorang tahu apa yang diinginkannya jika ia tidak mengetahui apa dia sebenarnya. Dan bagaimana seseorang dapat mengetahui apa dia sebenarnya jika ia sendiri tidak tahu mengapa dia hidup dan bagaimana dia bernafas, bagaimana dia berada disini.
Seseorang mungkin saja mengatakan ingin bebas dan melawan seorang raja dalam besar provokasi dan peng-agungan akan kebebasan serta pemberontakkan hanya untuk mendapatkan dia sebenarnya tidak menginginkan kebebasan, dia, sadar atau tidak, hanya membenci si Raja dan ingin membunuhnya.
Bawah sadarnya sebenarnya sedang mencari “cara” dan memakai alasan “kebebasan” untuk memenuhi hasrat pemberontakan atau pelampiasan kebenciannya pada Raja.
Ia terpenjara emosi kebenciannya pada sang Raja dan menemukan dirinya mencari begitu banyak alasan “Kebebasan,”, “Hak suara”, “Idealisme” dan sebagainya yang pada akhirnya hanya untuk melukai sang Raja. Atau juga menginginkan kekuasaan dalam kedok kebebasan.
Saat jerat ilusi dan bayangan terbebaskan, seseorang akan melihat kebebasan dirinya dan juga kebebasan orang lain, yang berarti. . . “Tidak Menghakimi dan Tidak menilai”
Melihat semua dalam mata “sudah sewajarnya” yang dalam arti ( percayalah banyak orang yang tidak akan suka ini ) tidak menilai sebuah pencurian, tidak menilai sebuah kebaikan, tidak menilai sebuah rasa sakit, tidak menilai apapun juga dan yang tersisa adalah “Sifat dasar sendiri” yang tidak terpengaruh atau terkondisi lingkungan bagaimanapun juga.
Contoh kisah
ReplyDeleteSeorang umat taat menyelamatkan seekor kalajengking yang tenggelam, namun kala jengking itu mengigitnya, dengan sabar umat taat itu meletakkannya di pinggir sungai dan mendapatkan kalajengking itu berputar putar sebelum akhirnya terjatuh kembali kedalam sungai, yang mana umat taat itu segera menyelamatkan kalajengking tersebut.
Yang dengan cepat tangannya kembali digigit oleh kalajengking dan tetap dengan sabar umat taat tersebut meletakkannya kembali di pinggiran sungai.
Dan kembali kalajengking itu bergerak berputar di pinggir sungai yang akhirnya terjatuh kembali kesungai dan umat taat itu kembali menyelamatkan kalajengking tersebut yang juga terus mengigitnya.
Umat taat itu kembali meletakkannya di pinggir sungai dengan sabar.
Seorang teman umat taat itu mengamuk dan berteriak “Mengapa kamu bodoh sekali mau menyelamatkan kalajengking tersebut, hanya mendapatkan tanganmu digigitnya, biarkan saja Ia tenggelam.” Umat taat itu kemudian berkata “Jika sudah sifat kalajengking mengigit maka sudah sifatku menolong. Tidak perduli ia terjatuh atau mengigit berapa kali, aku akan menyelamatkannya sebanyak itu.”
Kutipan buku “Doa Sang Katak”
Saat umat taat itu melihat kalajengking mengigitnya, ia tidak menjadikan hal itu sebagai “pelajaran” atau hal yang akan mengubah atau mengekang sifat dasarnya “ Menolong” ia melihat kalajengking yang mengigit sebagai suatu yang lumrah dan sebuah sifat dasar kalajengking.
Dia hanya perlu memutuskan ia menjalankan kehendaknya sendiri tanpa terpengaruh keadaan atau kondisi apapun.
Saat seseorang melakukan pencurian, adalah kebebasan kita untuk mau dipengaruhi kondisi dari luar dan membencinya atau tidak menilai hal tersebut itu dan berpegang pada sifat dasar sendiri untuk tetap menolongnya atau apapun itu.
Jika kita melihat seseorang yang memiliki sifat “mengekang” sebagai sifat dasar, adalah keputusan kita untuk melihat hal itu mempengaruhi diri kita, membiarkan kita terpengaruh dan dikekang atau tetap menjalankan sifat dasar kita yaitu mengasihi atau mencintai tanpa terpengaruh apapun yang mereka lakukan.
Jika melihat seorang pembunuh terluka parah, adalah kehendakmu untuk terpengaruh kejahatan dia dimasa lalu atau melihat dasar dirimu yang bersedia menolong manusia yang kesakitan didepan matamu.
Tidak terpengaruh oleh keadaan apapun dan memutuskan hanya dari dasar hati terdalam. Saat itu kamu akan lupa arti kata kebebasan, karena orang yang terpenjaralah yang memerlukan kata itu.
kisah yang menarik, kau tahu. manusia terbiasa berpikir apa yang dia pikir baik untuk orang lain pasti baik di mata orang lain itu.
ReplyDeletemanusia terlalu sering terjebak jargon moral responsibility, seperti si umat yang taat. kenapa dia disebut umat yang taat? harusnya ia disebut umat yang tidak pikir panjang (secara rasional dan emosional) apa yang mendorongnya terus-terusan menolong? sifat dasar? tanggung jawab moral?
siapa yang pernah tahu kalau untuk berada di daratan dan bukan tenggelam sudah pasti yang terbaik untuk si kalajengking?
dan jika sifat dasarnya adalah untuk menolong, si umat taat seharusnya bukan berpikir sekedar bagaimana si kalajengking tidak kembali ke air, tapi lebih jauh esensinya bagaimana si kalajengking bisa terus-menerus jatuh ke air sehingga bisa benar-benar mencari jalan menyelamatkannya secara menyeluruh, bukan sekedar "menolong" pada lapisan yang bukan pokok masalahnya.
manusia terjebak moral responsibility, kuulangi lagi. mereka memiskonsepsikannya, hingga tidak akan berujung pada apa-apa selain pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri untuk dianggap mulia, bukan membantu orang lain sebagaimana moral responsibility seharusnya berperan.
dan perkara kalajengking yang melulu menggigitnya terus menerus dan si umat taat menganggapnya sebagai sesuatu yang "noble", adalah bentuk miskonsepsi manusia yang lain tentang jargon "no pain no gain", disangkanya dengn sekedar terus dapat pain pasti akan gain, padahal kalau mikir lebih rasional bisa terseimbangi. lagipula jika memang maksudnya adalah menolong, dia tidak akan pernah menganggap gigitan kalajengking adalah sesuatu.