­

#bla

8/13/2011 04:08:00 PM

Tidak banyak yang saya lakukan sepanjang liburan: membaca, menulis, baca lagi, menulis lagi. Mengerjakan proyek ilustrasi buku, doodling mengisi lembaran sketchbook, menonton lini masa, menertawai drama dan kebanalan di dalamnya. Berdiskusi dadakan tentang apapun yang terlintas dalam kepala, menikmati diri berada di tengah manusia-manusia asing untuk mengikis sepi. Terkesima sepanjang pembacaan sajak, nyanyian orang-orang pinggiran yang dalam rantai tak kasat mata ada rasa berkawan, atau sekedar menyaksikan bulan penuh yang berkelana sepi; atau menyaksikan tari-tarian dari sudut kota yang sudah tak teramati, atau sekedar bertegur sapa dengan anak-anak jalanan yang bernyanyian riang dan memanggil-manggil, “Kak! Kak!” atau tenggelam di jalanan seraya berpura tak acuh di atas bis yang melaju, semisalkan dari tangerang hingga pasar minggu, gambir, atau kemana pun yang dulu pernah berada dalam list ‘tidak saya tahu’. Atau sekedar menyusur yang disajikan mesin pencari yang menyajikan tulisan pemikiran manusia yang terkenal atau sekedar dikenal, tentang kajian-kajian kiri yang menyegarkan, karena roman dan drama ada di titik puncak kejenuhan, kebanalan, atau apapun lah. Sudah keburu masuk bilik jengah.

Demikianlah saya ingin belajar tentang kehidupan. Mungkin memang baik jika bisa benar-benar kembali ke alam, karena yang dipelajari dalam menara gading yang terkomodifikasi hanya bersisa doktrin yang suam.

Yang mengherankan adalah kenyataan bahwa ibu saya takut saya hilang di ambil oleh alam, karena pesannya di awal kuliah hanya dua:
1. Jangan ikut demonstrasi, yang tak mungkin saya lakukan dalam kerangkeng sistem di institusi ini. Tapi setidaknya, proses berpikir masih bisa terpenuhi dan terus terstimulasi dengan koneksi abad 21 ini, dimana dialektika yang dianggap tabu di lingkup ruang kelas berisi kepala-kepala terkungkung doktrin kapitalis masih bisa dinikmati, bersama para orang-orang berhalu kiri (kau sebut apa? Kamerad? Demikianlah.) dan lagipula, bentuk protes yang demikian sudah tidak lagi mempan. Petinggi di Negara ini adalah orang bebal tak berindra dan tak bernurani.
2. Jangan ikut pencinta alam, yang tak bisa saya berontaki karena berhubungan dengan perijinan keberangkatan ke gunung yang bersyaratkan persetujuan orang tua yang tidak bisa saya palsukan karena akan membuat saya dikenakan sanksi dari institusi tentang pemalsuan tanda tangan pada dokumen. Konsekuensinya jauh lebih berat ketimbang memapah beban sampai ke puncak.

Iya, saya ingin naik gunung. Iya, saya belum pernah naik gunung.
Tapi ibu takut saya tidak akan sanggup, karena beliau pun belum pernah menjajal. Demikian saya bertanya, bagaimana kau mengijinkan anakmu ini belajar? Tapi ibu takut saya hilang di alam.
Padahal belajar kehidupan yang tulus rasanya hanya bisa dari alam.
Justru belajar tentang kehidupan dalam jeruji-jeruji kapitalis di kota inilah yang akan lebih kejam membunuh saya pelan-pelan. Menyedihkan kita yang teralienasi tanpa pernah menyadari. Sistem penghisapan persuasif manipulatif brengsek.

Suatu kali, sepulang dari Salihara untuk Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad, ibu mungkin sudah jengah memarahi saya yang enggan tunduk pada stereotip peran dari masyarakat patriarki tentang perempuan yang seharusnya tidak pulang larut malam, hanya bertanya, “Memang puisi-puisi itu berhubungan dengan kuliahmu?” Entah jika ibu memang pernah belajar mengerti tentang kaedah keindahan manusia. Desain grafis adalah ilmu seni terapan. Tetap yang menjadi akarnya adalah seni yang lekat dengan budaya, dan budaya adalah hasil pemikiran manusia yang terbentuk dalam dimensi waktu dan tempat tertentu, yang adalah kaya dan tidak instan untuk kita pahami. Dan desain grafis yang sangat humaniora, meski sebagian besar kawan tidak akan berpikir demikian, seharusnya juga bisa sangat jelas hubungannya dengan seni secara keseluruhan, dengan ilmu yang berhubungan dengan manusia lain secara keseluruhan: sejarah, antropologi, filsafat, bahkan teologi, kosmologi, sastra. Kesemuanya berhubungan. Desain grafis yang hanya komputerisasi adalah omong kosong institusi. Kau dididik bukan untuk jadi operator yang sekedar terima gaji. Tapi memang demikian apati dalam generasi gagap ini telah terpatri. Mereka malah sebut otak saya lain sendiri. Terserahlah. Menjadi bagian dalam sistem edukasi masa kini sangat rentan terjebak dalam reitifikasi, yang terpatri juga dalam kepala orang tua saya yang khawatir anaknya tidak bisa bertahan diri.

Entahlah. Bla bla bla ini ternyata malah jadi panjang tanpa inti permasalahan. Biarinlah. Bosan saya. Yang saya lakukan sekarang, detik ini maksudnya, hanya mensesap kopi (cangkir kedua hari ini), dengan tab google chrome saya membuka halaman artikel tentang anarkisme, komunisme, left-libertarianism yang mencakup dua poin pertama yang saya sebutkan, manifesto seorang asing tentang anarkis-komunis dalam mewujudkan equality, sebuah info talkshow perempuan dalam perspektif islam dari YJP yang demikian menarik hati, buku muka saya yang berganti foto utama menjadi sebuah potret bersama sapardi djoko damono, salah satu yang sajaknya seperti jerat dalam kepala, dan lini masa yang bercerita tentan siswa SMAN 28 yang tewas setelah sahur on the road karena kebut-kebutan. Baru kemarin malam melewati SMAN 28. Baru kemarin malam, satu jam menuju tengah malam tepatnya, bis transjakarta saya melaju kencang melewati Pejaten Village menuju dukuh atas dekat kecelakaan terjadi. Dan saya ingat, Vincent bertanya, “ini daerah apa?” saya jawabi, “pejaten.” Kemudian subuhnya, dua remaja usia enam belas tewas. Enggak berhubungan sih, tapi saya jadi ingat ibu saya suatu kali bertanya, “memangnya kamu pulang tengah malam sendirian itu enggak takut apa?” saya jawabi, dengan kejujuran saja, “enggak”. Dan mungkin saya benar-benar nihilis. Entah apa yang bakal terjadi, mungkin memang seharusnya terjadi. Oh itu fatalis namanya. Tapi bagaimana kalau saya bilang, saya memang tak punya pilihan akan keberadaan kehendak bebas saya yang membawa saya pada yang bukan apa-apa?
Ah sudahlah.

You Might Also Like

1 comments

  1. Sepatah kata mengusir sepi

    "CEWEK PEMBERONTAK!!!" begitulah kira kira kata yang akan dikatakan oleh orang orang di kampungku dan cukup setengah hari maka kabar itu akan hinggap di dapur dan meja meja makan keluarga mereka.

    Bagi diriku, kitalah yang menentukan untuk menjadi apakah kita atau memutuskan untuk menjadi apapun juga.

    Norma, aturan, keharusan. . . sudah lamaku tinggalkan sejak. . .

    Sejak saya bertanya kepada banyak manusia yang menurut mereka sudah berhasil.

    Pertanyaan sederhana...

    "Untuk apakah Manusia hidup?"

    Jawaban yang berbeda tapi begitu banyak kesamaan yaitu mencari uang, bahagia, berkeluarga, memiliki anak, menjadi tua, berguna bagi sesama dan akhirnya. . . Mati.

    Saya tertawa terbahak bahak, saya tidak perlu bahagia, saya tidak rela hidup saya hanya menjadi budak uang, saya tidak memiliki rencana berkeluarga, juga tidak perduli pada orang lain. . .kupikir satu satunya yang tersisa bagiku adalah Mati, yang mana juga akan kusambut dengan bahagia.

    Tapi mungkin ada sesuatu yang lebih dari pada semua itu, jawaban yang tidak dapat di jawab oleh mayoritas yang buta oleh norma dan aturan, "Kematian" boleh menunggu, pencarian harus terus dilakukan.

    Perjalanan mengarungi setengah indonesia mencari guru kehidupan dalam menembus misteri alam semesta.

    Perjalanan yang lama dan melelahkan dalam menembus dimensi ketiga melebihi akal sehat manusia dalam meditasi, spiritualisme dan nihilisme.

    Mempercayai apa yang telah menjadi legenda dan telah hilang dari sejak jaman Adam. . . menembus misteri kehidupan dan kematian .. memasuki rahasia Sir dalam hati yang mengungkapkan segala sesuatu di bumi dan semesta penciptaan.

    Perjalanan panjang menuju kesempurnaan dalam sepi kesendirian...

    Jangan percaya apa yang dilihat, baca atau dengar. Percayalah hanya pada apa yang terlihat, terdengar dan ter-rasakan oleh hati.

    Termasuk perjalanan menembus dimensi. Karena Manusia di takdirkan untuk memahami rahasia terdalam Penciptaan.

    ReplyDelete

followers

Subscribe