Perihal Dua Keping Bulan di Dinding Jendela
8/14/2011 01:09:00 PM
Ada seorang tak bernama yang dalam rupanya hanya menyajikan lengkung tanda tanya. Ujarnya, manusia adalah penjudi, dan Waktu adalah yang paling gemar kita curangi. Ia membalas bukan pada pekik saat sendiri, tapi pada lengkungan yang terpatri di dinding: dua keping bulan. Sebuah cindera mata dari seorang tak bernama. Dua keping bulan bersanding berhadapan di dinding jendela, tak berkata, tak beraksara, tak bernada, tak bernama, namun tetap punya percaya.
Kisahnya, waktu itu seorang anak laki-laki dengan celana kelabu lusuh datang mengetuk pintu.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Baru lalu pintu kayu bergeser di derajat tiga puluh.
“Ada pesan,” ujarnya sambil mengangkat kotak sepatu.
“Dari siapa?”
Anak laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengangkat lebih tinggi kotak sepatu hitam yang dibawanya. Di atas kotak sepatu, sebuah layang-layang bolong di sekitar buluh rebah dengan benangnya terkulai hingga ke kaki si anak laki-laki.
“Kau siapa?”
Anak laki-laki itu tak menjawab, pun tak menggeleng, tak memutar bola mata. Wajahnya adalah hampa.
Ketika itu oranye senja mencuri masuk ke cela pintu, lalu merambat naik ke atas bahu dan berbaring di situ. Tidak baik. Oranye senja di atas bahu berarti lumpuh. Berserah pada angkasa yang tidak lagi biru, lengah pada hantu-hantu malam yang datang meninabobo segala sesuatu, lalu kita menikmati yang tidak kita tahu. Demikian ia akhirnya tak bertanya lagi, “Siapa kamu?” seraya menerima kotak sepatu dan layang-layang usang di atasnya sambil perlahan merapatkan pintu.
Sebelum kembali hitam di dalam rumah, ia mendengar si anak laki-laki berkata datar, “Aku pergi pada yang datang. Aku datang pada yang berpulang. Aku berpulang pada petang.” Lalu ia menghilang, bersisa debu-debu kota pinggiran yang bergelayut terbang.
Lalu habis terang.
Ia, seperti biasa, memilih duduk di dekat jendela menggelung diri di sisi tirai yang tak pernah dijabarkan. “Kesendirian butuh terang untuk berjalan,” sahutnya pada sebuah tanya kenapa. Kedua tangannya lekat pada pekat hitam kotak sepatu yang ia pikir akan sama kosongnya dengan bentangan cakrawala yang telah lewat satu koma sembilan dekade ia saksikan: menghabiskan genit benda angkasa segulungan rona-rona mesin pembuangan logam: menyisakan hanya bulan penuh yang diam dalam sepi, tak lagi perak.
Namun kotak hitam tak demikian hampa: ada dua keping cekung warna perak. Manis lagi perkasa.
Sepasang keping bulan.
Ia ternganga.
Di dasar kotak ada selembar kertas menguning yang lusuh dengan guratan pensil yang membias, katanya, “Jejerkan di dinding jendela.” Maka ia melakukannya. Dua keping bulan bersandar di dinding jendela, mengapit yang nyata yang menggantung sendiri berfigura tirai dan kayu dari Jepara. Ia hanya sampai pada tanya, ‘mengapa?’ tanpa pernah menjejakkan kaki pada jawabnya, karena ia terbiasa menghirupi yang di antara di dalam napasnya. Mungkin semacam gelisah, atau segala yang terbawa pada desah, yang hanya ia yang tahu mengapa ia menikmatinya.
Maka demikianlah: ia duduk menatapi angkasa yang hitam dengan bulan bundar menggantung sepi, di depan kakinya adalah si kotak yang menganga bersama layang-layang sama-sama tak lagi ia jamah. Pikirannya adalah gasing yang tak mampu diterka, bising dalam hening, dan ejekan-ejekan ranting terakhir yang gugur di selokan. Gerigi-gerigi usang berselingan di dalam kepalanya, berdecit, membumbungkan onomatope yang ringkih ke langit-langit rumah, lalu menyentuh genting yang bermesraan, hingga pecah menjadi duga. Raganya tak pernah kemana-mana.
Ketika itu kilatan menyambar di ujung jalan, yang ia saksikan dari balik jendela. Melongok cepat, namun dengan gesit menghela nafas berat. Bukan benda langit yang ia nantikan: hanya sebatas percikan kembang api yang menggelikan. Estetika kilatan buatan di cakrawala adalah bukti manusia yang kesepian, yang risau dalam kekosongan hingga menghadirkan kesemuan untuk ditertawakan. Demikian mungkin hakikatnya manusia mencari kebahagiaan: dari yang tak pernah bisa terjamah dalam dimensi keberantaraan.
Dan jarum jam berkejaran cepat. Tidak ada yang mengisi hamparan tua langit tak terbatas. Mungkin berita di televisi yang membaur dengan bual, atau memang malam di kota ini harus selalu bersanding dengan muram.
“Hai!”
Ia mendengarnya. Kejut.
Sebuah suara berteriak dari luar ketika jarum jam menunjuk angka tiga. Asalnya dari jendela. Seorang memanggil sesubuh ini? Aku tidak mengenal siapa-siapa, ujarnya. Tapi ia tetap melangkahkan kakinya kembali, lalu dengan kabur ia mengenali wajah di balik kaca.
Anak laki-laki yang sama dengan yang mengantar kotak hitam.
“Apa yang kau lakukan sesubuh ini?” Ia mengangkat sedikit kacanya. Angin pagi berkejaran tak sabar mencuri celah masuk ke dalam rumah.
“Mana dua keping bulanmu?” tanya anak itu.
Ia diam. Ia hendak bertanya jika memang si anak laki-laki ini yang mengirimkannya keping bulan, atau ia hanya mencuri lihat apa yang dibawanya di dalam kotak, namun yang keluar dari mulutnya hanya, “Mereka di sini. Kusenderkan di dinding jendela.” Ia menggerakkan ujung telunjuk ke sisi bingkai.
“Kau sudah bercakap-cakap dengan mereka?” Anak laki-laki itu merapatkan kemeja lengan panjang kotak-kotaknya yang melapisi kaos lusuh yang ia pakai waktu datang saat petang.
Ia terdiam, melirik ke dua keping bulan perak yang tak berbahasa. “Tidak.”
“Mengapa tidak?” jawab si anak cepat.
“Mengapa aku harus bercakap-cakap?” sergahnya cepat.
“Mengapa kau tak pernah bertanya?”
“Bertanya apa?”
“Mengapa kau tak pernah bertanya mengapa?”
“Mengapa aku harus bertanya mengapa?”
Lalu hening. Ada anjing di ujung jalan yang melolong, lalu kembali sunyi. Langit sebentar kembali birunya meski gelap. Mereka hanya bertatapan dalam diam. Ganjil adalah yang hitam mata mereka sampaikan.
“Ah, maka demikianlah ia menginginkanku menyampaikan perkataan ini,” ujar si anak akhirnya sambil merogoh saku celananya.
“Dia siapa?”
“Kau tetap tak bertanya mengapa?”
“Ah. Mengapa aku harus bertanya mengapa?”
Si anak itu menghela nafas, mungkin terbalut dingin, nafas yang berhembus dari mulutnya termaterikan oleh mata.
“Dengar,” ujarnya dengan wajah yang sama datarnya sejak semula.
Tiba-tiba saja sepi. Tidak ada anjing yang melolong. Tidak ada angin yang berbunyi. Tidak ada kerikil atau daun kering yang terjahili gravitasi. Tidak ada hembusan respirasi dari rumah-rumah di kanan-kiri. Tidak ada curian suara detak jantung yang meninggi. Tidak ada apa-apa. Hanya sunyi, yang dengan cepat diisi oleh si anak laki-laki yang berdeklamasi.
“Mungkin kau akan menulis tentang yang hilang atau sesuatu yang tak pernah di sana, tentang yang telah punah atau sesuatu yang tak pernah ada. Karena dua keping bulan yang bertatapan di dinding jendela adalah rupa manusia pasisir dalam kelana yang sepi, sunyi di bima sakti dalam keasingan trilyun galaksi – enggan rebah di tepi. Lihat, kau bahkan tidak bercakapan dengan mereka. Kau hanya mengagumi sepi.
Bukankah menyedihkan bagaimana kita menjadi?
Maka kini kupinjamkan juga layang-layang yang telah usang, yang telah terbang mencicip angkasa dari biru yang temaram, oranye yang mencibir, dan hitam yang menyesap; ia telah terbang bebas, lari dari kekang. Ya, ia telah lunglai dan muram, pun kau dalam mencari telah sama lunglai dan muram; tapi tak mengapa, karena muram bukan yang harus kau sematkan sebagai kebanggaan untuk berhenti berjalan. Tapi tetap kau sisihkan. Kemana talinya terkulai adalah jejak langkah dimana kau akan kembali, meski mungkin kau tak peduli. Dan kau memang tak pernah peduli. Dimana layang-layang usang yang kuberi? Hanya setipisan kalkir yang mati dan nir-arti. Kau hanya mengagumi sepi.
Kau mungkin tak mengenal banyak tentang aku, tapi mungkin kau telah mengenal banyak tentang aku; seperti kau yang banyak berbicara tentang aku dalam seteru, seperti kau yang banyak bicara tentang aku dalam sampiran doa yang kelabu lalu kusam membiru. Kau hanya tak mengenal aku dalam nama yang tak pernah kau ijinkan aku untuk memangku. Demikianlah kita pernah bertemu.
Lalu usai. Lalu geram, karena pada keterbatasan manusia akhirnya terpaksa mengabdi.”
Suara si anak laki-laki adalah gesit yang melesat cepat dalam hening yang menjerat. Kebas di hatinya. Beku di nadinya. Dan yang bersisa hanya suam-suam yang meninggi sepanjang peraduan nafas yang berkejaran. Tidak ada salam, tidak ada perkenalan, tidak ada impresi yang bersisa untuk berkelibatan. Hanya ada pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah diajukan. Si anak laki-laki memandang datar, hitam iris dari bola mata bundarnya tak bercerita apa-apa. Mungkin sepersekian detik ia pernah berpendar memberi petunjuk, namun tak membawa pada apa-apa. Ia hanya mengangkat tangannya, melambai, lalu membalik badan berjalan cepat lalu hilang di pertigaan.
Pada saat itu ia mulai bergumam, “Mengapa?” tapi tak ada yang menjawab. Mungkin semesta tertawa mendengarnya, maka ia hanya membisikkan saja dalam hatinya. Namun dua keping bulan dan layang-layang usang tak pernah menjawab tegur sapa, hanya diam tak berkata dan tak membawanya pada apa-apa. Begitu seorang tak bernama meninggalkan jejak untuk berkawan dalam dimensi hampa bahasa. Tapi mereka tetap di sana menyampaikan kisah tentang kebisuan. Dua keping bulan bertatapan dalam peraknya.
Sesudahnya si anak laki-laki tak pernah datang lagi. Dua keping bulan masih di dinding jendela. Layang-layang usang masih bersandar di lantai di bawah bingkai jendela dengan talinya terkulai di ubin yang dinding menjejak tanah. Tanda tanya hanya semakin besar menggantung di udara.
Tidak ada yang berubah.
Selain pada malam-malam sesudahnya hingga pada batas waktu yang hanya disimpan oleh jagat raya, ia tak pernah menyaksikan lagi keperakan di langit malam yang ia biasa saksikan. Langit adalah kosong yang temaram. Angkasa malam hanya gelap tanpa batas yang menggoda untuk digenggam.
Langit hanya sekedar hitam.
Sekedar
hitam.
0 comments