sudah selesai dengan diri sendiri?
3/23/2013 11:23:00 PM
jadi, kembali pada hal ini :
kemarahan pada lingkungan sekeliling yang tak kunjung memiliki kesadaran bahwa desain grafis adalah sebuah profesi sehingga begitu banyak yang harus diperjuangkan agar tak selamanya dipandang sebelah mata. ECIYE...
selagi membaca 79 Short Essays on Design-nya michael bierut, saya sadar bahwa kesadaran diri saya sebagai seorang desainer grafis lebih banyak disetir oleh ke-sok-tahu-an dan sok-ingin-dihargai-segitunya. saya hampir ingin bilang dan nyinyir : bahwa desain grafis indonesia ketinggalan begitu banyak hal. lalu tiba-tiba saya ingat, bukan bermaksud untuk jadi lebay : saya sebagai mahasiswa desain grafis yang dididik di institusi indonesia (tingkat akhir pula!) bukannya juga turut memegang tanggung jawab untuk 'mengejar' ketinggalan-ketinggalan itu?
selagi saya menyinyir ketertinggalan desain grafis indonesia dengan negara lain apalagi di barat, saya sedang membuang-buang waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk menghasilkan karya-karya; termasuk karya-karya fungsional yang sedikit banyak membuat publik mulai berpikir bahwa, "kita memang butuh perancang grafis" atau proyek-proyek eksperimental yang dapat menambahkan sesuatu pada desain grafis sebagai ilmu (yang karena ada ilmunya maka berguna juga pada industrinya).
sebab jangan-jangan, ketika kita menuntut penghargaan publik akan kedesainer-grafisan, sebenarnya kita juga tidak paham-paham benar bagaimana memposisikan diri sebagai perancang grafis, atau bahkan juga tidak paham apa yang seharusnya dikerjakan dengan bekal disiplin ilmu desain grafis, atau malah-malah juga tidak memahami desain grafis itu sendiri.
seperti sebuah akun yang memberikan komentarnya dalam sebuah blog post yang dibuat oleh ADGI terkait program yang hendak beliau-beliau kerjakan untuk desainer grafis indonesia. akun ini berkomentar yang kurang lebih berbunyi: saya mendukung upaya untuk kesejahteraan desainer grafis, termasuk saya yang bertanggung jawab atas keluarga saya ini. dan bagian disamber-geledeknya adalah si akun ini bergerak dalam jasa desain grafis harga grosir (harafiah) yang menjual paket desain tiga puluh ribuan. (sayang saya lupa nama akun dan tautan situsnya.)
seperti sebuah akun yang memberikan komentarnya dalam sebuah blog post yang dibuat oleh ADGI terkait program yang hendak beliau-beliau kerjakan untuk desainer grafis indonesia. akun ini berkomentar yang kurang lebih berbunyi: saya mendukung upaya untuk kesejahteraan desainer grafis, termasuk saya yang bertanggung jawab atas keluarga saya ini. dan bagian disamber-geledeknya adalah si akun ini bergerak dalam jasa desain grafis harga grosir (harafiah) yang menjual paket desain tiga puluh ribuan. (sayang saya lupa nama akun dan tautan situsnya.)
dalam sebuah obrolan, saya ingat seorang dosen pernah berkata: desainer grafis seringkali merasa dirinya adalah mesias. saya tertohok. misalnya saja: hanya dengan membuat poster untuk isu sosial tertentu, beranggapan dapat menjadi satu-satunya penyelamat dunia. atau ketika kita memaki merk dagang tertentu yang dengan sengaja mendesain kemasannya dengan begitu cantik dan memikat padahal isinya merusak tubuh dan buang-buang uang dengan berpikir bahwa desainer komersil telah mendzolimi desain dengan merancang kebohongan tanpa mengingat ada faktor lain dari si produk yang menjadikannya dekat ke publik.
tapi adakah desain menjadi satu-satunya faktor penggerak dari setiap elemen kehidupan yang kita temui sehari-hari? seolah kita lupa ada faktor promosi, distribusi dan pemasaran, manajemen tim / organisasi / perusahaan, dan faktor-faktor internal lain yang ikut bersama dalam penyampaian suatu pesan dari produk / isu sosial. merancang poster tentang perang memiliki porsinya untuk menyebarkan pesan perdamaian ke seluruh dunia, tapi tidak menghentikan tank-tank berderak dan helikopter menjatuhkan bomnya, sampai si penerima pesan dari poster-poster berinisiatif melakukan hal lain selain merenungi poster dan entitas pelaku militer dan kenegaraan mencoba untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan pertimbangan etisnya.
menarik untuk melihat kerendahan hati dari sebuah rumah grafis Fifty&Fifty dalam menyadari perannya dalam lingkup kerja desain komunikasi visual dan isu sosial : "we aren't out to save the world", ujar keterangan tentang mereka, "but to tell the stories of people who are."
(juga lihat bagaimana mereka meletakkan kolom "budget" dalam form permintaan bekerja sama di situs mereka. jika tengah mencari jalan pintas menuju surga dengan menyumbangkan desain yang dianggap cukup untuk kerja gratisan, bekerjalah dengan projek yang memang sepenuhnya tidak komersil. selalu ada jalan bagi karya-karya baik untuk diapresiasi, meski tidak melulu uang. (tapi hati-hati juga dengan kedok 'kerja sosial' yang ternyata digawangi kelompok yang bermodal dan hasil kerjamu jadi sebuah umpan komersial. ada jarak tipis antara mencoba menjadi baik dengan menjadi ignorant - yang menjadi perpanjangan niat buruk.))
karenanya, bagi saya, berbicara tentang "apresiasi terhadap desainer" tak akan lepas juga dari upaya untuk memposisikan diri dengan tepat dalam sebuah proses kerja. belakangan saya berkesempatan untuk merancang beberapa materi grafis untuk beberapa isu (komersil/non).
bekerja bersama desainer grafis artinya kita melibatkan seseorang dalam sebuah projek untuk mengerjakan sebuah tanggung jawab yang memang tidak bisa kita kerjakan sendiri, meski pekerjaannya "cuma gambar-gambar doang" - yang pada kenyataannya si 'doang' ini bukan cuma perkara gitu-gitu doang. bukan sebuah keinginan yang utopis untuk mengharapkan sebuah relasi yang setara antara klien dan desainer. keduanya dalam posisi sama-sama membutuhkan. dan yang lebih penting: sama-sama memiliki pengetahuan yang lebih dalam porsi dan latar belakangnya masing-masing - dan karenanya mereka saling mempertemukan dirinya untuk menghasilkan sebuah output yang tidak akan berhasil hanya dengan peran salah satunya saja.
memang sebuah pekerjaan rumah yang lumayan besar untuk menciptakan kondisi yang demikian, tapi bukan sebuah ketidakmungkinan.
saya masih ingat ketika seseorang bertanya, saya mau kerja apa? saya bisa memikirkan begitu banyak pilihan pekerjaan (kebetulan saya memang anaknya banyak mau. ehem.), dengan satu benang merahnya: pekerjaan yang memungkinkan saya untuk bertemu banyak orang dengan beragam latar belakang, dengan cerita yang berbeda, dan tempat-tempat berbeda untuk meruangkan saya dengan rekan-rekan kerja saya. desain grafis menjadi salah satunya. karenanya, ketimbang pekerjaan yang harus saya lakukan di kantor, dengan melihat aspek kepuasan batin, saya jauh lebih bahagia dengan pekerjaan-pekerjaan yang telah saya selesaikan di luar. salah satu alasan utamanya: saya tak berjarak dengan partner kerja saya sendiri (saya kurang suka kata "klien"). saya menjadi bagian dari projek yang kami kerjakan dan berelasi dengan bentuk apresiasi yang setimpal antara satu dengan lainnya. saya tak teralienasi dari apa yang saya sendiri kerjakan. dan karenanya, memungkinkan saya untuk belajar banyak hal: baik mengenai kemungkinan-kemungkinan isu yang luas yang orang lain kuasai namun belum saya pahami maupun implementasi desain untuk permasalahan visual yang beragam.
saya malu sendiri mengingat pernah jadi desainer sombong (dan sotoy) dengan memposisikan diri "gue desainernya, nyet. elo tau apaan sih." dan "bayaran lo kecil amat. ngeledek? meski gue mahasiswa, gue punya hak dong sebagai desainer?"
ketimbang menyadari bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan yang sama dengan yang kita miliki, kita lebih suka jadi galak dan komplain pada dunia yang kita anggap begitu ignorant tanpa keinginan untuk membangun sebuah jembatan untuk melintasi jarak di antaranya.
michael bierut menutup sebuah esainya yang berjudul 'why designers can't think' dengan sinismenya yang khas :
-
jadi, sebelum menunaikan tugas mulia untuk menyebarkan semangat perjuangan keadilan bagi desain(er) grafis sambil berupaya memenuhi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia bersama manusia lain dan kehidupan secara luas, sudahkah kita selesai dengan diri sendiri?
1 comments
hmm, pertanyaan yang menggugah, terkesan biasa namun kerap disepelekan oleh 'diri-diri' yang hidup.
ReplyDeletesudahkah kita selesai dengan diri sendiri?
apakah kata 'selesai' itu berbatas (terukur secara kuantitatif) atau tanpa batas (abstrak)?
Menurutku yang juga sering berinteraksi dengan pengOrder desain/layout, kini percaya bahwa desain grafis bukan desain gratis :)