­

emosi, rasional, dan karya visual

8/22/2011 09:48:00 PM

Otak emosi manusia dengan otak rasionalnya bekerja secara terpisah, dan otak rasional manusia bekerja setelah otak emosi merespon cepat suatu kondisi secara otomatis. Waktu itu sih konteksnya tentang moralitas manusia yang dibentuk oleh otak, berkaitan dengan spiritualisme dan altruisme; dipaparkan di sebuah diskusi klub sains Freedom Institute hari Jumat, 19 Agustus 2011 kemarin. Intinya, moralitas manusia itu dibentuk bukan berdasarkan pemikiran rasional, tapi emosional; dan yang responnya lebih dulu adalah emosional, baru otak rasional setelahnya bekerja mengumpulkan bukti-bukti (seperti pengacara moral, istilah Dr. Ryu) untuk menjustifikasi suatu pernyataan moral yang dicetuskan oleh otak emosi.

Ada satu contoh menarik yang terbayang terus. Contoh ini adalah skenario moral sebagai bagian dari eksperimen Haidt:

Julie dan Mark, kakak adik yang berlibur ke Prancis dan oleh karena suasana hangat sehabis perjalanan, makan malam, dan minum anggur merah, mereka berhubungan seks dan menikmatinya, dan tidak mau mengulangi peristiwa itu lagi. Julie memakan pil anti hamil dan Mark menggunakan kondom. Keduanya berjanji untuk merahasiakan hal itu dan ternyata, hubungan seks tersebut membuat hubungan mereka semakin dekat. Apakah perbuatan itu salah?

Sebagaimana kebanyakan orang, reaksi pertama kita adalah mengatakan hal tersebut 'salah besar' dan "sewaktu Haidt meminta mereka untuk menjelaskan alasannya, mereka mengatakan hal tersebut akan melahirkan anak cacat dan merusak hubungan persaudaraan mereka, dan dengan santun Haidt mengatakan bahwa keduanya menggunakan pengaman dan hubungan tersebut malah mempererat mereka. Meskipun argumen-argumen mereka terpatahkan, mereka tetap bersikukuh bahwa hubungan seks antara Julie dan Mark adalah salah; dan eksperimen Haidt tersebut menunjukkan bagaimana orang-orang mengajukan alasan bahwa seks tersebut salah, dan ketika alasan tersebut dipatahkan, mereka mencari alasan lain lagi. Banyak alasan yang diajukan, namun tak seorang pun yang secara rasional bisa mempertahankan penilaian moral mereka."
"Skenario sederhana tentang hubungan seks adik-kakak ini membuktikan dua proses mental yang terpisah ketika kita membuat keputusan moral.... Otak rasional memberikan alasan-alasan, tetapi semua alasannya muncul setelah keputusan moral diambil."


Manusia itu adalah bentuk peraduan emosi dan rasional. Kalau kata Plato sih, rasional itu seperti kusir yang mengendalikan kuda liar bernama emosi (tapi disanggah oleh Dr. Ryu dengan kesimpulannya).

Tapi itu soal moral, yang penjelasannya bisa pinjam makalahnya dari saya untuk dibawa pulang untuk dibaca atau difotokopi. Saya bukan mau bahas moral, yang berada di luar otoritas saya.
Yang terus menempel di kepala saya adalah fakta kerja otak emosi dan otak rasional manusia dan hubungannya dengan bidang saya, desain komunikasi visual.

Desain komunikasi visual sendiri adalah sebuah ilmu seni terapan, dalam artian form seni yang tetap mengedepankan estetika dengan memiliki fungsi yang sesuai dengan konteks dan konten. Oleh karena tanggung jawabnya untuk menyampaikan pesan (sebagai media komunikasi), karya desain visual banyak bergantung pada target audiens yang dituju. Dan berangkat dari kesimpulan dari diskusi klub sains tersebut, kita bisa menarik kesimpulan juga bahwa otak audiens akan terlebih dahulu merespon secara emosional terhadap suatu hasil karya visual.

Dengan tergesa-gesa saya agak panik ketika pikiran saya membuat kesimpulan ceroboh, bahwa saya bisa disebut sebagai desainer yang baik jika hasil karya visual saya mampu membuat audiens merespon dengan emosi positif, seperti "Wah, bagus ya", "Saya suka", dan semacamnya.
Tapi kemudian, rasa-rasanya tidak.

Menurut saya, desain komunikasi visual menuntut lebih dari sekedar mengundang decak kagum audiens terhadap suatu karya visual, sebagaimana mereka melihat sebuah lukisan atau bentuk seni murni lainnya. Fungsi desain komunikasi visual adalah penyampaian pesan (baik untuk membangun persepsi, dan lain sebagainya), dan proses penyampaian pesan (komunikasi secara visual lewat desain grafis) adalah baik jika juga melibatkan otak rasional audiens dalam merespon suatu karya visual.

Seorang dosen pernah memberi contoh pada kasus seperti ini:
Misalkan dalam sebuah karya visual, pesan yang ingin disampaikan adalah makanan yang jorok, menjijikkan, dan tidak higienis sehingga tidak akan pernah memunculkan nafsu makan; yang tervisualkan, misalnya, dengan teknik fotografi roti berjamur yang ada di pinggiran tempat sampah berlendir dekat parit.
Begitu melihat itu, apakah audiens akan memunculkan emosi yang senang dan berkata, "Wah rotinya bagus?"
Tentunya tidak.
Tapi apakah itu berarti si karya visual itu berarti buruk? Tentu saja tidak.
Justru si karya visual itu telah berhasil menyampaikan pesan dengan baik, sehingga ia menjadi contoh karya visual yang baik.

Kendala yang seringkali ditemukan dalam mengerjakan suatu karya visual, menurut pengalaman empiris saya sebagai mahasiswa desain komunikasi visual, adalah tetap mempertahankan sisi rasionalitas suatu karya dibanding menghasilkan karya yang "sekedar bagus". Rasionalitas, dalam artian selain fungsi si karya visual tersebut (posterkah. bookletkah, packagingkah, cover CD-kah, atau lainnya), adalah penerapan keilmuan desain komunikasi visual itu sendiri: prinsip-prinsip desain, semiosis dalam proses pengerjaan, sebisa mungkin menghindari "obvious" yang hanya dibatasi sekat tipis dengan mediocre, dan sebagainya.
Yang menyedihkan adalah ketika mendengar seorang teman kuliah yang berkata, "Bagus." tanpa pernah mempertanyakan makna di balik setiap elemen desain yang diterapkan dalam suatu layout tertentu, padahal hal tersebutlah yang menjadi "tenaga" desainer grafis. Tidak ada bedanya dengan orang awam kalau hanya berkata sekedar "Bagus", yang adalah respon emosional, tanpa kemudian memberi kesempatan bagi otak rasional untuk menjabarkan, Kenapa. Tanggung jawab sebagai seorang yang menuntut ilmu di bidang desain komunikasi visual justru ada di situ: otak rasional yang ikut berpacu juga setelah otak emosional bekerja merespon suatu karya.

Itu dari pihak pelaku "pencipta karya visual" dalam merespon karya visual. Bagaimana dengan orang awam yang tidak memiliki latar belakang akademis desain komunikasi visual? Apakah perlu mempertahankan sisi rasionalitas di karya visual jika orang awam sebagai audiensnya pada umumnya hanya sampai respon emosional saja ("Bagus",  "Keren", "Menyentuh", dan sebagainya)?

"Kita harus bisa mengedukasi orang," kata seorang dosen saya waktu itu. Dan saya setuju.
Saya rasa, sebagai mahasiswa desain komunikasi visual, ada tanggung jawab untuk selain bisa menerapkan seni untuk menghasilkan respon emosi tertentu sesuai tujuan dari si karya visual, kita juga harus bisa menge-lead audiens untuk bisa berpikir lebih rasional juga.
Moga-moga beneran bisa saya terapin di karya visual saya.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe