Kesetaraan sebagai Mitos

12/29/2015 12:18:00 AM



Jadi, begini. Oleh karena kesalahan pendekatan akibat gagap metode dan fakir cengkerama-nan-woles-namun-bernas, saya urung menerbitkan satu tulisan. Tulisan yang dalam draft saya beri judul Menyoal Kembali Perempuan dalam Desain Grafis itu terlunta-lunta dari sejak persiapan: diselang-seling kebutuhan ini-itu yang harus dikejar di akhir tahun serta dilengkapi alasan-alasan imbisil lain yang menjadikannya sekumpulan paragraf seribu lebih kata yang tak jelas juntrungannya. Sebelum tahun ini berakhir, anggaplah catatan ini semacam bekal sebelum menumbuhkan kembali upaya untuk merombak tulisan itu. 

Ketika awal draft tulisan itu dibuat, saya menemukan ujaran yang menarik dari Paula Scher, seorang desainer di Pentagram (sebuah studio kolaboratif nan legendaris di Amerika) yang memberikan testimoninya dalam penelitan Rachel Irwin, Gender Inequality and The Role of Women within Graphic Design[1]. Dalam testimoninya, Paula Scher mengungkap, "Ketika seorang calon klien menghubungi Pentagram dan tak secara khusus menyebutkan satu nama desainer untuk bekerja sama, saya dapat melihat bagaimana mereka berpikir, “Kenapa saya dapat yang perempuan?” ketika saya menampakkan diri. Bahkan klien perempuan melakukan hal itu." 

Bayangkan, seorang Paula Scher—desainer legendaris peraih Medali AIGA (Institut Desain Profesional Amerika yang menginjak usia satu abad pada 2014 lalu)—masih memberikan testimoni semacam itu setelah lebih dari 3 dekade ia menekuni profesi ini!

Di tahun 1989, Cheryl Buckley menuliskan satu esai berjudul Made in Patriarchy: Toward a Feminist Analysis of Women and Design (yang saya temukan begitu sudah dikompilasi oleh Victor Margolin dalam Design Discourse: History, Theory, Criticism (University of Chicago, 1989)). Dalam esainya, Buckley menguraikan stereotip berbasis jenis kelamin (sifat perempuan sebagai yang terkodrat (nature) dan laki-laki yang lebih nurtural mempengaruh perilaku terhadap perempuan dalam dunia profesional (dalam hal ini desain atau seni) dalam konteks model ekonomi kapitalistik.


Melalui kurun waktu seperempat abad, preposisi Buckley masih relevan untuk mengambil tempat. Dalam survei yang dilakukan oleh Guardian, sebagaimana ditukil oleh Rebecca Wright, para perempuan mendominasi hingga 72,5% ketika mereka menjadi siswa di University of Arts London, namun presentasi itu kemudian berbanding terbalik ketika di dunia profesi.[2] Sedang dalam artikel Fast Company yang berjudul "Where Are All The Women Creative Directors?", Lydia Dishman mencatat bahwa ketika pasar/konsumen didominasi oleh 80%, perempuan hanya mengisi rasio 3% dari jabatan Creative Director. [3]

Namun demikian, apakah kondisi semacam itu juga relevan terjadi di Indonesia? Saya jadi gatal bertanya: apakah isu gender—yang selama ini saya minati (belum sampai tekuni), dapat menjadi cermin refleksi pula dalam bidang ilmu dan profesi yang saya tekuni? Persoalan kekerasan berbasis gender saya temui dalam sejumlah kasus relasi domestik (rumah tangga, pasangan) dan dalam ranah sosial yang lebih luas (sejumlah peraturan perusahaan, peraturan daerah, dsb.) Akan tetapi, bagaimana dengan desain grafis?


Karena penasaran, saya mencoba berbicara dengan sejumlah perempuan yang berkecimpung di desain grafis. Harapannya, dapat meraba situasi. Hasil-hasil wawancara yang saya peroleh dari sejumlah perempuan yang berprofesi sebagai kepala studio, pekerja desain lepas, dan pendidik desain itu saya kompilasi dalam satu folder dan satu dokumen pemetaan data ringkas. Seminggu terakhir sebelum akhirnya saya memutuskan bahwa tulisan itu tak akan pernah bisa naik tepat waktu, kompilasi itu membuat saya harus menarik napas panjang: hampir lebih dari separuh responden menjawab bahwa persoalan kesetaraan gender bukan lagi isu yang relevan.

Karena mempercayai bahwa patriarki yang dibumbui oleh kapitalisme ini sudah sedemikian rupa memarjinalisasi perempuan, saya jadi agak terpaku membaca hasil-hasil wawancara tersebut. Benarkah kesetaraan hanya mitos bagi para pekerja desain perempuan? Apakah dengan demikian jalur profesi desain grafis menjadi area "aman" bagi para perempuan untuk menjadi pekerja? Sebagai pelaku profesi, apakah para desainer grafis perempuan, juga mengalami diskriminasi dan menghadapi praktik-praktik bias gender sebagaimana pekerja perempuan di sektor yang lain? Ataukah karena profesi ini memiliki tameng-tameng bawaan yang menjadikannya berjarak dari problem itu? Ataukah persoalannya menjadi sepele karena pekerja desain adalah pekerja kerah putih yang telah terbiasa dalam ilusinya sebagai kelas menengah? 

Patut dicatat di sini bahwa mempersoalkan rasio jumlah perempuan berbanding laki-laki atau penyebutan "desainer grafis perempuan" alih-alih hanya "desainer grafis" tidak serta-merta sebagai upaya untuk mengistimewakan perempuan karena ia perempuan, melainkan sebuah upaya untuk melihat kembali bagaimana perempuan memperoleh tempat dalam suatu struktur sosial yang telah sepanjang abad diresapi oleh unsur-unsur patriarki. Memaksakan terpenuhinya kuota 30% perempuan di parlemen hanya supaya ada perempuan, misalnya, terlepas dari kualitasnya untuk duduk di parlemen, tak akan menjadi jalan keluar untuk menjawab persoalan gender ini. Yang menjadi pertanyaan 'kan kemudian, ke mana perginya perempuan-perempuan berkompeten ini?

Kita bisa saja mengatakan bahwa menjadi sebuah kultur tersendiri yang membentuk laki-laki lebih menonjol dan memperoleh hak istimewa sehingga ia menerus menjadi subyek dalam sejarah, sehingga perempuan tak pernah sempat memperoleh tempat. Atau mungkin karena memang tak ada perempuan yang—jika tak cukup kompeten—tak cukup percaya diri untuk menonjol. Atau memang para pencatat desain itu sendiri yang tak kunjung bekerja dengan perspektif gender yang adil.

Wawancara-wawancara itu membawa saya pada temuan-temuan yang membuat saya menyadari kekeliruan saya: tidak berbicara dengan lebih banyak pekerja.

Adalah kekeliruan saya ketika tidak menyadari bahwa tak semua desainer grafis perempuan yang saya wawancara familiar dengan isu ini. Sebagian masih mengira "kesetaraan gender" sebagai agenda para perempuan megalomaniak yang ingin mengistimewakan dirinya dengan mempersalahkan tiap keputusan laki-laki. Sehingga, dalam hal ini, dapat kita temukan responden yang menjawab bahwa "Tidak dihargainya perempuan dalam profesi adalah salah si perempuan itu sendiri karena ia tidak berusaha untuk memiliki kompetensi dalam profesi"—tanpa pernah melihat bagaimana kultur patriarki (kultur patriarki, bukan laki-laki) turut ambil peran dalam membentuk perempuan sebagai dekorasi sehingga kecerdasan hanya sebagai nilai lebih yang bersifat opsional, alih-alih keharusan.

Tingkat familiaritas ini setidaknya, saya simpulkan, bergantung besar pada satu virus dengan bahaya latennya nan ganas: hak istimewa (privilege).  Bagi mereka yang memiliki hak istimewa (privilege)—yang lebih dari separuh responden saya memilikinya—kesetaraan gender bukan kegentingan. Bukan karena mereka mendukung ketidaksetaraan, namun karena kondisi ketidaksetaraan tak pernah muncul di depan muka mereka, sehingga bagi mereka, perjuangan kesetaraan gender (baik dalam bidang desain grafis profesional maupun dalam lingkup yang lebih luas) adalah gerakan yang tak relevan.

Hak istimewa yang dimaksud di sini bersumber pada keistimewaan kapasitas ekonomi. Dengan kapasitas ekonomi, seseorang dapat dengan mudah mengakses sarana edukasi, literasi, serta koneksi; dan ketika seorang dengan hak istimewa masuk dalam dunia profesi, setidaknya mereka memiliki pula hak istimewa bernama kapital dan membawa mereka pada posisi tertentu. Ketika saya selesai memetakan hasil wawancara itu, saya teringat satu gambar yang pernah muncul di linikala Facebook seorang kenalan yang berbunyi:


"When you're accustomed to privelege, equality feels like oppression."


Ketika upaya pemenuhan diri tak hanya bergantung pada diri kita sendiri, melainkan pada instrumen lain yang dipekerjakan untuk memenuhinya, persoalan kesetaraan gender menjadi tak lebih dari sekadar sebuah mitos yang dibuat-buat oleh para perempuan yang mengenakan label feminis. Kesetaraan—dengan pemahaman maknanya yang telah didistorsi—menjadi agenda yang mengusik kenyamanan. Para responden yang menjawab bahwa isu kesetaraan gender dalam bidang profesi desain grafis bukan hal yang relevan adalah mereka yang memiliki hak istimewa itu: pemilik usaha, bos studio, dan memiliki latar belakang pendidikan yang juga ditempuh dengan hak istimewa kapasitas ekonomi. Mereka memiliki sejumlah perangkat untuk mengaburkan praktik-praktik yang bias gender: mereka memiliki hak istimewa untuk dihormati sebagai pimpinan (yang didapat karena kepemilikan kapital sebagai bagian dari hak istimewa itu) dan tak berada dalam situasi yang dapat memerangkap mereka dalam posisi yang inferior dalam relasi Yang Butuh dan Yang Dibutuhkan. "Sejak awal saya masuk dalam industri ini, saya telah menjadi pemimpin dan tidak mengalami yang namanya diskiriminasi," ujar seorang responden.

Sementara, mereka yang tidak mempekerjakan instrumen lain selain dirinya sendiri (sebagai karyawan atau pekerja lepas), menjawab dengan lugas bahwa isu kesetaraan gender adalah isu yang begitu relevan, baik dalam bidang desain grafis profesional maupun dalam lingkup sosial yang lebih luas. Mereka yang menjadi satu-satunya instrumen bagi dirinya guna pemenuhan ekonomi untuk dirinya sendiri itulah yang harus maju dan bertemu dengan entitas lain yang menjadi sumber pemenuhan ekonomi mereka. Dalam hampir seluruh relasi bisnis, misalnya bertemu klien atau menegosiasikan suatu proyek, mereka sendirilah yang maju menghadapi orang-orang yang memiliki kapasitas ekonomi sebagai Yang Dibutuhkan karena Saya Membayar Kamu.

Paula Scher memiliki kasus yang unik. Pentagram memiliki format organisasi yang anomali. Sebagai perusahaan desain, Pentagram bersifat kolaboratif. Masing-masing desainer yang bekerja di sana adalah partner yang setiap desainernya dapat menjadi pemimpin bagi sejumlah proyek yang ditangani atas nama Pentagram, alih-alih menerapkan sistem tangga jabatan sebagaimana perusahaan pada umumnya. Dalam pola kerja seperti ini, Paula Scher berada dalam kondisi yang sama dengan para responden yang menjawab bahwa isu gender adalah isu yang relevan: ia menjadi instrumen bagi dirinya sendiri untuk berkarya dan memenuhi diri.

Karenanya, meski kemudian tulisan itu urung diterbitkan, catatan ini cukup jadi bahan permenungan saya sendiri. Untuk melihat relevan atau tidaknya perspektif gender dalam desain grafis sebagai profesi, kita tidak bisa memulainya dari mereka yang dalam status quo berjarak dengan kondisi yang diskriminatif oleh karena hak istimewa itu.  Ketika mempertanyakan soal sulitnya perempuan bertempat dalam industri desain grafis, sebagai contoh, seorang responden menjawabi bahwa itu juga sebuah kesulitan untuk laki-laki. Namun kemudian, kita bisa bertanya, ke mana perempuan-perempuan itu kemudian di garis akhir kompetisi? Apakah mereka yang tak berhasil muncul di permukaan berarti tak memiliki kompetensi? Apakah mereka yang telah berhasil muncul di permukaan sudah pasti memiliki kompetensi yang lebih ketimbang yang tidak?

Sementara, untuk melihat apakah kesetaraan gender itu menjadi isu yang relevan atau tidak, yang dibutuhkan justru data pemetaan desainer grafis yang komprehensif untuk melihat rasio yang riil di lapangan, perbandingan gaji pekerja (bukan pemilik bisnis) desain perempuan dengan rekan kerja laki-laki sesama desainer yang memiliki pengalaman dan kompetensi yang setara, atau berbicara dengan para perempuan yang harus menjalani peran ganda dengan susah payah (karena dengan hak istimewa, desainer perempuan mungkin telah mampu untuk membiayai asisten rumah tangga atau pengasuh anak untuk membantunya dalam urusan domestik).

Seorang responden lain—yang cukup senior dalam profesi maupun sebagai pendidik—berujar bahwa yang bermasalah bukan cara pandang terhadap jenis kelamin, melainkan pada upaya pemenuhan hak-hak pekerja secara menyeluruh. Pertanyaannya kemudian juga dapat berkembang menjadi bagaimana dengan perempuan yang selain harus menghadapi isu diskriminasi kerja, juga harus menghadapi persoalannya sendiri dengan peran gandanya, bukan? Responden yang sama membuat catatan, "Perempuan sebagai desainer tidak memiliki peran khusus tersendiri, namun mereka memiliki tantangannya sendiri."




Saya pikir pun memang demikian. Bisa jadi saya besar kepala atau terlanjur naif, saya masih kepingin membuktikan bahwa isu kesetaraan gender masih relevan dalam desain grafis profesional—yang pasti bukan untuk yang punya hak istimewa. Nah, selagi saya mencoba untuk berlibur dan memusingkan tulisan itu lagi di kemudian hari—suatu waktu, ya, sesudah tahun baru—sudah baca artikel The Atlantic yang berjudul Star Wars: The Feminism Awakens? Meski kemudian, saya jadi gatal juga buat bertanya lagi: kenapa sih, baik dalam film maupun bentuk-bentuk artistik lainnya yang mengangkat perempuan yang melakukan perlawanan atau isu-isu terkait gender kebanyakan dikerjakan oleh kreator laki-laki? Atau kitanya saja yang terlanjur alergi dengan karya-karya kreator perempuan yang membicarakan topik kesetaraan yang itu-itu lagi?

(***)




[1] Irwin, Rachel. 2009. Gender Inequality and The Role of Women within Graphic Design. http://issuu.com/rachel_irwin/docs/itc_report_rachel_irwin.
[2] Siddal, Liv. 2014. Rebecca Wright on the ratio of girls with design degrees vs. those in the industryhttp://www.itsnicethat.com/articles/rebecca-wright.
[3] Dishmann, Lydia. 2013. Where Are The Women Creative Directors?http://www.fastcompany.com/3006255/where-are-all-women-creative-directors.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe