­

Identitas Nurani di Negeri Tirani Babi

6/15/2012 08:01:00 AM

- sebuah catatan sisa teror Metavana


Teror Doa-Doa

Tak lebih dari dua minggu setelah publik disuguhkan khidmat yang ramai dari pengibaran bendera pusaka di istana Agustus 2011 lalu di layar televisi, sebuah suara – yang seolah kecil volumenya – dari foto dokumentasi stensilan di tiang listrik dan tembok-tembok jalanan di kota Medan - dengan tanda identitas: Metavana. Ode 66th - yang muncul di laman muka mini-blog saya menyisa teror di kepala sampai sekarang : “66 tahun merdeka? Ah, becanda.

Metavana - Ode 66th. 2011

Hipnosis karya Metavana menetap di dalam kepala saya dengan bermula dari stensilan yang begitu menyentil di atas, yang dengan begitu sederhana mencibir euforia kemerdekaan di tengah kekesaran HAM dan ketidakadilan yang sebenarnya selalu disuguhkan di depan mata lewat layar televisi dan koran-koran. Begitu lugu namun lugas, begitu tenang namun menyerang, begitu sederhana namun menyublim dalam kepala. Karenanya akan tepat jika saya dalam masa-masa awal menyaksikan karya-karya Metavana menyebut apa yang dilakukannya sebagai sebuah teror pemikiran. Ia adalah seniman di balik teror poster yang kini mulai akrab di ruang publik: “Nurani semahal bensin murni.”

Metavana - Occupy The Conscience. 2012
Tak ada ruang yang disisakan bahkan untuk secuil kenyamanan ketika masuk ke dalam blognya yang khusus mendokumentasi karya-karya sekaligus teks-teks ringkas isi kepala yang tertuang di atas layar hitam. Metavana.tumblr.com adalah suara-suara kegelisahan yang begitu mengerikan, begitu risau dan menaklukkan; sebagaimana yang tertera pada deskripsi blognya: “Ode For The Unsafe; sebuah kidung pujian untuk yang tidak terselamatkan.” Baju-baju kenyamanan kita tak terselamatkan.

Barangkali berangkat dari sebuah persamaan pribadi antara saya dan Metavana dalam menggunakan blog kami sebagai sebuah pelarian dari kemuakan atas masyarakat yang menjenuhkan, karya-karya dan catatan pemikirannya seperti doa-doa yang mengundang saya untuk terus menanamnya dalam kepala – untuk singgah dan mencari perenungan, sehingga pada ketidaknyamanan saya selalu ingin untuk singgah lagi dan lagi; dan karenanya membangun kebiasaan atas kegelisahan – untuk menjadi nyaman dalam ketidaknyamanan.
Dari sana terbangun sebuah asumsi bahwa yang dilakukan Metavana adalah pelarian yang begitu pribadi sifatnya: ia berbicara dari dirinya sendiri untuk mencibir dirinya sendiri. Dalam sebuah posting singkat ia pernah menulis:
“MANUSIA BERDIRI DI BAWAH KAKI LANGIT YG SAMA; MERASA TERIK MATAHARI DAN LEMBUT SINAR BULAN YG SAMA, BERCAHAYA UNTUKMU TANPA PERLU TAHU SIAPA TUHANMU. JIKA CAHAYA BISA BERSIKAP ADIL, MENGAPA KITA TIDAK?” – Metavana (1 September 2011)
Namun perlahan, setelah karya-karya awalnya berbicara tentang kemuakkan atas religiusitas, politisasi agama, fanatisme buta, dan pertentangan-pertentangan semacam itu; karyanya bertransformasi menjadi doa yang berbicara pada cakupan publik yang lebih luas. Permenungan disajikan tentang politisasi atas kepercayaan religi dan filosofi kehidupan yang begitu pribadi sifatnya itu mau tak mau akan merasuk juga pada sistem kemasyarakatan – yang akhirnya menjadi salah satu faktor pembentuk fanatisme yang menggerogoti negara.

Seperti dalam karyanya berjudul Jalang (2011) yang distensil di tembok kampusnya:
Metavana - Jalang. 2011
dengan penuh kesadaran kita tahu bahwa kita tak sedang membaca pernyataan jalangnya seorang pribadi dalam coretan iseng di dinding, melainkan sebuah pernyataan komunal tentang kedirian kita dalam identitas keindonesiaan yang senantiasa disodorkan pada kenyataan perihal ketidakadilan dan ketidakmanusiawian yang begitu dekat dalam kehidupan setiap harinya.
Siapa yang tidak akan acuh dan berpura-pura tak mempertanyakan dalam dirinya masing-masing, seberapa tidak pedulinya kita hingga tak lagi menyadari bahwa kita bahkan telah terlalu jalang untuk jadi binatang? Ketika kemarahan dan kekecewaan atas sistem yang menginjak-injak kemanusiaan itu berubah menjadi kemarahan yang sifatnya lebih komunal, karya Metavana memasuki 2012 ini semakin lugas dalam bersuara. Tak jarang, kata-kata yang digunakannya pun seperti luapan yang dengan sengaja diijinkannya untuk tak disaring: serapah dalam karya-karyanya adalah kemarahan yang tak lagi bisa ditunda – semengejutkan foto cover laman Facebook-nya. Teror yang tak pernah selesai.
Metavana. 2012

Nurani di Negeri Tirani Babi

Bukan sebuah ketiba-tibaan yang begitu saja jika Metavana akhirnya mengusung kemarahan atas apa yang ia saksikan di masyarakat sebagai tema utama dalam karya-karyanya. Seniman di balik Metavana (yang enggan disebutkan nama aslinya) ini memasuki sekolah Seni Rupa di sebuah universitas di Sumatera Utara dengan minat dan cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seniman.
“Tadinya aku pikir jadi seniman besar itu keren: dengan nama besar, bla bla bla. Tapi semakin aku renungkan, semakin pikiranku tak nyaman tentang bagaimana gegap gempitanya seni rupa mainstream, sementara pengaruhnya ke masyarakat luas tidak terlalu besar; terlalu kena caplok sama pasar, auction, dan lainnya. Itu tak sepenuhnya salah, tapi bukankah seni seharusnya menjadi sebuah penyadaran publik? Aku lihat kesadaran ini memudar. Makanya, aku memutuskan untuk merekonstruksi pikiran sendiri mengenai kesadaran ini dengan mulai berkarya lagi,” papar Metavana dalam suatu kesempatan percakapan. 
Karenanya, ketika publik hanya disuguhkan oleh media-media yang disetir kepentingan politik dan sistem penguasa yang rakus dan korup (atau yang disebut Metavana sebagai ‘negeri tirani babi’), Metavana menjadikan karyanya sebagai sebuah perlawanan dengan menyuguhkannya langsung untuk dapat disaksikan oleh publik, bersaing dengan agitasi dan propaganda yang dilakukan penguasa lewat media yang melakukan pembodohan publik secara simultan. Publikasi karya Metavana diawali dengan stencil di tembok-tembok kampusnya, hingga akhirnya turun ke ruang-ruang publik di jalan-jalan kota Medan tempatnya berdomisili, dengan bergerilya saat siang maupun malam. Sasaran ruang pajangnya adalah yang erat dengan sistem yang bobrok, seperti di depan pengadilan negeri, di samping rumah dinas gubernur Sumatera Utara yang korup, juga pos-pos polisi. Belakangan ia juga memakai stiker yang distensil untuk mempercepat penempelan.

5 - tirani babi - SYSTEM. merah hitam Indonesia. metavana – 2012 (ditempel depan rumah gubernur)
(foto oleh Metavana)
Penyebaran upaya penyadaran nurani, atau yang disebut Metavana sebagai gerakan Occupy the Conscience, salah satunya merebak dengan dibantu kawan-kawannya di berbagai daerah di nusantara seperti Medan, Kalimantan, Jakarta, Bandung, Jember, Temanggung, Bali, dan Jogja untuk menyebarkan versi cetak dan softcopy poster propaganda bergambar seorang nenek yang menodongkan pipa bensin ke kepalanya: Nurani Semahal Bensin Murni (2012). Poster ini juga disebar pada rekanan di BarsDem (Barisan Demokrat) dan Aliansi Sumut Bersatu dalam demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di Medan, Sumatera Utara, pada Maret 2012 lalu.

4 - Demonstrasi Menolak Kenaikan Harga BBM (foto oleh Metavana)

Identitas, seni, dan resistensi

"They've been used to start revolutions and to stop wars. They look political just through the style. Even a picture of a rabbit playing a piano looks hard as a stencil," kutip Metavana dari seniman jalanan propaganda yang terkenal, Banksy, terkait alasan gaya stensil dalam karyanya. Sifat visual dengan stencil yang terkesan garang dan emosional bagi Metavana adalah yang paling bisa mewakili pesan-pesan propaganda nurani yang diangkat dalam karyanya, menjadikannya lebih mudah dicerna dan gampang untuk mempengaruhi audiensnya.
Konsistensinya dalam menggunakan stencil dalam street art-nya terinspirasi Jean-Michel Basquiat yang banyak mempengaruhi gaya-gaya visual awal Metavana (yang tak menggunakan stencil), hingga kenal stensil setelah mengetahui latar belakang Basquiat sebagai seorang street artist. Sisi emosional stencil Metavana yang begitu kuat ini adalah bentuk konsistensi yang ia gerakkan untuk mempropaganda nurani. Occupy The Conscience adalah doa teror komunal yang ia harapkan dapat menjadi hentakan revolusioner terhadap sistem yang telah menjadi begitu menjijikkan.

“Seni jalanan adalah tentang semangat untuk menentang sistem. Tentang bagaimana seni mempunyai kekuatan berdialog, dengan mendudukkan rakyat atau masyarakat sebagai subjek - sebagai pencipta kebudayaan, bukan sebagai konsumen kebudayaan . Sebagai seni yang mampu membangun paradigma tanpa sulit untuk mencernanya,” ujar Metavana.
Oleh sebab itu, yang menjadi penting dalam Occupy The Conscience ini bukanlah bagaimana identitas Metavana dan karyanya diangkat sebagai sebuah pemujaan sebagaimana yang terjadi pada seniman-seniman di galeri, tapi bagaimana ‘Metavana’ dapat menjadi sebuah konsep identitas gerakan komunal yang bisa dipakai, diduplikasi, diturunkan, dan digerakkan oleh siapa saja. “Terinspirasi dari V (V dalam V for Vendetta-ed.) juga kali ya, biar kalau aku mati, siapapun bisa pakai ide itu.”

“Seni adalah resistensi,” tegas Metavana, “Di saat kau bergerak, berkarya, melawan - bukan untuk dikenang, tetapi untuk perubahan. Bergerilya di balik nama yang bukan namamu dan memperjuangkan setiap tetes keringatmu demi sesuatu yang bukan tentang dirimu.”

--
Metavana – metavana.tumblr.com. Nama Metavana digunakan sejak 4 tahun lalu oleh sang seniman; sebuah gabungan dari bahasa Latin: meta; beyond, dan bahasa Spanyol: vana; a children of god; sebagai sebuah ejekan yang dipakai sejak karyanya mengangkat pertentangan agama.

2012

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe