­

Mencermin Kara

3/19/2013 09:45:00 PM

(diajak untuk menuliskan beberapa hal seusai menonton video trailer Kara yang diputarkan di kelas. video Kara diluncurkan sebagai demo dari sebuah proyek game Play Station 3.)

*


Teknologi tak pernah segan menghadirkan keajaiban. Kita terbiasa untuk mempersiapkan keterkejutan terhadap penciptaan baru setiap waktu. Teknologi yang pada mulanya dihadirkan untuk mempermudah kerja manusia, kemudian menjelma obsesi terhadap perkembangannya yang berkompetisi dengan kerja manusia itu sendiri. Barangkali demikianlah penciptaan teknologi membekas bagi manusia: kesadaran bahwa manusia ternyata bisa menciptakan sebuah produk kreasi yang mampu ‘melampaui’ dirinya sendiri.
Karenanya, menyaksikan trailer Kara yang disajikan oleh Sony Play Station 3 seperti sebuah proses pemanggilan pretext kita yang pada dasarnya telah menanti kemungkinan tertinggi akan keajaiban yang dapat dilakukan teknologi: menciptakan ‘manusia’.  Dengan grafisnya yang begitu realis, selagi satu per satu tangan-tangan mesin memasangkan perangkat pada bakal-tubuhnya, penciptaan sebuah robot manusia perempuan yang diberi nama Kara menjadi begitu riil dan relevan.
Sebagaimana penciptaan teknologi selalu diikuti dengan perbenturan norma-norma, video trailer Kara juga menghadirkan sebuah konflik yang begitu emosional. Kara, satu dari sekian robot yang diproduksi untuk dijual sebagai sebuah merchandise di pertokoan, menyangka dirinya diciptakan untuk dapat hidup. Kenyataan bahwa Kara mampu “berpikir” mengejutkan sang operator dan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan dalam proses pemasangan perangkat. Begitu riilnya teknologi menyusun komputer yang mampu menyerupai manusia asli, hingga ketika dalam wujudnya yang begitu serupa dengan manusia Kara berkata, “I’m a sort of merchandise, ain’t I? I thought I was alive”, sebuah perasaan simpatik akan ‘kegagalan’ hidup sang robot hadir dengan begitu ganjil.


Menyangkal Inferioritas
Menarik untuk melihat bagaimana dalam video tersebut tercermin sebuah obsesi manusia untuk ‘menutupi’ kekurangan dalam entitasnya sebagai manusia. Kara sang cyborg, dihadirkan sebagai sebuah sosok yang diidamkan. Sebagai sebuah komputer berdaging, Kara dan produk sejenisnya mampu diprogram untuk memenuhi standar-standar citra idaman akan manusia. Kara hadir sebagai sebuah produk ciptaan manusia dengan kemampuannya yang “sempurna”.
Menyaksikan penciptaan Kara mengingatkan pada sebuah poin dalam psikologi individual Alfred Adler. Bagi Adler, manusia digerakkan oleh satu dorongan dasar, yakni untuk berjuang dari perasaan inferioritas menuju superioritas. “To be a human being”, ujarnya, “means to feel oneself inferior.” Adler percaya bahwa perasaan inferior adalah sumber dari setiap perjuangan manusia. Karenanya, semua progres pertumbuhan dan perkembangan setiap individu adalah hasil dari upaya untuk mengimbangi inferioritasnya. Setiap individu berupaya mengatasi inferioritasnya (merasa tidak menarik, tidak diterima, tidak cukup kuat, tidak cukup cerdas, tidak cukup cepat, dan sejenisnya). Manusia senantiasa berjuang mengatasi sesuatu yang menghambat mereka untuk menjadi seseorang yang mereka inginkan.
Menurut Adler, upaya mengatasi inferioritas membentuk manusia untuk mencapai superioritas, mencapai kesempurnaan. Superior, tidak selalu berarti sebuah kompetisi, namun lebih kepada sebuah bentuk pencapaian diri sendiri (self-realization). Perkembangan teknologi merefleksi upaya manusia untuk mengatasi keterbatasan yang disadarinya. Teknologi menghadirkan ciptaan-ciptaan yang dapat ‘melengkapi’ kinerja manusia dalam beberapa aspek, seperti: akurasi, kecepatan, kepraktisan, kecekatan, kegesitan – aspek-aspek kesempurnaan. Saya jadi ingat sebuah percakapan dengan seorang teman yang berkesimpulan: Jika (konsep tentang) Tuhan adalah Yang-Maha-Bisa, kenapa Dia tidak bisa membuat ciptaan yang melebihi diri-Nya sendiri? Kara mencerminkan keinginan manusia untuk berkemampuan menjadi tuan atas ciptaan yang dapat melebihi dari dirinya sendiri.


Sebuah Obsesi Tipikal
Dengan kemampuan menciptakan kesempurnaan dan menjadi tuan atasnya, menarik untuk bertanya atas Kara : mengapa cyborg yang diciptakan harus berwujud perempuan?
Begitu riilnya Kara dibentuk menyerupai perempuan sehingga dengan mudah kecenderungan moral kita dibenturkan tatkala memandangnya: sebagai manusia atau benda mati yang dapat berbicara dan bergerak. Seperti dalam adegan yang seharusnya begitu emosional, kesadaran akan entitasnya sebagai komputer menahan sebagian dari diri kita untuk turut merasa simpatik.
Kara dan robot sejenisnya diciptakan untuk dijual sebagai barang yang dapat memenuhi beberapa kebutuhan. Sebagaimana tercantum dalam deskripsi video di akun Youtube PlayStationTrailer yang menunggah video ini, Kara diciptakan untuk dapat mengurus rumah, mengurus anak-anak, berbicara 300 bahasa, dan sebuah tugas yang begitu mudah diduga: sebagai pemenuh kebutuhan seksual (“remain entirely at your disposal as a sexual partner”). Di tengah masyarakat yang terbiasa menjajakan payudara, pinggul, dan paha serta kelamin perempuan sebagai barang jualan, penciptaan robot Kara adalah sebuah proyeksi obsesi yang tipikal di tengah masyarakat.
Dalam The Art of Loving, Erich Fromm pernah menulis bahwa dalam kondisi masyarakat yang dibangun oleh hasrat untuk membeli dengan konsep pertukaran yang saling menguntungkan (favorable exchange), ketertarikan antar manusia lebih menyerupai sebuah proses pertukaran komoditas. Two persons thus fall in love when they feel they have found the best object available on the market considering the limitations of their own exchange value (Fromm, 1956: 3).
Kara diciptakan untuk menjadi “pendamping”. Akan tetapi, dengan keberadaan bawaannya sebagai sebuah hasil ciptaan berwujud manusia, tak mungkin terabaikan kesadaran akan ‘posisi’nya yang berada “di bawah” spesies manusia yang telah penciptanya. Kara diciptakan tidak untuk berpikir (ia dianggap sebagai sebuah kesalahan karena berpikir). Kara yang berwujud perempuan dimaksudkan untuk menjadi sosok yang hanya perlu kita lihat sebagai sebuah obyek bukan subyek individu. Bahkan kesadaran dasar dan paling awal yang dimunculkan dalam tokoh Kara di video tersebut adalah kesadaran bahwa dirinya hanya sebuah merchandise.
Penciptaan Kara mengingatkan pada Real Doll, produk boneka seks asal Amerika yang dibuat begitu menyerupai perempuan asli untuk menjadi pemuas hasrat seksual. Pasar bebas yang ‘membiasakan’ masyarakat untuk memuja tubuh perempuan sebagai sebuah komoditas membentuk fetisisme yang terus menerus meningkat akan ‘perempuan’ sebagai obyek. Real Doll sendiri disebut-sebut akan dibuat agar dapat bergerak layaknya manusia. Teknologi memungkinkan pemenuhan keinginan manusia yang tak pernah merasa cukup. Pasar membangun dan mendambakan sebuah obyek perempuan dengan tugas-tugas yang telah ditentukan tanpa perlu memiliki kemampuan berpikir dan berkehendak. Kara is possibly a relevant image of ‘real women’ whom our patriarchal society has been dreaming of. Kara si perempuan idaman kini akhirnya tersedia di pasar.



Menjadi Mesin
Menyaksikan Kara dengan grafisnya yang realistis mengundang ketakjuban yang muncul beriringan dengan ketakutan. Barangkali terlalu berlebihan untuk memandang Kara, sebuah aplikasi game, sebagai sebuah cerminan akan tendensi manusia untuk terus menjadi lebih dan mahakuasa. Akan tetapi, pernyataan Dr. Michio Kaku akan selalu tepat untuk merangkum milenium yang dibentuk untuk memuja inovasi dan kreasi atas mesin-mesin ini : “Ironically, the more machines become like human, the more human should become like machines.”  Bukankah lucu untuk akhirnya menyadari bagaimana manusia berusaha melarikan diri dari inferioritasnya dengan menciptakan produk yang  malah membentuk dirinya menjadi semakin inferior dengan segala ketergantungan absolut terhadapnya?

**

The fascinating Kara by Quantic Dream :

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe