Mendengarkan Luka Bicara

12/09/2015 05:20:00 PM



Memang tak ada yang baru-baru amat dari Nay (2015). Perempuan, tubuh, dan seksualitas tak akan lari jauh dari narasi Djenar Maesa Ayu. Eksekusi dengan aktor tunggal (Sha Ine Febriyanti) dan latar tunggal (mobil Nay) juga bukan teknik yang istimewa. Polemik dalam Nay juga sederhana: Nay mengandung janin berusia 14 minggu di saat ia mempunyai kesempatan untuk go international usai lolos casting, sementara kekasihnya acuh tak acuh dan lebih memilih hanya mengurusi ibunya yang kemudian menyebut Nay sebagai perempuan “murah yang mau ditiduri semua lelaki” karena hamil di luar nikah. Dengan aktor dan latar tunggal, Djenar meletakkan penonton dalam posisi yang kikuk: ‘menguping’ semua pembicaraan Nay dengan tokoh-tokoh yang mengembangkan polemik itu: Adjeng, Ben, Pram, juga Mama Ben. Maka, untuk menonton Nay ngobrol lewat telepon mobilnya sepanjang film yang berdurasi 80 menit ini, apalah yang paling mungkin untuk disambuti selain kejenuhan?

Namun, Nay muncul (entah disengaja atau tidak) di saat yang tepat untuk membangunkan kesadaran akan yang luput: ia muncul sepekan sebelum memasuki rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Ketika jalan cerita Nay dinilai mudah diterka, tidakkah mengerikan untuk menyadari bahwa Nay yang hamil di luar nikah lantas diabaikan oleh kekasihnya, atau ibunya yang melahirkan Nay tanpa suami, hingga Nay yang diperkosa orang terdekatnya selagi kanak bukan lagi fiksi, melainkan kasus yang berulang, terpolakan, dan dibiarkan dalam masyarakat? Jika setiap 2 jam 3 perempuan menjadi korban[1] dan kita menganggap bahwa upaya untuk mewujudkan kesetaraan masih saja menyuarakan hal yang selalu sama hingga ia tak lagi istimewa, memang bukan hal baru yang akan kita temukan: pengabaian—yang karenanya berarti dukungan—terhadap kekerasan.

Meski karakternya tak dapat mewakili kekerasan terhadap perempuan yang seringkali kompleks dan bertingkat, Nay, sebagaimana saya dan perempuan lainnya, hidup dan berkegiatan dalam masyarakat yang memerangkap dengan ancaman yang sama: budaya perkosaan. Dalam budaya perkosaan, terbangun sebuah relasi tak masuk akal antara perempuan dan tubuhnya. Sesegera seorang menjadi (jika tak hanya yang lahir sebagai) perempuan, tubuhnya tak lagi miliknya sendiri. Siapa, misalnya, yang mengurusi bagaimana tubuh Bruce tampak dalam pakaian renang sebelum ia jadi Caitlyn Jenner? Sekujur tubuh perempuan—wujud rambut sampai sibak tungkai, tiap gerak anggota badan, hingga rahim yang tersembunyi di rongga perut—direnggut dan diperangkap dalam jarak berbingkai kodrat dan kepatutan. Terhadap tubuhnya disematkan kontrol yang menjauhkan perempuan dari kedaulatan atas tubuhnya sendiri. Lantas, dengan dalih ‘melindungi (harga diri/nilai/martabat/dan padanan kata lain) perempuan’, kontrol atas tubuh perempuan inilah yang kemudian mengerdilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat yang diposisikan tak lebih dari sekadar pengisi fungsi reproduksi dan obyek pemuas laki-laki.

Celakanya, perenggutan terhadap kedaulatan atas tubuh yang fisikal itu dalam mayoritas kasus kekerasan justru menyisakan luka yang lebih hebat: luka yang tak kasat. Ketika pada mulanya kebosanan merambati saya tatkala harus mendengarkan omongan, racauan, hingga ‘kegilaan’ Nay, saya dibangunkan kemudian: saya tak hanya sedang mendengarkan Nay. Saya sedang mendengarkan satu miliar lebih perempuan[2]  yang membagi—jika tak seluruh—potongan perjalanan luka Nay yang tak lagi tinggal di penglihatan.

Apa yang dapat lebih menyakitkan ketimbang luka yang tak muncul di permukaan, tanpa jejak yang tampak, dan tak kunjung dihalau oleh ingatan? Ketika hanya rasa nyeri yang tersisa dari kekerasan yang sedemikian rupa hingga terus melampaui bekas-bekas fisikalnya, bukti apa yang dapat diajukan untuk menjadi pembelaan untuk menyampaikan kebenaran? Apa yang masuk akal dari diajukannya pertanyaan “Buktinya mana? Alah, mungkin itu kamunya saja” tatkala kekerasan—terutama seksual—diadukan untuk memperoleh keadilan? Ketika yang dapat dilihat dari yang tersisa hanya tubuh yang mungkin tak lagi menunjukkan bekas atas kekerasan itu, kesesatan cara pikir dalam budaya perkosaan kemudian membiaskan posisi korban dengan pelaku kejahatan. Yang tak jarang terjadi kemudian adalah viktimisasi korban dan glorifikasi perkosaan. Yang tersisa adalah ruang untuk melanggengkan kekerasan; bukan hanya oleh laki-laki, tapi juga oleh perempuan yang terjebak dalam cara pandang dan pikir patriarki. Dalam kasus Nay, ibunya dan ibu Ben mengambil peran ini.

Karenanya, kebosanan yang dimunculkan Nay adalah kebosanan yang pretensius. Ketidakhadiran lawan bicara Nay menyempurnakannya. Sebagaimana luka yang jejaknya tak lagi tampak itu menantikan keadilan, bagaimana mungkin kita bisa membangun daya tahan—bukan hanya untuk mendengar, tapi juga menaruh kepercayaan—terhadap setiap fragmen luka hidup Nay hanya dari cerita yang keluar dari mulutnya sendiri? Sebagaimana Nay dan banyak korban lainnya, mereka dibungkam dan dipaksa untuk mengingkari luka itu. Setelah satu waktu saya harus mengalaminya juga—dalam bentuk yang berbeda—saya menyadari bahwa dalam monolog 80 menit Nay tengah menyuguhkan tawaran mewah bagi penontonnya: sebuah tawaran untuk mendengarkan luka bicara—dan mempercayainya.

Tidakkah menjadi sebuah jebakan moral tersendiri tatkala kita mendengarkan Nay berbicara (baik pada dirinya, pada Ben, Adjeng, Pram, atau ibunya), sesuatu dalam diri kita merongrong untuk melekat-lekatkan praduga untuk mempersalahkan Nay atas apa yang dialaminya? Bahkan dengan disodorkannya persoalan Nay yang tak berkutat jauh dari tubuhnya sendiri (terutama tentang keperawanan dan mitos yang memerangkap nilainya sebagai perempuan, isu aborsi dan hak pengambilan keputusan atas janin di rahimnya, serta kekerasan di masa kecilnya), ketegangan untuk berpihak tak dapat dihindarkan.

Sayangnya tawaran ini lekas tenggelam; terlalu lekas pula disematkan sebagai girang-girang sastra-wangi yang tak mampu berbicara lebih dari sekadar persoalan selangkangan. Padahal, mau tak mau kita harus mengaku: penjarakkan perempuan dari selangkangannya sendiri ini yang justru diambil alih menjadi dalih munculnya kekerasan seksual, lagi dan lagi. Seakan perempuan tak pernah punya daya, bahkan untuk sekadar mengurusi dan berdaulat atas tubuhnya sendiri. Maka, ketika dengan akumulasi kegilaannya Nay bertutur dan melantur, Nay menawarkan keberanian agar bertumbuh subur, meski tak menjamin luka itu luntur.

Namun, sebelum bicara yang hebat-hebat (karena pendampingan dan advokasi yang membutuhkan tenaga dan mental yang ekstra mungkin belum dapat dilakukan setiap orang yang berpihak dan ingin terlibat), anggaplah catatan ini sebagai upaya penegasan kembali tawaran itu (karena Nay terlalu cepat turun layar). Catatan ini bisa jadi sebuah pledoi yang gegabah untuk menempatkan Nay agar nampak istimewa. Namun demikian, pada saat yang sama, catatan ini sekiranya tak terlalu sembrono untuk menempatkan Nay sebagai momok bagi sejumlah telinga; baik individu maupun institusi, yang terlanjur rela ditulikan. Bukan hanya soal Nay, namun perempuan lain yang membagi luka yang sama; yang tak pernah mendapat ruang untuk bicara dan dipercaya—baik dalam lingkup domestik, maupun publik. Menyiapkan telinga, untuk tak turut melanggengkan luka yang sama.


[1] Lembar Fakta Komnas Perempuan. http://www.komnasperempuan.or.id/2013/12/siaran-pers-peluncuran-laman-pengaduan-kekerasan-seksual/
[2] Lembar fakta UN Women mencatat 35% perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan mereka. http://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/facts-and-figures


Nay. Sutradara: Djenar Maesa Ayu. Tahun: 2015. Negara: Indonesia. Pemain: Sha Ine Febriyanti.




Ditulis untuk Kampanye #16HAKTP (Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan) 2015.
Dipublikasi di Sorge Magazine 2 Desember 2015 dengan judul "Nay dan Tawaran 80 Menit Mendengarkan Luka Bicara".

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe