Seusai Arsipelago (Sebuah Refleksi)

11/24/2015 12:24:00 AM

(Foto buku: kotasis.com)

Mempertanyakan Ulang Relasi Kita terhadap Desain Grafis (dan Definisinya)

Membaca Arsipelago dalam kapasitas saya sekarang menyisakan bekas layaknya sebuah cubitan gemas yang cukup menegangkan saraf-saraf. Berbeda dengan bagaimana sosok dan institusi pengarsip dalam Ruang Kerja 1 Arsipelago yang merelasikan dirinya dengan arsip sebagai kesatuan historis dan organis, desain grafis di Indonesia dewasa ini telah terlanjur didekati dan dikenali hanya dalam pola relasi untung-rugi-ekonomis. Sehingga, penyimpanan dan pengolahannya hanya akan dinilai dan ditimbang hanya dari satu mata baca: pasar. Jika kita mengganti kata 'musik' dalam tulisan Eire Setiawan menyoal "Arsiptektur Musik Indonesia Kini", kita memiliki pernyataan kondisi yang sama: pelakunya "hanya melihat musik [ubah menjadi 'desain grafis'] secara kasat mata (materialisme), serta mengabaikan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa digali di sebaliknya." (hal. 46). Ketika Erie Setiawan merumuskan kealpaan kegiatan berpikir musik hanya akan menciptakan karya yang seragam karena tidak adanya penyimbang dan proporsional, tidakkah demikian pula yang terjadi di desain grafis kita dewasa ini?

Saya ingat suatu akhir pekan di minggu-minggu terakhir bulan Febuari 2015, menjelang hari jadi Desain Grafis Indonesia yang ke-8 di bulan Maret, saya dibuat terpana oleh situs celebratedesign.org. Dengan pernyataan "merayakan satu abad desain" (100 Years of Design), situs yang dibuat dan dikelola sebagai perayaan hari jadi AIGA (American Institute of Graphic Arts, kini organisasi desain profesional Amerika) yang ke-100 itu muncul dengan arogansi yang sulit dipatahkan. Keberadaan institusinya disamaartikan dengan keberadaan desain itu sendiri. Ketika desain grafis Amerika, baik praktik maupun sistem pendidikannya, dijadikan kiblat bagi praktik maupun sistem pendidikan di Indonesia, totum pro parte yang digunakan AIGA itu menjadi hampir tak terbantahkan.

Dalam perjalanannya yang terpincang-pincang untuk mencari-cari jati diri dan membangun pilar-pilar tinjauan yang kontekstual dengan berpijak, saya punya pengharapan (yang mungkin agak berlebih-lebihan) pada lembaga yang memosisikan diri sebagai organisasi pencatatan dan pengarsipan desain grafis di Indonesia. Namun, kemudian saya jadi bertanya: apakah upaya penyimpanan berkas kerja dan karya cukup untuk membangun landasan pemahaman itu?

Muhidin M. Dahlan menampar saya lewat paragraf akhir dalam tulisannya yang berjudul "Praktik Kliping dan Daya Budi Kultural" dengan berkata, "Ketekunan hanya menghasilkan tumpukan data mentah yang menghabiskan ruang penyimpanan kamar atau perangkat penyimpanan komputer; sementara obsesi melahirkan usaha yang gigih untuk mengubah, memola, dan mentransformasikan data-data menjadi makna baru, menjadi daya budi kultural." (hal. 22) Ada perbedaan yang signifikan antara sekadar mengumpulkan arsip dengan upaya untuk menghidupkannya (hal. 76). Upaya menghidupkan arsip sejalan-makna dengan upaya untuk menghidupkan sejarah kecil, sejarah-sejarah personal (hal. 78);.

Dalam tulisan Helly Minarti menyoal tubuh tari sebagai arsip yang mencatat transformasi korporal dalam TIM Intercultural Workshop, arsip kemudian lekat dengan pemosisian, pencarian, sekaligus pembentukan identitas itu sendiri (hal. 34-37). Meski tak serupa, ia nyaris senada dengan upaya pencarian yang disebut sebagai identitas dalam frasa "desain grafis Indonesia", lewat pencatatan dan perekaman ini. Namun yang perlu dicatat kemudian dari celebratedesign.org serta para pelaku dalam Ruang Kerja 1 Arsipelago, adalah bukan hanya nafas panjang untuk memelihara arsip-arsip itu, namun juga daya tahan untuk memosisikan kembali arsip-arsip itu pada masing-masing konteksnya.

Lantas, bagaimana dengan upaya pemosisian konteks itu? Yang cukup celaka adalah disfungsi institusi pendidikan Desain Grafis (atau kini lebih banyak menggunakan nama Desain Komunikasi Visual) yang seharusnya menciptakan para sarjana yang mampu berpikir secara konseptual, bukan hanya vokasional (yang dapat dipenuhi tanpa harus jadi sarjana!), malah disibukkan dengan upaya memenuh-menuhi pembentukan lulusan sebagai tenaga kerja siap pakai. Berapa banyak lulusan desain grafis yang kemudian tergagap ketika harus membaca dan menganalisa kondisi kultural-sosial-politik masyarakatnya, jika tak berada dalam kondisi tuntutan pemenuhan proyek berkomisi? Berapa banyak lulusan desain grafis yang kemudian terjebak dalam stereotip citarasa keindahan dan kenikmatan produk desain berdasar kategorisasi status ekonomi dan sosial yang sebetulnya dibentuk oleh produk massal yang telah dirancang terlebih dahulu oleh profesinya itu? Berapa banyak lulusan desain grafis yang bahkan gagal untuk meletakkan dan membaca hasil cipta karyanya itu sebagai sebuah produk budaya (beserta resiko-resiko yang mengikutinya) di tengah-tengah masyarakatnya? Jika para sarjana—yang mestinya memiliki kemampuan berpikir desain—tak mampu memenuhi kebutuhan itu, tidakkah celaka bidang ini sekarang, baik sebagai disiplin ilmu maupun profesi? Para pengajarnya pun juga diperangkap oleh tuntutan industri pendidikan itu: memenuhi penelitian yang entah kemudian dapat memberi manfaat apa begitu memenuhi persyaratan akreditasi dan birokrasi kampusnya? Ketika pasar—yang industrinya didominasi oleh para desainer dari kelompok kelas yang memiliki hak-hak istimewa (privileges) untuk mengakses edukasi, literasi, teknologi, dan koneksi dan berpendidikan luar negeri sehingga memarjinalisasi para pelaku yang berasal dari kelompok kelas yang tak mampu memiliki akses itu dan menjadikan yang vernakular sebagai referensi sehari-hari—bagaimana kemudian kerja pengarsipan desain grafis menjadi hal yang relevan untuk dapat membaca keindonesiaan (jika saya tak keliru-permanen dalam menerjemahkan 'desain grafis Indonesia')? Jika desain adalah pemecah solusi problematika masyarakatnya, masihkah kontekstual seluruh kerangka berpikir perjalanan panjang institusi desain Amerika Serikat (yang usianya bahkan lebih tua dari negara Republik Indonesia) jika dilekatkan mentah-mentah dalam praktik maupun pembacaan dan pengarsipan desain grafis di Indonesia?


Meletakkan Desain Grafis sebagai Praktik Keseharian

Pemosisian konteks dan upaya menghidupi arsip itu tadi tentu bukan jadi pekerjaan rumah entitas tunggal. Dari tulisan Joned Suryatmoko mengenai pengarsipan seni tradisi (hal. 129-141), setidaknya saya mencatat poin menyentil yang juga menjadi sebuah pekerjaan rumah kita yang belum selesai: (1) mempertemukan arsip dengan publiknya yang baru (sebagaimana Muhidin M. Dahlan menyebut upaya transformasi data menjadi makna baru yang menjadikan arsip sebagai daya budi kultural (hal. 22)), agar (2). membuka peluang kolaborasi antara pengarsip dengan praktisi serta akademisi untuk "menegosiasikan perubahan peran pengarsip dan pengelolaannya di masa depan." (hal. 137)

Belakangan ini saya jadi rajin tertawa mencemooh setiap kali ada yang melontarkan ujaran jargonistik yang mengatakan bahwa, "Karena desainer grafis membentuk pola kehidupan masyarakat lewat hasil cipta karyanya yang ditemui dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, maka desainer grafis harus bisa diapresiasi oleh masyarakat."

Pertama, apakah kita mengkhianati sendiri definisi yang kita sepakati bersama bahwa desain grafis menjadi desain grafis apabila ia dimaksudkan untuk direproduksi menjadi produk massal—yang karenanya sebagian besar di antaranya mau tak mau dipaksakan untuk kita temui dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari? Kedua, dari pola kehidupan masyarakat yang dibentuk akibat hasil kerja desain grafis itu, siapa yang memperoleh keuntungan secara langsung? Publik, dalam cakupan yang seluas-luasnya, atau korporasi—yang tak jarang tak mewakili kepentingan publik—yang menggunakan jasa desainer grafis untuk menciptakan karya pembentuk citra dan makna untuk disodor-sodorkan di tengah masyarakat agar mempercayai citra dan makna itu? Ayolah. Desainer grafis mungkin pada dasarnya baik, penyabar, pendengar, dan penuh kompromi. Tapi, bukan berarti mereka sengaja jadi ignorance 'kan?

Saya jadi mengandai-andai apabila definisi 'desain grafis' tak lagi tunggal ditentukan oleh kelompok kelas dengan hak-hak istimewa itu tadi: bahwa yang secara organik muncul di tengah masyarakat, bahwa dari kelompok kelasnya yang berbeda, juga dapat dibaca sebagai gejala desain grafis (sebagai praktik), dan karenanya ambil bagian dalam upaya pencatatan sejarah dan pembacaan arsip pembentuk identitas keindonesiaan itu tadi. Bahwa yang vernakular bisa jadi tak masuk dalam selera pasar yang diperebutkan oleh para pelaku desain grafis di industri, namun (siapa tahu) ternyata lebih mampu merefleksi dan menjadi solusi bagi masyarakatnya sehingga apresiasi itu muncul secara organik tanpa perlu kelat-kelit politis untuk memperolehnya. Bahwa mungkin, bisa jadi, literasi Amerika dan Eropa bukan satu-satunya yang menjadikan sebuah desain grafis itu "benar" secara estetis maupun pragmatis. Bahwa mungkin, kesenjangan kelas yang terjadi (bahwa desain grafis adalah konsumsi kelas menengah dan ke atas) hanya perkara komunikasi yang tak lancar atau perbedaan sudut pandang, dialek, atau bahasa. Karena, jika mencatat desain grafis dianggap sebagai upaya untuk mencatat zaman, zaman apa yang dapat kita telaah bersama lewat—misalnya—evolusi kemasan susu bubuk atau grafis di kartu Commuter Line? Tanpa koneksi untuk meletakkan desain grafis sebagai sebuah praktik yang lebih luas dari sekadar proses brief-perancangan-eksekusi-produksi-pencairan invoice, pengarsipan dan pencatatan desain grafis sebagai upaya pencarian jati diri hanya akan mentok pada definisinya yang eksklusif dan arogan—boro-boro jadi bagian dari pembacaan zaman.

Saya jadi gatal ingin mengutip (lagi!) paragraf penutup Michael Bierut dalam esainya yang berjudul "Why Designers Can't Think" dalam 79 Short Essays on Design (2007):
Nowadays, the passion of design educators seems to be technology; they fear that computer illiteracy will handicap their graduates. But it’s the broader kind of illiteracy that’s more profoundly troubling. Until educators find a way to expose their students to a meaningful range of culture, graduates will continue to speak in languages that only their classmates understand. And designers, more and more, will end up talking to themselves. ***






Arsipelago! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia.
Penyunting: Farah Wardani dan Yoshi Fajar Kresno Murti
Edisi 1, Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive (IVAA), 2014
xx + 204 halaman, 15 x 22 cm

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe