­

kini & nanti untuk menjadi

7/27/2010 01:01:00 PM

saya seperti melihat upaya pembutaan diri yang dilakukan oleh beberapa orang pada hari-hari saya mulai memekakan diri belakangan ini; pembutaan pada apa yang 'sekarang' dengan berdalih pada visi untuk menimang yang 'nanti'.

bukan berarti saya sedang memberikan cap 'salah' dan cap 'benar' di antara orang-orang yang berdalih dan yang tidak, toh saya sendiri juga secara pribadi, merasa menjadi seperti bagian dari orang-orang yang terlalu berpaku pada visi akan apa yang 'nanti'.


semalam saya pesan kacamata baru di daerah Pasar Lama, berhubung kacamata yang sebelumnya (yang masih baru 4bulan yang lalu saya beli) secara tidak sengaja saya patahkan. total harga frame dan lensa kacamatanya sekitar 410,000 IDR (setelah didiskon 50%); dan saya berangan-angan tentang barang yang bisa dibeli dengan nominal segitu selain untuk mengganti kacamata: buku-buku baru, kuas dan sketchbook baru, cat akrilik/poster, dompet baru, atau yang lainnya.
ketika mengingat pikiran saya kemarin malam itulah saya merasa saya sedang membutakan diri,
karena belum ada satu jam sebelumnya, saya merasa iba dan miris melihat bayi pengemis yang sedang tidur di trotoar depan mobil saya parkir, badannya yang kecil dan ringkih menempel langsung ke jalanan, tidur pulas dengan berselimut kain batik tipis (kira-kira pukul 20.30 waktu itu dan Tangerang mendung)

apakah saya yang terlalu berlebih, menjadi terlalu tenggelam dalam keibaan sekaligus kemarahan melihat bentuk-bentuk ketidakadilan yang saya lihat di sepanjang jalan(yang kedengarannya makin hari makin klasik saja)?
apakah saya nampak seperti apatis ketika pemandangan pengemis, pemulung, anak jalanan, dan lingkungan kumuh sudah berlalu dari jarak pandang, saya melupakaan keibaan dan kemarahan saya dan secara tiba-tiba menyibukkan pikiran dengan menjejalkan ide-ide yang mungkin dikembangkan dan dituangkan dalam visual-visual desain sebagai tambahan portfolio saya sebagai mahasiswi desain?




saya merasa kebingungan saya sedang melunjak belakangan ini, seperti anak manja yang menggelendot minta dituruti keinginannya; terutama dalam memprioritaskan kemana kegelisahan harusnya membuahkan aksi-aksi: pada yang 'sekarang' atau pada yang 'nanti'.

(maaf saya terlalu banyak menggunakan kata 'gelisah' dalam postingan. mungkin ini pengaruh penggunaan kata 'gelisah' yang banyak saya jumpai di bacaan tentang Soe Hok Gie atau memang saya tiba pada momen jatuh cinta pada kata yang akhirnya bisa menjelaskan membludaknya pertanyaan-pertanyaan dalam kepala saya)

kemana saya seharusnya memusatkan pikiran? bagaimana seharusnya saya membagi waktu untuk berpikir tentang yang sekarang dan yang nanti?
menurut Paulo Coelho, kita tidak bisa menembak satu titik dengan dua anak panah sekaligus, tapi saya tidak pernah merasa cukup bijak untuk memilih giliran pelesatan anak panah saya sendiri.
saya merasa ingin menjadi serakah, menjadi segala-galanya, membagi pikiran saya untuk semuanya.

saya ingin berkutat dengan yang sekarang, 'present',
tentang apa yang saya lihat,
tentang manusia-manusia yang bisa saya kasihi: anak-anak kecil berlarian mengejar bis tanpa alas kaki lalu bernyanyi meminta uang untuk makan, perempuan-perempuan yang terlanjur hilang harga dengan menjaja diri di antara remang-remang malam, orang-orang cacat yang dicap sebagai sampah dan hanya patut dihargai oleh rasa jijik, atau bahkan kawan-kawan yang merasa tertipu oleh dunia, atau orang-orang benar yang dicurangi oleh kekuasaan yang akhirnya kebenarannya dicorengi kepalsuan.
tentang hal-hal yang berangkat dari teori tentang kemanusiaan, tentang kebaikan, virtues.
atau sekedar tentang bagaimana kawan-kawan saya menanggap sepele ke-Indonesia-annya, merendahkan karya orang, atau tukang kritik yang hanya berangkat dari ilmu lalu meninggalkan etika dan moralnya. hal-hal seperti itu, yang mungkin terdengar seperti sebuah mimpi-mimpi idealis.

tapi saya juga ingin berkutat dengan yang nanti,
tentang visi yang tergambar dalam mimpi-mimpi saya, dalam gerakan saya di masa kini, dalam apa yang saya persiapkan dan akan saya korbankan,
tentang kehidupan, tentang cita-cita, pekerjaan saya nanti. sesuatu yang lebih berbau sekuler.

saya jadi ingat tweet seorang dosen saya: "manusia o manusia, ke-apa-an mu belum jelas, tapi sudah banyak maunya"
ke-apa-an saya sendiri belum jelas, tapi saya banyak maunya.
tapi dengan berangkat dari kesoktahuan, saya pikir, dengan memiliki banyak mau, ke-apa-an bisa dicari. mungkin saja.

jadi saya berpikir untuk memiliki banyak mau, membuat sibuk pikiran sesibuk-sibuknya, mendayagunakan fungsinya, meski mencari ke-apa-an bukan tujuan utama saya juga.
saya hanya ingin bicara tentang hati, tentang menjawab alasan munculnya kegelisahan tak beralasan dan tak terdeskripsikan yang membuat saya melihat diri sendiri sebagai orang yang aneh,
atau mungkin... sekedar mencari jati diri (yang belum juga saya rasa telah temukan di usia yang hampir menginjak 19 ini)

lalu saya teringat pada artikel SHG yang berjudul "Siapakah Saya?" (sebuah artikel yang wajib dibaca, bisa ditemukan di halaman 459 buku SHG Sekali Lagi);
untuk mencari tahu ke-siapa-an (berbeda dengan ke-apa-an? entah, saya tidak belajar filsafat), hanya perlu berangkat dari apa yang kita pikirkan tentang kita sendiri. "a man is as he thinks, you can't change it", ujarnya, mengutip sebuah film Cekoslovakia, And The Fifth Horseman is Fear.

teman-teman sering bilang, saya lebih cocok masuk jurusan Filsafat, Psikologi, atau Sastra. Seorang satpam di LP3ES bahkan pernah bertanya, "Kuliah Politik dimana?", seorang teman di gereja pernah nyeletuk, "Kak Ellena anak Desain atau anak Hukum sih?" yang kadang mengendurkan semangat saya dalam melanjutkan kuliah DKV.

tapi dengan berangkat dari apa yang sekarang saya pikirkan dalam diri saya sendiri, saya ingin menjadi seorang manusia yang mau berangkat dari ajaran keagamaan saya, namun mampu berpegang pada kemanusiaan, yang mau peka dan terbuka pada apa yang sekarang; mampu tetap berada dalam jalur yang saya pilih sebagai seorang mahasiswi yang bisa memperjuangkan nilai-nilai intelektualitas dalam kehidupan sosial, dengan tidak melupakan spesialisasi saya sebagai seorang calon desainer, untuk mengembangkan ide dan keterampilan.

saya pikir ini bisa mendorong saya untuk maju ketika ada ketakutan-ketakutan yang menghampiri saya dalam beberapa segi kesiapaan saya:
ketika ragu dalam berkarya di perkuliahan,
atau ketika ragu dalam membaca beberapa bacaan propaganda ateisme/agnostisme,
atau ketika ragu untuk menyuarakan sesuatu tentang keadaan sosial di sekitar saya,
atau hal-hal lain yang kadang dianggap tidak berhubungan satu sama lain.

saya takut akan komitmen. saya enggan berpegang pada satu label atas diri saya sendiri.
saya enggan berkomitmen pada yang kini saja atau hanya yang nanti saja.
katakanlah saya rakus untuk menjadi segala-galanya,
namun bagaimana kalau saya ajukan pilihan untuk menjadi something between?


saya hanya bertanya terlalu banyak.


You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe