membaik dan membenar
7/11/2010 02:51:00 PM
dalam usaha saya untuk mendewasakan diri belakangan ini: membentangkan lowongan bagi wawasan untuk masuk, memekakan nurani, dan sebagainya; saya dibawa pada kesadaran tentang ke-anti-an diri terhadap satu hal:
stereotype.
i just can't deal with it. stereotype just seems like something destructive for me, personally.
jadi seperti ini kira kira yang saya pikirkan:
i believe everyone of us has choices.
kita percaya bahwa setiap manusia di dunia ini dianugerahi kehendak bebas.
kebebasan dilihat sebagai sebuah hak basis dari setiap makhluk hidup, kan? Dalam posisinya sebagai makhluk hidup yang paling "tinggi", (terlepas dari pandangan religius atau eksistensialis-ateis), manusia dengan kehendak bebasnya menjadikan kehadirannya sebagai penjalan kehidupan di dunia dengan ke'kuasa'annya.
dalam tindakannya, berangkat dari kehendak bebas tadi, telah menghadirkan pepatah umum "Tentang hidup adalah tentang pilihan", yang bisa diartikan bahwa menjadi hidup adalah sebuah pilihan, atau dalam hidup, segalanya adalah pilihan.
jadi, when 'to choose' nearly equals 'to live', pilihan menjadi sesuatu yang krusial dalam kehidupan.
sekarang, dalam kondisi-kondisi untuk memilih tersebut, dengan apakah manusia berpatokan, selain pada "kebenaran" dan "kebaikan"? 'kebenaran' dan 'kebaikan' yang membuat suatu keputusan jatuh di tangannya. menghindari yang 'buruk' dan yang 'salah' menjadi sebuah kealamiahan. betul begitu kan prinsip umumnya?
lalu, beritahu saya bagaimana manusia melihat pilihan 'benar' dan 'baik' yang memang secara pasti benar dan baik?
dalam posisi sebagai umat beragama, ajaran Agama lah yang menjadi jawaban.
sebagai bagian dari sebuah tradisi, jawabkan dengan nilai adat.
lalu dalam posisi sebagai masyarakat, kita punya moral,
dan dalam lingkup warga negara, tambahkan undang-undang dan hukum pada daftar jawaban.
lalu, apakah semua yang diturunkan oleh tradisi, ajaran agama, dan konstitusi adalah benar dan baik?
benar, mungkin, dengan kembali memposisikan diri pada kondisi tersebut di atas.
lalu, apakah semua kebenaran itu sudah pasti 'baik' adanya?
ambil contoh,
seorang pemimpin agama.
mind set seperti apa yang kamu miliki di kepala sekarang? orang baik dan benar? ya, pikiran saya juga memunculkan refleks yang sama.
lalu sekarang, ketika saya munculkan kata 'pencuri',
pikiranmu memunculkan apa? salah dan buruk, kan?
tapi bagaimana jika ke-baik-an dan ke-benar-an si individu hanya semata-mata berasal dari jabatannya? dari labelnya? dari bagaimana ia bekerja?
bagaimana kalau ternyata si orang benar berlaku tidak manusiawi, congkak, hanya benar dan baik secara teori?
bagaimana kalau ternyata si orang jahat dan buruk ternyata sebenarnya memiliki dan memahami moral dan kemanusiaan, namun terjebak dalam situasi yang membuatnya berbuat hal buruk, mencuri, misalnya sekali waktu, namun membuat dia selamanya dicap sebagai 'pencuri'?
bukan maksud saya mencurigai orang baik dan benar sebagai orang bermuka dua,
bukan maksud saya mempersuasi orang untuk memberi excuses pada orang yang melanggar etika moral dan hukum.
bisa saja orang yang kita pandang baik dan benar memang sedemikian baik dan benarnya, namun jangan sampai menghancurkan segala ke-baik-an dan ke-benar-an yang masih mungkin untuk dimiliki oleh orang yang keburu kita stigma.
setiap orang punya hak untuk memiliki kesempatan menjadi 'baik'.
saya hanya bosan dengan orang-orang yang mengaku adil namun memberikan proporsi tidak seimbang terhadap orang lain dengan hanya berpatok pada satu sisi dan enggan memahami lebih jauh, hanya berpaku pada jabatan, golongan, status sosial, agama, suku, ras, atau bahkan hanya sekedar dari warna kulit, dan hal-hal yang tidak pantas dijadikan patokan lainnya.
mengaku menghasilkan kebijakan namun jauh dari hakikat kebijaksanaan dan ke-bijak-an itu sendiri.
mengaku menjalankan keseimbangan namun masih membatas-batasi hak orang untuk diperlakukan dengan sama rata dan adil.
belum lagi tentang 'kebenaran' yang dianut oleh beberapa kelompok, dan menganggapnya absolut tanpa berupaya menelaah lebih lanjut apakah 'benar' yang dia anut itu relevan untuk diterapkan secara umum, pada orang banyak tanpa memandang situasi dan kondisi.
banyak yang mencoba menekankan (atau bahkan cenderung mendoktrin) 'kebenaran'nya secara tergesa-gesa pada orang-orang yang di-stereotype-kan sebagai kelompok yang salah dan amoral (tanpa mau menelaah), lalu malah berakhir pada tindak ketidakmanusiaan.
itu yang disayangkan. mau membenarkan malah menjadi tidak baik.
ada juga yang ingin menjadi baik, malah terjungkal dalam jalan yang salah. Robin Hood, sebagai contoh 'bodoh'nya.
untuk menjadi baik, harus berangkat dari kebenaran;
untuk menjadi benar, harus berpegang pada kebaikan.
praduga itu perlu, namun banyak hal yang harus diperhatikan dalam memunculkan praduga; jangan sampai sesuatu yang gamang menjadi panutan dalam bertindak. biasakanlah untuk bersikap positif, mau menerima dan terbuka serta fleksibel, dengan tidak melupakan prinsip-prinsip pribadimu (ajaran iman, moral, hukum, dsb.)
"Put away your prejudice, open your mind, no need to stick to this" (Love is Color Blind - Sarah Connor)
sadarilah :
people do stand by their own truths, we do. we suppose to; but being 'true' itself is ultimately subjective. being personally 'right' is not even right, you'll just create a chaos by being so.
mengapa tidak menjadikan perbedaan sebagai sebuah materi pembelajaran?
saya mulai berpikir untuk 'melakukan tes' pada orang sekitar saya:
let them face variety. those who see variety as a threat, get yourself warned by their thoughts. those who see variety as something to be approached, to be a lesson, they deserve your respects.
tapi sebenarnya, yang terutama adalah,
biasakan untuk selalu mendengarkan apa yang hatimu katakan.
saya yakin hati nurani adalah satu-satunya yang bisa dipercaya.
bagi orang skeptis, ia menjadi kunci logika. bagi orang yang percaya, ia adalah tempat dimana Tuhan bicara paling kuat.
stereotype.
i just can't deal with it. stereotype just seems like something destructive for me, personally.
jadi seperti ini kira kira yang saya pikirkan:
i believe everyone of us has choices.
kita percaya bahwa setiap manusia di dunia ini dianugerahi kehendak bebas.
kebebasan dilihat sebagai sebuah hak basis dari setiap makhluk hidup, kan? Dalam posisinya sebagai makhluk hidup yang paling "tinggi", (terlepas dari pandangan religius atau eksistensialis-ateis), manusia dengan kehendak bebasnya menjadikan kehadirannya sebagai penjalan kehidupan di dunia dengan ke'kuasa'annya.
dalam tindakannya, berangkat dari kehendak bebas tadi, telah menghadirkan pepatah umum "Tentang hidup adalah tentang pilihan", yang bisa diartikan bahwa menjadi hidup adalah sebuah pilihan, atau dalam hidup, segalanya adalah pilihan.
jadi, when 'to choose' nearly equals 'to live', pilihan menjadi sesuatu yang krusial dalam kehidupan.
sekarang, dalam kondisi-kondisi untuk memilih tersebut, dengan apakah manusia berpatokan, selain pada "kebenaran" dan "kebaikan"? 'kebenaran' dan 'kebaikan' yang membuat suatu keputusan jatuh di tangannya. menghindari yang 'buruk' dan yang 'salah' menjadi sebuah kealamiahan. betul begitu kan prinsip umumnya?
lalu, beritahu saya bagaimana manusia melihat pilihan 'benar' dan 'baik' yang memang secara pasti benar dan baik?
dalam posisi sebagai umat beragama, ajaran Agama lah yang menjadi jawaban.
sebagai bagian dari sebuah tradisi, jawabkan dengan nilai adat.
lalu dalam posisi sebagai masyarakat, kita punya moral,
dan dalam lingkup warga negara, tambahkan undang-undang dan hukum pada daftar jawaban.
lalu, apakah semua yang diturunkan oleh tradisi, ajaran agama, dan konstitusi adalah benar dan baik?
benar, mungkin, dengan kembali memposisikan diri pada kondisi tersebut di atas.
lalu, apakah semua kebenaran itu sudah pasti 'baik' adanya?
ambil contoh,
seorang pemimpin agama.
mind set seperti apa yang kamu miliki di kepala sekarang? orang baik dan benar? ya, pikiran saya juga memunculkan refleks yang sama.
lalu sekarang, ketika saya munculkan kata 'pencuri',
pikiranmu memunculkan apa? salah dan buruk, kan?
tapi bagaimana jika ke-baik-an dan ke-benar-an si individu hanya semata-mata berasal dari jabatannya? dari labelnya? dari bagaimana ia bekerja?
bagaimana kalau ternyata si orang benar berlaku tidak manusiawi, congkak, hanya benar dan baik secara teori?
bagaimana kalau ternyata si orang jahat dan buruk ternyata sebenarnya memiliki dan memahami moral dan kemanusiaan, namun terjebak dalam situasi yang membuatnya berbuat hal buruk, mencuri, misalnya sekali waktu, namun membuat dia selamanya dicap sebagai 'pencuri'?
bukan maksud saya mencurigai orang baik dan benar sebagai orang bermuka dua,
bukan maksud saya mempersuasi orang untuk memberi excuses pada orang yang melanggar etika moral dan hukum.
bisa saja orang yang kita pandang baik dan benar memang sedemikian baik dan benarnya, namun jangan sampai menghancurkan segala ke-baik-an dan ke-benar-an yang masih mungkin untuk dimiliki oleh orang yang keburu kita stigma.
setiap orang punya hak untuk memiliki kesempatan menjadi 'baik'.
saya hanya bosan dengan orang-orang yang mengaku adil namun memberikan proporsi tidak seimbang terhadap orang lain dengan hanya berpatok pada satu sisi dan enggan memahami lebih jauh, hanya berpaku pada jabatan, golongan, status sosial, agama, suku, ras, atau bahkan hanya sekedar dari warna kulit, dan hal-hal yang tidak pantas dijadikan patokan lainnya.
mengaku menghasilkan kebijakan namun jauh dari hakikat kebijaksanaan dan ke-bijak-an itu sendiri.
mengaku menjalankan keseimbangan namun masih membatas-batasi hak orang untuk diperlakukan dengan sama rata dan adil.
belum lagi tentang 'kebenaran' yang dianut oleh beberapa kelompok, dan menganggapnya absolut tanpa berupaya menelaah lebih lanjut apakah 'benar' yang dia anut itu relevan untuk diterapkan secara umum, pada orang banyak tanpa memandang situasi dan kondisi.
banyak yang mencoba menekankan (atau bahkan cenderung mendoktrin) 'kebenaran'nya secara tergesa-gesa pada orang-orang yang di-stereotype-kan sebagai kelompok yang salah dan amoral (tanpa mau menelaah), lalu malah berakhir pada tindak ketidakmanusiaan.
itu yang disayangkan. mau membenarkan malah menjadi tidak baik.
ada juga yang ingin menjadi baik, malah terjungkal dalam jalan yang salah. Robin Hood, sebagai contoh 'bodoh'nya.
untuk menjadi baik, harus berangkat dari kebenaran;
untuk menjadi benar, harus berpegang pada kebaikan.
praduga itu perlu, namun banyak hal yang harus diperhatikan dalam memunculkan praduga; jangan sampai sesuatu yang gamang menjadi panutan dalam bertindak. biasakanlah untuk bersikap positif, mau menerima dan terbuka serta fleksibel, dengan tidak melupakan prinsip-prinsip pribadimu (ajaran iman, moral, hukum, dsb.)
"Put away your prejudice, open your mind, no need to stick to this" (Love is Color Blind - Sarah Connor)
sadarilah :
people do stand by their own truths, we do. we suppose to; but being 'true' itself is ultimately subjective. being personally 'right' is not even right, you'll just create a chaos by being so.
mengapa tidak menjadikan perbedaan sebagai sebuah materi pembelajaran?
saya mulai berpikir untuk 'melakukan tes' pada orang sekitar saya:
let them face variety. those who see variety as a threat, get yourself warned by their thoughts. those who see variety as something to be approached, to be a lesson, they deserve your respects.
tapi sebenarnya, yang terutama adalah,
biasakan untuk selalu mendengarkan apa yang hatimu katakan.
saya yakin hati nurani adalah satu-satunya yang bisa dipercaya.
bagi orang skeptis, ia menjadi kunci logika. bagi orang yang percaya, ia adalah tempat dimana Tuhan bicara paling kuat.
seandainya semua orang mampu bicara seperti Gandhi,
"the only tyrant i accept in this world is the still voice within."
Ah, mimpi tentang dunia itu lagi...
"the only tyrant i accept in this world is the still voice within."
Ah, mimpi tentang dunia itu lagi...
0 comments