memanusiakan ke-manusia-an
7/09/2010 06:02:00 PM
Saya mulai mengkonsepsikan "kemanusiaan" dan "ke-manusia-an" sebagai sebuah perbedaan dengan melihat bagaimana dunia bertumbuh.
Kemanusiaan sebagai idealisme tentang kebaikan, kemoralan; tentang piety, virtues.
Ke-manusia-an lebih condong terlihat sebagai sebuah realisme keduniaan yang tidak menyisipkan ketuhanan.
Mungkin saya akan terdengar naif dengan mempertanyakan otentiknya pernyataan "hell is empty and all the devils are here" (Shakespeare).
Apakah semua iblis ada di sini? Kesemuanya?
Dengan menyampingkan kemungkinan terhubungkannya pernyataan tersebut dengan premis "Semuanya di sini adalah iblis", saya pikir masih ada "jahat" yang masih tersisa di tempat mereka seharusnya ada. bukan di dunia ini, maksud saya.
Ketika Elizabeth Kostova dalam The Historian mengatakan, "Sejarah telah mengajari kita bahwa sifat alamiah manusia adalah jahat, dan kebaikan tak bisa sempurna tapi kejahatan bisa*,"
dan Soe Hok Gie menyatakan bahwa "Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?" yang secara gamblang mengidentikkan ke-manusia-an dengan ketidakmanusiaan , secara pribadi saya secara teguh percaya masih banyak manusia-manusia yang termalaikatkan (atau setidaknya berusaha untuk memalaikatkan diri, tanpa usaha untuk meninggikan diri, namun lebih pada keinginan untuk menempatkan manusia dalam ke-manusia-an yang lekat dengan kemanusiaan)
*)History has taught us that the nature of man is evil, sublimely so. Good is not perfectible, but evil is. (Elizabeth Kostova, The Historian, 2005)
Ada hasrat akan kemanusiaan yang utuh di balik distingsinya yang saya katakan sebelumnya.
Saya memiliki keyakinan bahwa ada kemanusiaan yang tersisa dalam ke-manusia-an.
Saya percaya masih ada "kita" yang sedang sama-sama bermimpi tentang dunia yang lebih baik, tentang bangsa yang bermoral, tentang masyarakat yang lebih maju.
Kita sama-sama menyusun konsep tentang "membangun" dunia, sama-sama membagi ide-ide tentang "kebaikan" dalam komunitas manusia kita.
namun rasanya selalu ada yang menebaskan keyakinan yang seperti itu, sebuah argumen yang membalikkan pemikiran akan pengharapan, seperti fakta yang nampak lebih tegas dalam menyuarakan diri:
konsep adalah konsep.
ketika saya meyakini bahwa secara nyata konsep-konsep yang demikian cerdasnya telah menyebarkan diri dalam keseharian, saya pikir saya akan melihat dunia yang berubah, atau setidaknya merasa bahwa saya sedang berada dalam momen pergerakan dunia ke arah visi tersebut, saya malah semakin melihat bagaimana dunia seperti terlanjur tenggelam dalam stagnansi.
apa yang salah?
banyak orang-orang yang punya nama dan integritas untuk membangun bangsa, menyusun kembali potongan-potongan membanggakan dari masa lalu tentang kejayaan dan kredibilitas.
banyak orang-orang yang banyak meninggalkan fanatisme akan suatu kepercayaan dan golongan untuk melihat sesamanya sepenuhnya sebagai manusia, dengan melepaskan label-label akan ras, suku, agama.
namun saya masih belum melihat dampak yang signifikan.
mungkin saya yang terlalu apatis untuk mencari perubahan yang mulai meniti keberhasilannya. possibly.
tau gak?
kadang saya berpikir bahwa perbedaan rasio antara orang-orang inilah yang membawa masalah.
berapa besar rasio perbandingan orang yang lebih mengutamakan konsep kemanusiaan dengan mereka yang lebih suka memanusiakan orang lain dengan tidak manusiawi?
berapa rasio perbandingan orang yang menyempatkan waktu memikirkan adanya kemirisan yang muncul dari tindak ketidakmanusiaan lalu memikirkan konsep tentang perubahaan-perubahaan yang memungkinkan manusia hidup dalam ketenangan, dengan yang lebih peduli mengurusi bagaimana memanusiakan dirinya sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya?
atau pertanyaan yang lebih sesuai:
berapa rasio perbandingan orang yang telah brilian memikirkan konsep tentang dunia yang lebih hidup dalam kebaikan (dalam kebaikan yang obyektif, dengan berprinsip pada moral, hati nurani, nalar) benar-benar memberlakukan konsep tersebut, dibanding dengan mereka yang memikirkan konsep untuk membangun ketidakmanusiaan dan telah bergerak untuk mewujudkan keegoisannya?
quality isn't always about numbers, jadi sepertinya sesuatu yang banyak belum tentu bisa mengalahkan sesuatu yang memiliki proporsi lebih besar dalam memberi dampak pada kenyataan.
tentang memikirkan lalu melakukan.
mungkin itu yang sulit untuk dicapai.
seperti sebuah diskusi kecil dengan seorang teman yang mempertanyakan keadilan atas nasib para veteran, saya kira ia juga sama dengan golongan mereka yang tahu tentang hakikat keadilan dan kemanusiaan, mampu memikirkan konsep untuk perbaikan, namun potensinya hanya sekedar potensi.
saya merasa juga merupakan orang yang demikian. banyak berteori, banyak memikirkan konsep, namun tidak juga bergerak. baru saya sadari dalam diskusi tersebut, secara tiba-tiba pemikiran saya menyentil diri sendiri:
i think the main problem of this situation is: most people just get busy drawing concept of the main aims in their heads, but forget to draw the concept of Start line, don't they? (oh, don't we?)
tahukah apa yang Confucius katakan tentang ini?
"To know what is right and not to do it is the worst cowardice."
Ah.
Kemanusiaan sebagai idealisme tentang kebaikan, kemoralan; tentang piety, virtues.
Ke-manusia-an lebih condong terlihat sebagai sebuah realisme keduniaan yang tidak menyisipkan ketuhanan.
Mungkin saya akan terdengar naif dengan mempertanyakan otentiknya pernyataan "hell is empty and all the devils are here" (Shakespeare).
Apakah semua iblis ada di sini? Kesemuanya?
Dengan menyampingkan kemungkinan terhubungkannya pernyataan tersebut dengan premis "Semuanya di sini adalah iblis", saya pikir masih ada "jahat" yang masih tersisa di tempat mereka seharusnya ada. bukan di dunia ini, maksud saya.
Ketika Elizabeth Kostova dalam The Historian mengatakan, "Sejarah telah mengajari kita bahwa sifat alamiah manusia adalah jahat, dan kebaikan tak bisa sempurna tapi kejahatan bisa*,"
dan Soe Hok Gie menyatakan bahwa "Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?" yang secara gamblang mengidentikkan ke-manusia-an dengan ketidakmanusiaan , secara pribadi saya secara teguh percaya masih banyak manusia-manusia yang termalaikatkan (atau setidaknya berusaha untuk memalaikatkan diri, tanpa usaha untuk meninggikan diri, namun lebih pada keinginan untuk menempatkan manusia dalam ke-manusia-an yang lekat dengan kemanusiaan)
*)History has taught us that the nature of man is evil, sublimely so. Good is not perfectible, but evil is. (Elizabeth Kostova, The Historian, 2005)
Ada hasrat akan kemanusiaan yang utuh di balik distingsinya yang saya katakan sebelumnya.
Saya memiliki keyakinan bahwa ada kemanusiaan yang tersisa dalam ke-manusia-an.
Saya percaya masih ada "kita" yang sedang sama-sama bermimpi tentang dunia yang lebih baik, tentang bangsa yang bermoral, tentang masyarakat yang lebih maju.
Kita sama-sama menyusun konsep tentang "membangun" dunia, sama-sama membagi ide-ide tentang "kebaikan" dalam komunitas manusia kita.
namun rasanya selalu ada yang menebaskan keyakinan yang seperti itu, sebuah argumen yang membalikkan pemikiran akan pengharapan, seperti fakta yang nampak lebih tegas dalam menyuarakan diri:
konsep adalah konsep.
ketika saya meyakini bahwa secara nyata konsep-konsep yang demikian cerdasnya telah menyebarkan diri dalam keseharian, saya pikir saya akan melihat dunia yang berubah, atau setidaknya merasa bahwa saya sedang berada dalam momen pergerakan dunia ke arah visi tersebut, saya malah semakin melihat bagaimana dunia seperti terlanjur tenggelam dalam stagnansi.
apa yang salah?
banyak orang-orang yang punya nama dan integritas untuk membangun bangsa, menyusun kembali potongan-potongan membanggakan dari masa lalu tentang kejayaan dan kredibilitas.
banyak orang-orang yang banyak meninggalkan fanatisme akan suatu kepercayaan dan golongan untuk melihat sesamanya sepenuhnya sebagai manusia, dengan melepaskan label-label akan ras, suku, agama.
namun saya masih belum melihat dampak yang signifikan.
mungkin saya yang terlalu apatis untuk mencari perubahan yang mulai meniti keberhasilannya. possibly.
tau gak?
kadang saya berpikir bahwa perbedaan rasio antara orang-orang inilah yang membawa masalah.
berapa besar rasio perbandingan orang yang lebih mengutamakan konsep kemanusiaan dengan mereka yang lebih suka memanusiakan orang lain dengan tidak manusiawi?
berapa rasio perbandingan orang yang menyempatkan waktu memikirkan adanya kemirisan yang muncul dari tindak ketidakmanusiaan lalu memikirkan konsep tentang perubahaan-perubahaan yang memungkinkan manusia hidup dalam ketenangan, dengan yang lebih peduli mengurusi bagaimana memanusiakan dirinya sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya?
atau pertanyaan yang lebih sesuai:
berapa rasio perbandingan orang yang telah brilian memikirkan konsep tentang dunia yang lebih hidup dalam kebaikan (dalam kebaikan yang obyektif, dengan berprinsip pada moral, hati nurani, nalar) benar-benar memberlakukan konsep tersebut, dibanding dengan mereka yang memikirkan konsep untuk membangun ketidakmanusiaan dan telah bergerak untuk mewujudkan keegoisannya?
quality isn't always about numbers, jadi sepertinya sesuatu yang banyak belum tentu bisa mengalahkan sesuatu yang memiliki proporsi lebih besar dalam memberi dampak pada kenyataan.
tentang memikirkan lalu melakukan.
mungkin itu yang sulit untuk dicapai.
seperti sebuah diskusi kecil dengan seorang teman yang mempertanyakan keadilan atas nasib para veteran, saya kira ia juga sama dengan golongan mereka yang tahu tentang hakikat keadilan dan kemanusiaan, mampu memikirkan konsep untuk perbaikan, namun potensinya hanya sekedar potensi.
saya merasa juga merupakan orang yang demikian. banyak berteori, banyak memikirkan konsep, namun tidak juga bergerak. baru saya sadari dalam diskusi tersebut, secara tiba-tiba pemikiran saya menyentil diri sendiri:
i think the main problem of this situation is: most people just get busy drawing concept of the main aims in their heads, but forget to draw the concept of Start line, don't they? (oh, don't we?)
tahukah apa yang Confucius katakan tentang ini?
"To know what is right and not to do it is the worst cowardice."
Ah.
0 comments