sekotak moral artifisial
8/23/2012 04:19:00 PMwaktu-waktu keseharian kami masing-masing habis dengan rutinitas: pekerjaan dan perkuliahan. rumah seperti sebuah tempat singgah. sebab selepas petang, kami akan sibuk dengan upaya mengisi waktu lengang kami masing-masing.
dalam sebuah percakapan dengan seorang kawan, televisi hadir dalam obrolan. kami sepaham bahwa kotak elektrik itu telah menjelma menjadi sebuah syiar ceramah-ceramah di negara ini, dan stasiun yang lain akan menjual berita-berita tentang selebritis yang membagi sedekah atau ketahuan merokok dan minum bir. televisi menjual apa yang disukai masyarakat di sini: justifikasi dalam menjadi polisi moral; sebab adat dan akhlak begitu menyenangkan untuk disandangkan ke atas komidi putar untuk saling menertawai satu orang dan lainnya tanpa celah cermin di depan muka kita masing-masing.
ibu gemar menonton televisi sepulang kerja. daai tv favoritnya. dan ia akan selalu menimpali, begitulah orang cina, atau kalau cina pasti kayak gitu tuh; sembari merujuk suatu tingkah laku yang diperankan di serial-serial yang kisahnya diangkat dari kehidupan nyata.
di saluran televisi lainnya kami akan menyaksikan berita-berita yang begitu berulang: kemiskinan, kelaparan, perampokan, juga kekerasan sebagai akibat intoleransi. dan ruangan akan diisi oleh komentar-komentar penjabaran bagaimana kelompok-kelompok minoritas dikucilkan: sebagai cina dan sebagai kristiani.
saat ini saya menengok kembali ke belakang, tentang bagaimana saya tumbuh dalam keluarga berbeda adat: ayahku jawa dan islam, ibuku cina dan katolik. saya mungkin bukan jawa, saya mungkin bukan cina, saya juga bukan islam, dan saya tak lagi menghayati kekatolikan. saat ini saya ingin berlari dari identitas-identitas itu. sebab saya masih begitu mengingat percakapan-percakapan diskredisasi di meja makan terhadap orang-orang pribumi; dan meja makan yang lain yang melihat wajah jawa saya yang berbicara tentang orang-orang cina dan prejudicenya. saya yang tumbuh di antara keduanya ingin melepaskan diri dari keduanya.
sebab kita bukan perlu berperang melawan tirani mayoritas identitas tertentu, tapi melawan tirani kebodohan seminor apapun jumlahnya. sebab televisi pun mungkin akan menayangkan hal-hal baik tanpa perlu menjual identitasnya sendiri, namun kedangkalan pikiran penontonnya akan selalu mengubah kebaikan menjadi fasisme kanon moral.
dan komentar-komentar arogan juga akan kami dengar di saluran televisi lain. sebab mereka yang menyebut dirinya pengacara sedang menjual mulutnya sendiri untuk popularitas. tak ada beda dengan para selebriti yang ingin dikuntit kegiatan bersedekahnya, sampai seorang nenek mencium tangannya. sedang sinetron lain akan mengisimu dengan syarat menjadi tenar, dengan lagu-lagu catchy atau acara dewasa yang menjaja paha dan buah dada (kedewasaan adalah mengkonsumsi perempuan secara visual di televisi? kenapa tidak ada cleavage penis-penis? kan dewasa? memangnya perempuan engga suka dimanja indera penglihatannya dengan objek privat dan sensual laki-laki?) yang akan membawa kita pada sajian ceramah-ceramah tentang akhlak dan moral para ustad yang semakin banyak namanya dan saya pun tak paham. juga tak mau paham. sebab sajian khotbah di minggu siang pun tak saya tontoni.
tapi kami semua akan mempercayai konstruksi-konstruksi itu; meski stasiun televisi adalah milik anggota partai tertentu yang sedikit banyak memiliki kepentingan politik dalam penguasaannya terhadap media. tapi kamu semua akan tetap menyalakan kotak itu di waktu lengang: sebab kotak elektrik itu tak memaksa kita untuk mempersepsi (melihat bukan secara pasif tapi aktif), kita hanya butuh ruang lengang untuk berselonjor dan menikmati waktu yang tak menyulitkan. dan sebagaimana agama-agama itu bersejarah, abad ini hanya sedang menyajikan struktur moral artifisial lain ke dalam kotak elektrik yang dipuja sebagai ciri modernitas.
0 comments