lelaki yang menghirup ujung pusar
8/22/2012 01:48:00 PM
hari ini aku terbangun dengan seorang lelaki yang berbaring di perutku. ia begitu wangi kupu-kupu. rambutnya bergulung di kulit perutku, dingin yang menyemai manis: seperti teh susu yang kuminum sehabis hujan sore. ia masih tertidur, dengan ujung-ujung jarinya menempel di pahaku. bibirnya separuh terkatup selagi menggumam tentang sebuah gerimis di semangkuk olahan makan malam.
ketika itu aku jadi ingat rasanya manis ciuman dengan sisa-sisa tembakau cengkeh.
karena itu kukecup dahinya, sebab ia tidur terlalu pulas.
barangkali bangun nanti ia akan mulai merokok lagi atau sesegera mungkin menggosok gigi lalu menyeduh lebih banyak cangkir-cangkir kopi yang akan ia tuangkan ke atas rambutnya.
dari ubun-ubunnya tersemai sebuah pensil yang ia pakai menulisi bergulung perkamen dari kolong kasurku, begitu lariknya menjelma menjadi percikan-percikan yang sebagian berubah menjadi selimut yang kukenakan di dada. sebagian lagi kulihat terbang ke luar jendela, sesaat sebelum aku jatuh tertidur lebih dulu. kata-katanya berarakan dari atas perkamen, begitu gaduh dan liar, namun begitu serempak. kata-katanya berlarian begitu sampai di bingkai jendela, sesaat setelah sebuah aba-aba yang tak kukecap, mereka berhamburan ke angkasa, menutupi sisa-sisa celah sabit yang mengintip menjelang subuh.
sebagian lagi kata-katanya menjahit lapisan-lapisan kulit perutku: tepat di celah bibirnya yang menempel di pusar. kata-katanya membiarkan diri menghirup bagian-bagian kehidupan dari dalam tubuhku.
ingin kupinjam nadi-nadimu, katanya. kupinjamkan nadi-nadiku, kubilang.
kami sama-sama memejamkan mata, saling meminjam jaring paru-paru, sebab tubuh begitu semu. dan demikian hari ini kami memulai pagi.
kota begitu dingin dan kuyup meski penghujan mampir sebentar-sebentar. sebuah perahu lagi tenggelam di dermaga tadi subuh, sebab angin barat begitu rindu memeluk. laki-laki ini masih menumbuhkan pensil di kepalanya, terkulai di atas perutku.
kota masih terlalu pagi, sayang, bisa kita kembali tidur lagi?
jalan-jalan masih begitu abu dan tak seorang pun beranjak dari persembunyiannya, sedang renceng kencana menggema dari sudut benteng yang kita arahkan senapan-senapan dari jendela kamar.
senat pergi tamasya lagi?, ia separuh mengigau.
selirnya bertambah satu lagi, kusahuti.
satu perkamen lagi, sayang, ia berujar lalu mengecup perutku ke hirupan pusar yang lebih dalam, dan kata-kata akan kuterbangkan bersama senapan.
kami masih saling mengecup dan mengecap kopi dari lidah satu dan lainnya, saling memeluk dan menghirup hidup satu dan lainnya; ketika kami sama-sama mendengar sahutan termanis di sepagi ini: bunyi letusan. juga erangan di kencana. dan teriakan. dan kota yang dibangunkan oleh senapan tanpa asap dan tak berjejak. dan bangkit: satu, dua, tiga ribu orang-orang lapar yang di bawah pipa pembuangan. langit diisi seribu kembang api yang terlalu pagi. kerusuhan.
satu perkamen lagi, sayang, aku berjanji. kami masih berciuman. dan malam ini tirani akan tumbang.
0 comments