catatan untuk herni, juga herni lain yang tak saya kenal

5/08/2012 12:47:00 AM

Mungkin ada yang kurang saya ajarkan di kelas sejauh ini:
bahwa menjadi murid -atau pembelajar- yang baik, kepatuhan yang menyeluruh adalah sebuah ketidakperluan.

Siang ini kembali mengajar setelah skip dua pertemuan karena terbentur ujian. dan hujan sejak pagi. Hari biasa saja kelas hanya diisi separuh anak dari jumlah total yang ada di buku absen. Dan hujan siang tadi menghambat dengan banjir, angkutan yang susah, juga kesempatan mengojek payung yang lebih menguntungkan: cuma 6 anak yang masuk kelas, dan kelas biologi paket B setara SMP kelas 1 saya hanya ramai dengan anak yang itu-itu lagi.

Anak-anak ini bercanda di kelas seperti biasa, sampai tiba-tiba Ayu, salah satu yang paling aktif di kelas, meledek Agung (yang baru masuk sekolah hari ini):
"Yah, Gung, cewek lu nikah kemarin, Gung."
dan dikomentari Mujib, "yah, Herni nikah, Gung. Sedih dong, Gung."

Saya yang mematung.
"Herni nikah?"



Saya menatap bangku tempat Herni biasa duduk dan memang diisi oleh Cintya (yang anaknya juga jarang sekali masuk sekolah). lalu saya ulangi lagi, kalau-kalau Ayu bercanda, tapi jawabannya tetap sama. "Iya, kak, Herni nikah."

Jika di kelas saya kadang kelimpungan dengan anak-anak yang hiperaktif dan seringkali membangkang, maka Herni adalah salah satu murid yang mengurangi beban saya. Anaknya pendiam, jarang sekali bicara. sekali bicara suaranya kecil dan malu-malu, juga hati-hati. Yang paling saya ingat adalah ia tak pernah tak menganggukkan kepalanya yang berkerudung setiap kali saya menginstruksi kelas untuk melakukan sesuatu.

Di hari pertama saya mengajar, Herni hampir tidak pernah tersenyum lepas. Jika anak-anak seperti Mujib, Syam, Irwan, Ayu bercanda yang lucu sekali pun, Herni hanya melengkungkan bibirnya sedikit. Sekalinya saya melihat Herni tertawa lebar waktu kelas bahasa Indonesia saya isi dengan menyuruh anak-anak menulis cerita mengesankan dan membacakannya di depan kelas. Kelas terakhir saya mengajar Herni.

Herni menikah.
Kalimat itu muncul di kepala saya terus-terusan sampai sekarang saya mengetik ini. Saya pikir Ayu bercanda, tapi katanya beberapa kawan yang Herni punya nomor ponselnya memang dikirimi SMS kabar pernikahannya. begitu saya cek buku absen, betul namanya telah dicoret dengan keterangan "pindah".

"Herni pindah kemana, Yu?"
"Bogor, Kak."
"Oh, sekolah di sana?"
"Lah kan nikah, Kak."

Begitu kelas selesai saya klarifikasi kabar itu ke Babeh (panggilan pemilik yayasan tempat saya mengajar) dan jawabnya, "Iya, tapi ke Pandeglang, bukan Bogor."
"Di sana akan lanjut disekolahkan?"
mata Babeh menerawang, "Enggak tau juga."
Dan saya rasa saya juga sudah tahu jawabannya.

Anak-anak perempuan yang baik seperti Herni, yang dibentuk dengan kriteria sebagai yang mau menurut dan mengikut, karena tuntutan ekonominya akan mengiyakan begitu orang tua mereka memutuskan untuk menikahkah mereka dengan pria yang bukan pilihannya sendiri atau bahkan tak dikenalnya, dengan harapan bisa memperbaiki kehidupan si anak (dan keluarganya) karena dinafkahi oleh suami. Bohong kalau diskriminasi pendidikan terhadap anak perempuan telah tergusur modernitas ibu kota. Justru bukankah hedonisme dan egoisme ibukota yang juga turut menyuburkan kebiasaan yang tak berkeadilan tersebut?

Dan logikanya pun takkan sampai ke sana. Menikah bukan hanya urusan bisa masak cuci dan urus anak yang tak perlu persiapan karena sudah jadi kodrat. Pola 'penurutan' hanya akan membentuk si istri sebagai pelengkap dalam rumah tangga yang akan mengikut apa saja keputusan suami, ia takkan berani memberi pendapat, tak berani menganggap dirinya juga harus bisa berperan dalam membantu suami sebagai penunjang kehidupan keluarganya. Jika perempuan dibiarkan dengan dasar pendidikan rendah dan si suami yang lebih tinggi pendidikannya dianggap lebih tinggi derajatnya karena bisa bekerja dan mencari nafkah, apa harga istri di rumah?

Saya sempat ingin menyusun skenario mendatangi langsung ibu dan bapak Herni atau Uwa-nya  di Jakarta (karena Pandeglang tidak akan mungkin saya capai dalam waktu dekat ini) dan berkata "Bu, Pak, Herni harus kembali ke sekolah," tapi saya hentikan skenarionya.

Saya paham betul alasan mereka - yang tak bisa saya jawab. "Memangnya ajaran sekolahanmu bisa kasih makan anak saya?" Begitu sialan sekolahan. (dan saya jadi ingat seorang teman dan rekan-rekan gurunya yang gajinya penuh catutan, juga suntikan dana buat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang lebih terdengar seperti tahi-tahi di jurnal pendidikan).

Lagi-lagi saya sedih karena cuma bisa sedih. Tak pantas kita menyebut diri kita ini orang berpendidikan ketika berpikir "Oh, itu memang wajar kok kalo di kampung. Mau disekolahin juga buang-buang duit belum tentu dapet kerjaan jadi duit lagi, mending dinikahin, dikasih makan sama suaminya, ngurus anak sama dapur di rumah lebih enak." Ketika kita mewajarkan kondisi perampasan hak yang dilakukan oleh sistem yang korup, kita sedang memasuki tahap-tahap pencucian otak oleh mereka yang memang ingin mengebiri pemikiran perlawanan, yang artinya, kita melegalkan perbudakan dengan terlebih dahulu menjadi budak sistem tanpa pernah kita pertanyakan dan cari jawaban.

Pekerjaan saya masih banyak yang harus diselesaikan tapi tak kunjung bisa tidur. Kepala saya isinya Herni dan anak-anak lain seperti Herni yang ingin menjadi anak baik namun nasib atas dirinya sebagai individu tak baik. Yang saya butuhkan sekarang ini hanya akses komunikasi ke Herni untuk sekedar titip pesan: kamu bisa jadi anak baik tanpa harus selalu jadi penurut. Semakin kau biarkan hak berpikir, memilih, dan berpendapatmu diambil orang maka kau juga sedang menanamkan pada dirimu sendiri pola serupa untuk diterapkan pada orang lain. Membiarkan hakmu diambil berarti kau tengah mempersiapkan pengambilan hak orang lain dengan tanganmu juga. Tapi saya tidak bisa mengubah apa-apa.

Pe-er saya masih banyak. Kamu juga. Apa kita bisa tidur nyenyak sekarang?
Di kelas Ayu tadi bilang, "Herni menelepon bilang akan menikah sambil menangis."
Hati saya pedih sekali.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe