Di Kebun Jepun

5/04/2012 10:09:00 PM


Tujuhpuluh Puisi halaman duapuluhlima:
untuk sunyi yang sialan dan sia-sia, tak ada gunanya;
yang mungkin lucu dan terlambat.

Di Kebun Jepun
(Goenawan Mohammad)

*

Di kebun Jepun itu sepasang orang asing
berbicara tentang daun-daun

"Alangkah sedihnya," kata yang perempuan,
"kita tak tahu nama daun dan pohon."
"Aku pun tak tahu siapa namamu," jawab yang laki-laki,
"kau tak tahu siapa namaku, tapi kita tak sedih."
"Tapi aku tahu siapa namamu, kau tahu siapa namaku."
"Hanya sebagian."
"Hanya sebagian. Tapi kau telah membedakanku dari yang lain,
sementara kita tak bisa membedakan daun-daun ini
dari yang lain, untuk saat yang lain."
"Tapi kau bukan daun. Aku tak bisa melupakanmu."

Memang manis kedengarannya. Mungkin romantis.
Mungkin lucu. Dan terlambat.
Mereka bukan anak-anak muda dari sebuah novel.
Mereka bayang-bayang, menghitam oleh usia, mencari nyali
dalam keramat matahari, dan akan hilang sendiri-sendiri
bila tiba gelap.

Dan gelap juga akan tiba di kebun Jepun itu.

Maka pada rumput tanpa nama, di teduh pohon tanpa nama,
mereka duduk. Mereka ingin saling membujuk, mungkin
memeluk. Tapi kemudian, cuma bersintuhan.
Hanya bersintuhan! Mereka takut. Kenangan bisa
hanya beban, cinta tak ada jalan keluar, matahari
hanya sebentar.

"Matahari hanya sebentar. Besok kita masing-masing pergi."

Dan perempuan itu, 37 tahun, teringat suaminya.
Dan laki-laki itu, 42 tahun, teringat isteri dan anak-anaknya.

"Lalu?"
"Jangan tanyakan itu."
"Perasaan kita ternyata sialan dan sia-sia,
tak ada gunanya."

Sungguh benar! Laki-laki itu ingin bersiul, mengelakkan putus asa. Laki-laki itu ingin berkata:
"Sunyi juga sialan dan sia-sia, tak ada gunanya."
"Juga nama pohon," perempuan itu menyambung.

Dan mereka saling tersenyum, sakit, senyum, pahit
sementara ikan-ikan emas yang malas tak mengacuhkan
pucuk daun (mungkin kecubung) jatuh terapung pada palung.

"Lalu, apa yang berguna?"
"Semut-semut," sembur yang laki-laki. Mereka tertawa,
memandangi sebaris semut mendaki tanah, menghindari basah.
"Atau," sambungnya, "yang berguna adalah gangsa."
"Tapi di kebun ini tak ada gangsa."

Laki-laki itu mengangguk. Tak ada, tapi itulah yang
mereka cari: seekor unggas yang putih + seekor lagi
unggas yang putih, berdiri di kejauhan dalam kebun itu,
membersihkan bulu, menjemur diri di sebuah pagi.
Kita butuh fantasi, pasangan itu ingin berbisik.
Tapi mereka tak berbisik. Hanya bersintuhan, sekali lagi.

1973

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe