tentang ilmu dan cemburu.
11/24/2011 08:32:00 PM
senja kali ini kembali dihabiskan di kopaja, dengan perenungan tentang kecemburuan. sebuah racuan (yang terlalu) panjang.
kejujuran tentang diri saya sendiri: saya masih menyimpan iri ... dan memeliharanya. bukan irinya yang saya pelihara, tapi reaksi diri untuk memunculkan rasa iri itu yang saya pelihara. saya meyakini iri itu manusiawi, sementara ia akan berubah menjadi sesuatu yang tak lagi manusiawi ketika dibentuk jadi dengki. iri saya, saya coba untuk tidak pernah sampai ke sana.
saya menyimpan iri pada mereka yang unggul dalam berilmu.
tapi kemudian saya merasa malu dengan perasaan tidak suka itu sendiri. saya tanyakan diri saya sendiri:
apakah kecerdasan adalah untuk dibanding-bandingkan? apakah kecerdasan memang pantas untuk diperbandingkan? dan jika memang perlu diperbandingkan, dengan parameter apa ia pantas dibandingkan?
asumsikan kecerdasan adalah konsep eksistensial seperti kebahagiaan: yang hanya bisa dipahami dan dimaknai tentang tahapan-tahapan dan parameternya bagi diri sendiri saja. jika memang demikian, maka tidak ada parameter yang adil dalam membandingkan kecerdasan seseorang (baik dari IQ, EQ, SQ, dan segala bentuk formalitas usaha manusia lainnya untuk mengukur seseorang); dan oleh karena itu, kecerdasan tidak sepantasnya diperbandingkan satu orang dengan yang lainnya.
bukankah menyedihkan menyadari bagaimana kita ini tumbuh dalam pola pendidikan yang mengajarkan kita (secara langsung maupun tidak) untuk terus-terusan berlomba, bersaing satu pelajar dengan pelajar lainnya untuk bisa lebih unggul dalam berilmu; namun hanya dilihat dari nilai rapot, dari indeks prestasi? kemudian tidak mungkin tidak ada yang melihat upaya pencarian ilmu hanya sekedar memberi angka besar pada laporan pembelajaran, maka muncullah upaya mencontek, upaya curang dalam ujian dengan joki, atau menggunakan jasa orang untuk mengerjakan tugas tertentu. membentuk ketidakejujuran yang membawa peserta dan penyelenggara pendidikan pada absurditas pendidikan itu sendiri.
semacam kita ini dipaksakan turun dalam arena pertandingan untuk bisa jadi yang lebih unggul daripada yang lainnya; dan tak jarang jika kemudian membawa orang pada pola pikir diri sebagai yang superior. alih-alih mengatakan "saya ingin pintar", kita lebih suka berkata "saya ingin lebih pintar dari ....."
maka jangan heran jika sekarang pendidikan dikomodifikasikan, dan jadi permainan para industrialis pendidikan, jadi barang dagangan yang dijual kualitas bagusnya hanya pada si kaya. sehingga terbentuk pola pikir bahwa kecerdasan terbatas pada kapur dan papan tulis.
sehingga kita menyebut mereka yang tidak sekolah sebagai orang bodoh, dan mereka yang bisa berseragam, menikmati status mahasiswa sebagai orang pintar (atau setidaknya, memiliki ilmu lebih). demikian kita cenderung membanding-bandingkan kecerdasan seseorang.
dan jika kecerdasan memang dikejar untuk menjadi pembanding manusia satu dengan lainnya untuk melihat manusia mana yang lebih unggul, lebih superior daripada sesamanya, maka kecerdasan telah berubah menjadi kejahatan, karena ia menjadi motivasi orang untuk bisa curang, untuk menyimpan dengki, menyimpan obsesi yang sering terpeleset menjadi egoisme. kecerdasan ada bukan untuk membentuk kesadaran bahwa kita ini unggul dan yang lain tertinggal ilmunya, karena ilmu bukan untuk dimiliki orang-orang tertentu saja. ilmu harus bisa dimiliki bersama. ilmu bukan milik siapa-siapa, selain umat manusia secara universal, tanpa ada sama sekali batas-batasan yang kita rekayasa (strata ekonomi, status sosial, dan sebagainya.)
akan tetapi, bukankah manusia memang memiliki kecenderungan, tanpa harus diperintah, untuk mengklasifikasikan segala sesuatu yang ditangkap inderanya? ini memang teori Plato, tapi secara empiris, saya pribadi setuju. seperti sekarang ini saya melirik sekilas ke meja kerja saya dan tanpa aba-aba bisa mengkategorikan benda-benda ini: yang bisa dikonsumsi (kopi di dalam cangkir), dan yang tidak seperti buku-buku (yang bisa dikelaskan lagi: buku desain, buku sketsa yang sudah habis, buku tulis bekas), alat-alat warna (krayon, soft pastel, cat akrilik), stationary (spidol, drawing pen, kuas, penggaris); yang masing-masing benda tersebut bisa kita kategorikan lebih dalam lagi. dan tanpa sadar pun saya mengkategorikan orang-orang di sekitar saya: para dosen lulusan S2, para dosen S1, petugas kebersihan, petugas keamanan, mahasiswa desain, mahasiswa komunikasi, mahasiswa ekonomi ............ dan hal demikian, yang saya yakini juga menjadi tindak naluriah setiap orang yang berakal, tidak seharusnya kita arahkan untuk membandingkan kualitas satu orang dengan lainnya.
kualitas seseorang (dalam hal ini adalah kecerdasan) tidak diukur dari tingkat-tingkat pendidikan formalnya, tidak dilihat dari jenis pekerjaannya, berapa besar gajinya, berapa besar keuntungannya. kecerdasan yang demikian adalah kecerdasan semu. disimpan sendiri, untuk membanggakan diri, bukan untuk dibagi (saya tetap pada keyakinan saya bahwa ilmu pada hakikatnya harus bisa dimiliki setiap orang).
kemudian saya jadi ingat percakapan yang saya simak (saya tidak terlibat sebagai orang yang bercakap-cakap di dalamnya), tentang menteri yang di-reshuffle kalau tidak salah. seorang jurnalis berkata dengan kawannya di Twitter, bahwa menteri bidang A yang sekarang ini lebih pintar daripada menteri yang memangku jabatan sebelumnya. kurang lebih sama seperti ketika membicarakan kualifikasi seseorang untuk menempati satu tanggung jawab tertentu, kita berbicara: "orang ini lebih cerdas dari X, maka ia lebih pantas", atau "Bapak Y masih lebih cerdas daripada Z, kenapa bukan Bapak Y yang menempati posisi A?"
sampai saya berpikir bahwa kecerdasan memang mempunyai kondisi pengecualian tertentu untuk bisa dibandingkan. tapi rasanya tidak perlu dan tidak konkret.
yang dapat kita ukur adalah implementasi ilmunya. sesederhana itu sih. agak menyebalkan memang liat orang yang sensitif, kesel karena orang lain lebih unggul daripada dia. karena bagi saya, ilmu, kecerdasan, itu jadi tanggung jawab pribadi seseorang atas akalnya sebagai manusia, bukan alat untuk melegalisasi superioritasnya terhadap manusia lainnya. setiap manusia bukannya berhak, tapi berkewajiban untuk terus belajar.
yang kita ukur bukan jumlah gelarnya, universitas tempat ia belajar, jumlah buku yang dia baca, tapi bagaimana ilmunya bisa jadi guna buat orang banyak. ya enggak? dan saya ingin sekali sampai ke sana. karena ilmu yang disimpan sendiri adalah bentuk kejahatan, dominasi pengetahuan yang adalah milik universal.
dan saya jadi ingat percakapan dengan seorang dosen filsafat keindahan yang bertanya apakah kawan-kawan sekelas memahami materi karena jarang sekali ada yang bertanya di kelasnya. saya jawabi, barangkali memahami, tapi mereka yang tidak bertanya di kelas bukan berarti tidak ada effort. beberapa datang ke saya untuk bertanya, saya jawabi sejauh yang saya pahami. setidaknya mereka mencoba untuk paham.
sisanya? , katanya. saya bilang, nah untuk yang itu saya rasa bukan masalah stupidity, kak, tapi ignorance. dan itu enggak bisa kita apa-apain. berpikir seolah filsafat hanya untuk mereka yang mau saja, dan karena itu pola pikirnya jadi disempitkan, dibatasi oleh diri sendiri, tanpa motivasi untuk memahami. seperti ada yang selesai kelas mendatangi saya dan mungkin maksudnya bercanda tapi agak nyinyir karena saya melempar pertanyaan terus karena menurut saya, mahasiswa harus terbiasa berdiskusi. anak ini bilang sambil tertawa, "ellena titisan plato apa gimana? kok bisa paham?" - hanya itu, bukannya menanyakan sebenarnya pemikiran plato di kelas tadi itu sebenernya apa. ya saya juga dulu buta, tapi paham karena menjajal. lalu beliau menjawabi, ya sudah kalau memang demikian ya kembali pada diri sendiri, buat apa dipaksakan? masa mentalnya disuruh-suruh melulu?
iya, ilmu yang dipaksakan itu absurd. tapi untuk menghindari kewajiban untuk mencoba memahami, itu lebih absurd lagi..... dan kecerdasan, memang tidak pantas dipakai untuk membandingkan orang lain, tapi kebanalan yang sengaja dipelihara? i can deal with stupidity (which never exists), i can't deal with ignorance.
lalu saya jadi ingat percakapan dengan andri: "kepengen cepet-cepet lulus kuliah deh rasanya." "memang kamu kalau sudah lulus kuliah mau ngapain?" "kerja." "ah." "kenapa 'ah'?" "lagi nungguin aja ada orang yang jawabnya bukan 'kerja', tapi 'ngapain aja deh yang penting bermanfaat buat orang'." - dan demikian seharusnya kerja itu beresensi, kan? kerja - dalam artian proses setelah ilmu dikumpulkan semasa pendidikan formal, untuk kemudian digunakan untuk bisa memberi arti pada manusia. gitu bukan?
*
jadi cemburu ini akan tetap saya pelihara, sebenarnya. bukan untuk membandingkan diri saya dengan orang lain, tapi untuk bisa menyadari bahwa kita tidak pernah akan sampai pada selesai atau kata 'cukup' dalam belajar.
ilmu boleh membawa cemburu , asal ia bisa jadi guru.
2 comments
kalo ngutip lagu manic street preachers,
ReplyDelete"library gaves us power then words came and made us free"
can't agree more.
ReplyDelete