memang enggak. (1)

9/03/2011 03:54:00 AM

mungkin memang benar saya terlalu sederhana melihat hidup. mungkin memang benar saya lamban dalam kedewasaan dalam melihat kehidupan.

seperti tadi sore, misalnya, sewaktu ayah saya di mobil rewel nyariin warung kopi karena benar-benar butuh ngopi sepulang dari bogor, saya dibawa pada pertanyaan naif di dalam kepala. ada berapa banyak orang di indonesia ini yang sebegitu besar ketergantungannya pada kopi sebagaimana yang terjadi pada ayah saya, ibu saya, dan juga saya? berapa banyak orang dari kaum urban di indonesia yang rela mengantri, rela merogoh kocek, atau sekedar benar-benar 'menabung' untuk beli kopi yang ada di pusat-pusat pertokoan dan mal besar? berapa banyak keuntungan yang didapat oleh para penyedian kopi bermerk seperti starbucks, coffee bean, bengawan solo, atau sekedar coffee toffee atau semerbak coffee (ini ada beneran), atau tukang kopi di pinggir jalan yang menyediakan kopi seduh instan dengan merk-merk yang makin rame sampe enggak bisa dihapal lagi? terlalu banyak. sampe-sampe kita bisa mikir kalo prospek industri kopi di indonesia itu baik banget.

pertanyaannya sederhana:
apakah itu berarti petani kopi indonesia pada makmur? mereka semua bisa sekolahin anaknya, minimal wajib belajar sembilan tahun tanpa perlu menganggap bahwa membantu di perkebunan lebih berharga dibanding duduk di bangku sekolah?
apakah itu berarti pekerjaan sebagai petani kopi sudah bukan lagi dianggap pekerjaan rendahan dibanding mereka yang duduk di kantoran?

justru yang kaya itu para tengkulak, kan? atau si pemilik kebun. - para pemilik modal, para pemilik alat produksi.
sama kayak beras, cabe, bawang, garam................
begitu sampai di kita harganya udah melonjak enggak ketulungan. kita makin seret. petani mengkeret.
tapi memang sesederhana itu? sok-sok membela proletar tapi apakah memang permasalahan hanya di situ?

"para pengusaha dan tengkulak itu punya otak pinter, makanya bisa memberi nilai lebih pada sumber daya alam, dibanding mereka yang otaknya hanya sekedar kerja sebagai tukang di kebun"
apa iya sesederhana itu?
"para petani itu mentalnya orang jajahan, pikirannya tertindas melulu enggak maju-maju." atau
"para petani itu termakan ideologi sosialis yang bikin orang males."
apa iya sesederhana itu?

bagaimana dengan faktor modal? faktor latar belakang pendidikan? faktor kesempatan? faktor prioritas pemenuhan kebutuhan? faktor pola pikir yang terlalu tradisionil? faktor pola pikir visioner yang belum sampai ke mereka?
kayaknya enggak sesederhana itu.

dan dengan naifnya saya sampe nanya sendiri dan jawab sendiri,
jika memang para tengkulak dan pengusaha itu sadar bahwa mereka memliki kecerdasan, kesempatan, dan peluang yang lebih baik (dan segala yang lebih dibanding para petani yang serba kekurangan itu), mengapa mereka tidak menyisihkan waktu (tidak melulu uang) untuk mengajari mereka agar bisa mandiri? training misalnya (karena pinjaman modal sekarang sudah ada koperasi dan sarana lain), atau pendidikan tertentu.
tapi apa memang akan sesederhana itu untuk dilakukan?
dan apa memang sesederhana itu mereka rela melakukan hal itu?
kayaknya enggak.

dan di titik itu, tadi sore, saya kesadar betapa naifnya saya. terlalu memandang sederhana permasalahan.
perkara kesenjangan, masyarakat kelas, kemiskinan, kayaknya udah lagu lama dari jaman dulu kala. sejarah manusia bukankah adalah sejarah pemerasan, juga sejarah perjuangan kelas? yang permasalahannya enggak sesederhana yang saya asumsikan dalam pikiran random saya kayak tadi sore.

tapi entah kenapa saya merasa saya harus memikirkan itu. entah kenapa.
apakah harus saya jabarkan karena saya adalah warga dunia, sesama manusia, yang begini dan begitu.... apa memang sesederhana itu? kayaknya enggak.

kadang ada terlalu banyak hal di dunia ini yang kesannya sederhana banget padahal enggak. dan udah berapa sering sih saya mengkerdilkan banyak hal?
tapi berapa banyak juga hal sederhana yang dirumit-rumitkan? soal kebahagiaan, misalnya.

kayak ayah saya tadi, ditawarin ibu saya "itu ada starbucks." "eh itu ada j.co." atau "yaudah beli yang kalengan aja ya" sampe ayah saya kesel dan bilang, "ma, yang dimaksud dengan ngopi itu relaxnya. santainya. suasana warungnya. sampe kaki bisa ngangkat satu di bangku."
masing-masing kesannya sederhana kan? soal 'ngopi' dan 'ngopi' antara orang tua saya.
dan dilanjutin sama ayah saya yang bilang, "kalo makan di restoran itu enak. beda loh sama nikmat makan di warung pinggiran, cuma enam ribu perak dan sayur asem tinggal kuahnya."
ibu saya diem.
saya ngangguk-ngangguk di belakang karena pernah mencicip nikmatnya.

padahal sederhana loh.
apa spesialnya makan di pinggir jalan? apa spesialnya ngopi di bawah jembatan sambil ngobrol sama tukang bangunan dan penghuni kolong? apa spesialnya naik kopaja dibanding naik mobil pribadi ber-AC? apa spesialnya jalan kaki? apa spesialnya jalan-jalan ke galeri seni atau museum? apa spesialnya gerah-gerahan di toko buku bekas? apa spesialnya nontonin orang baca puisi? apa spesialnya duduk hening di perpustakaan?
kesannya sederhana. tapi itu nikmat. yang sebenernya gampang buat dicari.
tapi apakah sesederhana itu di mata orang lain? kayaknya enggak.

kayak saya, sampe detik ini masih punya cita-cita jadi pekerja sosial, mau kuliah S2 biaya sendiri, nulis buku, mau jadi orang tua angkat, mau ikut Indonesia Mengajar. mereka bilang, cita cita saya terlalu sok sederhana. enggak ngasilin duit. malah kesannya buang-buang duit dengan kuliah desain grafis yang enggak murah ini. atau kayak saya yang diomelin terus karena harus pulang sore/malam karena kegiatan sosial yang dianggap buang-buang tenaga dan waktu. seriusan, saya sampe enggak habis pikir apa pikiran yang melandasi sebuah teriakan, "kuliah itu yang bener, enggak usah pake ikut-ikut kegiatan sosial!". it's still left unanswered, anyway.

kesannya sederhana sih. padahal enggak sesederhana itu cita-cita saya.
tapi justru, yang sederhana itu yang enggak bisa sesederhana itu dimengerti orang lain. dan menjelaskannya pun enggak akan sederhana. 
atau memang benar saya yang melihat hidup sebagaimana yang saya cita-citakan itu terlalu sederhana?
terlalu naif. terlalu enggak dewasa. terlalu............ ah begitulah. sampe sebenernya, yang saya lihat sederhana itu sebenernya enggak sesederhana itu? dan mereka yang melihat sok sederhana itu juga enggak sesederhana itu?

nah, mulai lagi. sekarang saya lagi ngomongin apa, coba? tentang hal yang sederhana. tapi memang sesederhana itu? kayaknya memang enggak. krik. ya sudahlah. hampir jam 4 pagi. tulisan melantur lagi.

You Might Also Like

1 comments

  1. Life is Simple, If You Want it. mengutip dan modif dikit dari Lennon. :)
    Terkadang memang sesuatu yang simple ternyata ga se-simple itu, salahkan saja otak manusia yang suka liar.

    Kalau saja ada template hehehe but then the template itself is the future problem.. ahhh

    anyway numpang senam otak juga, good thought!

    ReplyDelete

followers

Subscribe