memang enggak. (2)

9/03/2011 06:29:00 PM

oh. ada lagi yang kadang dilihat dengan terlalu sederhana oleh orang kebanyakan:
identitas keagamaan.
atau mungkin saya saja yang telah (atau pun sedang) dengan salah menganggapnya dengan terlalu sederhana untuk melihat identitas keagamaan sebagai sesuatu yang tidak sederhana.

mereka bilang, pertanyaan tentang keagamaan itu lancang, dan rasa-rasanya, bagi mayoritas orang memang demikian. mungkin kecurigaan bahwa mereka akan dikotak-kotakkan berdasar keagamaan mereka? entahlah. karena saya lebih suka tidak menanyakan identitas keagamaan orang. untuk apa? untuk sekedar tahu, lalu membuat kolom-kolom label di dalam kepala: berarti si X itu bersama si Y, Z, A, B, C dalam kolom agama D, dan seterusnya? tapi bagi saya pribadi, sama sekali tidak jadi masalah jika ada yang terang-terangan menanyakan identitas keagamaan saya. saya tidak akan menghindari diri dari pertanyaan semacam itu. untuk apa juga menghindar? memangnya saya seorang kriminal yang ingin lari dari pengadilan?
hanya permasalahannya adalah: apakah seiring dengan pertanyaan mereka tentang identitas keagamaan saya, mereka juga membawa serta waktu luang untuk mendengar dan ruang lapang untuk belajar menghargai?  karena saya pribadi percaya bahwa bagi beberapa orang, identitas keagamaan tidak akan pernah cukup untuk dijawab hanya dengan satu kata, satu nama agama saja. identitas keagamaan seseorang lebih dari itu. jauh, jauh lebih dalam dan krusial dibanding popularitas dan pengetahuan yang didengar atau dilihat secara mayoritas di dalam masyarakat mengenai suatu agama tertentu (baik yang diakui maupun yang tak diakui di negara ini), dan jauh lebih kompleks dibanding sekedar mengucapkan ikrar dan melakukan ritual. sementara penggunaan kata 'keagamaan' dalam kalimat-kalimat sebelum ini bukan mengarah pada lembaga. itu yang harus diingat, karena memang tidak sesederhana itu.

ada suatu percakapan yang menempel di kepala saya tentang keberadaan saya dalam suatu komunitas/ikatan keagamaan. dengan seseorang.
"selama perjalanan ini, saya nyadar sesuatu. i don't belong here."
"jadi kamu belong kemana?"
where do i belong to?
jika hati saya bisa berbahasa secara verbal, dia akan menjawab, "pada manusia." tapi mungkin tidak akan pernah sesederhana itu.
ia mengulang, "kamu belong kemana? ada lima -- enam. kamu belong kemana?"
saya jawabi dengan bohong, "enggak kemana-mana", karena 'enggak kemana-mana' itu sendiri pun mengarah pada "ke- sesuatu". i belong to this universe. i belong to this people. i belong to the unseen Power, that we all may know as the concept of God. tapi lidah saya kelu. enggak mungkin menjawab dengan sesederhana itu.

menurut saya, harga keimanan seseorang terhadap suatu kepercayaan itu tidak pernah sesederhana proses: mendengar, menerima apa yang dikatakan orang, lalu begitu saya percaya. perjalanannya terlalu jauh, terlalu panjang, terlalu kompleks, terlalu menyakitkan sampai udah enggak bisa dibahasakan, dan sempat saya tulis di blog ini tentang "Pikiran Acak" saya tentang religious view seseorang. saya pernah menulis sebelum ini, bahwa mereka yang memang menghormati kepercayaannya, memberi nilai lebih, menganggap kepercayaannya adalah 'sesuatu', yang akhirnya berusaha untuk mencari tahu. memangnya "kesetiaan" macam apa yang mereka gembar-gemborkan dalam mempercayai suatu hal yang mungkin sebenarnya,  tidak mereka pahami sama sekali.
bukankah memang demikian untuk percaya? untuk terlebih dahulu meragu. seperti contoh kecil, tentang gerakan 30 september dan rekayasanya. yang saya lakukan malah membaca buku-buku propaganda yang oposisi terhadap kebenaran yang saya percayai untuk meragukan balik si keragu-raguan untuk menguji kebenaran yang saya percayai itu sendiri.
ribet? beresiko? lah memangnya urusan hati kepercayaan dan hal basis yang menyangkut seluruh kehidupan sesederhana mengucapkan, "saya agama X." titik. gitu?

perkara ber-Tuhan dan beragama dan kepercayaan akan keduanya (atau ketiganya, dengan lembaga / institusi sebagai tambahan, dan keempatnya dengan tambahan politik) tidak pernah sederhana. dan itu yang tidak bisa dianggap remeh. justru bentuk penyederhanaan malah mengkerdilkan agama dan Tuhan, bagi saya. lihat saja para kaum fanatik yang bertindak atas nama agama. atau agamis picik yang seenaknya memberi cap sesat pada orang yang murtad.
lalu sekarang bagaimana jika saya katakan, bahwa orang yang ber-Tuhan belum tentu beragama; jika orang yang percaya pada Tuhan belum tentu percaya pada lembaga?
ah, bukan, bukan. deisme hanya percaya Tuhan yang ada pada awal penciptaan saja dan entah sekarang dimana. sementara agnostisisme lebih menyerahkan diri pada ke"tidaktahu"annya akan Tuhan. dan saya tidak akan bisa jadi apa-apa kalau sampai memiliki keyakinan bahwa Tuhan tidak ada.

bahkan apostasi adalah sebuah opsi untuk mencari.
dan dalam proses mencari inilah, saya seorang teis. dan keteisan saya tidak sesederhana mengkata-kuncikan kepercayaan akan yang Maha tapi tidak pada lembaga. enggak pernah sesederhana itu. seperti misalnya saya berujar, saya tidak menemukan Tuhan dalam hingar bingar. sesederhana itu? enggak. hingar bingar seperti apa? menemukan Tuhan bagaimana? jangan-jangan disalahartikan bahwa saya yang salah beragama dengan foya-foya, padahal maksud saya, saya tidak bisa menemukan Tuhan di antara orang-orang yang tergila-gila dengan ritual dan ibadah, sampai jangan-jangan, enggak tahu lagi menyembah siapa.
see? enggak sederhana kan? bahkan penjabaran saya dalam tulisan absurd ini pun enggak.

pertanyaannya, seberapa luang waktu untuk membaca paragraf demi paragraf yang telah saya tulisi ini? seberapa lapang hati untuk mencoba mengerti dan sekedar menghargai pilihan hidup yang tak sesuai tradisi ini?

saya ingat pernah berkata di twitter, to get myself used to not talk too much on how i believe in religion, dan direspon teman saya yang katanya, menyayangkan orang-orang yang tidak mau berbicara mengenai keagamaan. well, padahal, saya sih yakin bahwa everyone would like to have such conversation, but the problem is: most of them prefer to only hear the affirmation of their own beliefs.
itu yang disebut beragama, eh? itu yang disebut menghormati pancasila? haa.......

saya suka sekali dengan tulisan arkan yang berjudul "SALIGIA" / "Pengkhianatan". tulisan ynng habis baca, membekas terlalu lama di hati saya.
asal mula perkara si saligia kesannya sederhana banget loh. dan itu yang sedang saya jalani: untuk memiliki lebih banyak pengalaman iman dengan hidup mencari untuk sekedar bisa berujar sebagaimana yang dikatakan Saligia sebagai kata-kata terakhirnya:
"Halo, Tuhan."

tapi untuk sampai ke dua kata itu "aja", jalannya enggak pernah sederhana.
sama sekali enggak.

ah, forever minority, and happy with it.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe