solidus

8/26/2011 06:33:00 PM

aku sudah ingin menulis ini sejak semalam, ketika jiwa-jiwa yang (kita sangka) kita kenal, mengumandangkan syair-syair yang mereka syiarkan seolah tak seorang pun akan menjamah. mungkin syair mereka adalah sama dengan sajakku, perihal rindu yang seharusnya tak pernah tersentuh
aku suka puisi. melebihi sukaku menulisi satu. semalam aku berimajinasi tentang ciremai yang tak pernah bisa kujejaki. mungkin kau akrab dengan jalan-jalan sempit yang pernah kau tapaki. ada syair-syair orang-orang tak kukenal yang bergerak mengisi. aku jadi bertanya di jeda, apa kau pernah membayangkan awan mandalawangi merindukanmu untuk berpuisi?
mungkin kau sebenarnya tahu bahwa sajak-sajak sendumu serupa dengan candu. tapi kau memilih untuk menyimpannya dalam garis-garis waktu yang akan kau kenang selagi mimpi dan imaji kita bergerak menjauh. lalu aku berucap, aku ingin menulis puisi tanpa basa basi.
lalu mereka bersuara, menginginkan aku berpuisi tanpa metafora.
padahal aku suka puisi yang prismatis. mereka menginginkan lebih banyak puisi romantis, padahal, kau tahu bahwa sendu, pilu, kebas, murka, hampa, dan getir adalah nikmat yang termanis. apa kau juga berpikir begitu?
seperti sekedar mengungkap saja tanpa gusar; aku suka suaramu sewaktu menggumamkan tulisan di punggung kausku. kita tidak mengenal nama, namun wajah kita menyimpan ingatan tentang sebuah kebetulan.
kudengar, api unggun itu wangi. apa bisa dibagi selagi malam menyelimutimu dengan sunyi, membungkus persoalan-persoalan di dalam kepala yang naik tinggi ke langit? pada kayu dan abu, mungkin akan bergema di kepalamu sajak sapardi. ah. apakah ingin jika yang kita punya hanya sisipan-sisipan kisah dari bilik yang tak mungkin? kau tahu, seperti aku mengurung rindu yang terlalu banyak namun entah pada siapa seharusnya ia dibagi.
besok pagi, ketika terlalu lelah untuk sekedar lelap, boleh sisihkan tetesan embun pertama yang menetesi bola matamu?

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe