untuk Bapak dengan segala titel
2/09/2011 11:31:00 AMyang terhormat Bapak (yang seharusnya menjadi ikon) pemimpin negeri ini,
Saya tidak terbiasa menulis surat untuk orang penting, tapi Bapak adalah satu di antara kemungkinan yang diam-diam ingin saya ciptakan. Sebenarnya saya dengar, banyak yang datang pada Bapak untuk bicara, tapi nyatanya mereka masih muncul di acara-acara talk show di televisi untuk berkeluh kesah. Beberapa juga saya lihat masih berjalan dari satu ormas ke ormas lain untuk mencari dukungan. Dengan demikian, saya simpulkan bahwa bicara dengan Anda tidak akan berarti apa-apa, dan akan sama dampaknya dengan saya menulis surat ini. Hal tersebut menjelaskan juga mengapa tulisan ini berada di bawah label “surat-surat yang tak tersampaikan”.
Maafkan kelancangan saya karena memulai surat ini dengan sebuah kesimpulan yang saya tarik sendiri. Pun jika Anda ingin mengoreksi kesimpulan saya, akan tetap saya bantah.
Saya lihat Bapak sudah akrab dengan teknologi. Waktu pidato Bapak tempo hari lalu, apel tergigit bertengger di genggaman tangan Anda. Baguslah. Orang-orang yang bekerja berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus melek teknologi.
Tapi saya bukan ingin menjelaskan tentang keunggulan produk Steve Jobs yang (kelihatannya) menjadi kebanggaan Bapak. Yang ingin saya pertanyakan adalah esensi kemelekan teknologi Bapak: apa Bapak gemar membaca berita? Kita punya Detikcom, MetroTV news, Lintas Berita, TvOne news, Jakarta Post, dan media-media lain yang menyediakan kolom untuk menghujat-hujat Bapak dan kepemimpinan yang menjadi hakikat dari ke-siapa-an Bapak sampai 2014 nanti.
Apakah tenang hari-hari Bapak?
Baik kita singkirkan dulu label Bapak sebagai “orang nomor satu” atau “pemimpin paling tinggi negeri”. Saya sendiri pun benci dengan label-label yang ditempeli orang terhadap saya. Label hanya untuk kaleng sup, bukan?
Jadi dari paras wajah Anda saya menangkap kelelahan atas segala label-label yang bukan hanya menempel pada Anda, tapi juga menggerogoti segalanya dari pribadi Anda. Menjadi orang nomor satu adalah pertanyaan besar. Mengapa orang bisa menjadi nomor satu semata karena ia menjadi alternatif pilihan ketika tidak ada lagi orang yang patut dipilih? Mengapa orang disebut pemimpin paling tinggi jika ia hanya berangkat dari jargon-jargon yang meninabobokan? Kita melabeli Bapak dengan hal-hal itu semua, kemudian tanpa sadar menaruh harap terlalu banyak, sehingga lupa bahwa Bapak adalah manusia juga.
Disinilah perkaranya sekarang.
Apakah Bapak ingat Karl Marx? Belakangan saya mulai mengagumi pemikirannya sebagai bentuk kritik terhadap kapitalisme yang terjadi di masa dulu. Ia menyebut agama sebagai opium masyarakat karena hanya menyajikan utopia-utopia yang palsu, yang pada kenyataannya tidak menyelesaikan problematika alienasi yang terjadi paska revolusi industri yang terbawa sampai generasi masa kini. Kita adalah produk-produk manipulasi dari alienasi yang diselubungi utopia-utopia yang dianyam para kapitalis. Memang benar kata Karl Marx, individu-individu yang teralienasi are not necessarily aware that they are alienated. Bapak dan orang-orang “sederajat” Bapak, sadar maupun tidak sadar, menafasi hari esok kalian dengan semangat kapitalisme. Paham maksud saya?
Sekarang kita hitung berapa banyak penduduk miskin di Indonesia? Mencari nasi barang segepal pun mereka kebingungan, bagaimana harus mengurusi akal mereka untuk menjawab selubung-selubung kebusukan yang antek-antek Bapak ciptakan? Yang lainnya seharusnya bisa menjadi sadar dan tahu, namun kemudian menyerah pada keapatisan. Apakah kebenaran pada masa kini hanyalah bual dan sekedar pemanis dalam jejeran kalimat fiksi-fiksi yang kita ceritakan?
Tidak Pak, saya bukan sedang menawarkan penanaman ideologi komunisme pada bangsa yang kaya ini, karena meskipun akar dari sosialisme Marxisme terdengar “mulia” untuk kemasyarakatan, kebebasan masing-masing individu tetap tidak boleh dimatikan, bukan? Lagipula, kita sama-sama berangkat dari sila pertama Pancasila, yang tidak mungkin kita revisi menjadi “Kemuliaan Akal Budi Manusia yang Tak Terkalahkan”. Yang saya ingin Bapak lihat adalah bagaimana utopia dibalas dengan utopia. Ya, komunisme adalah utopia, bukan? Karena manusia akan lumpuh karena kekuasaan dan sedikit yang mau bangkit dari lumpuh yang nikmat itu, menjadi tidak mungkin Negara yang berdiri tanpa kelas-kelas di dalam masyarakatnya.
Apakah menurut Bapak saya bicara melantur? Mengapa tidak kunjung Bapak mengerti arah pembicaraan saya ketika saya bicara tentang ideologi-ideologi di atas tadi?
Apakah Bapak disetir agar terus berpaling muka? Mengapa Bapak menolak nurani Bapak sendiri?
Tahukah Bapak saya menulis ini sambil menahan tangis, secara harafiah? Ada malu, kekecewaan, dan kemarahan yang membludak menjadi air mata: pada negeri yang ingin saya banggakan pada teman-teman saya di luar negeri, pada negeri yang namanya ingin saya bawa dalam keberhasilan saya nantinya, pada negeri yang padanya harapan menjadi mati dan janji-janji manis jadi hasil kerja para petingginya.
Saya dengar Bapak banyak menerbitkan buku dan disebar di sekolah-sekolah? Baguslah. Saya pribadi sudah lama ingin menerbitkan buku dari kumpulan tulisan-tulisan saya, tapi kesibukan saya yang amat sangat menghambat proses segalanya. Saya bangga Bapak sempat menyebarkan buku tersebut kemana-mana.
Satu hal saja, Pak. Masih tentang utopia. Saya bosan dan jenuh. Silahkan Bapak survey berapa banyak murid yang ingin melarikan diri dari kelas setiap pelajaran PPKn dan Budi Pekerti? Bahkan alam bawah sadar mereka telah berontak dari manis-manis yang disajikan menjadi teori dalam buku-buku untuk sekedar dihapal, lalu dilupakan.
Buktinya apa? Buktinya adalah pejabat-pejabat bawahan Bapak sekarang. Gayus Tambunan. Robert Tantular. Apa Bapak tahu bahwa Alanda mengakar kekecewaannya sekarang, karena ibunya dituntut kurungan 10 tahun kurungan dan denda 10 miliar rupiah? Ketika yang besar dikecil-kecilkan, kriminal yang kecil pun minta ditoleransi. Apakah mencuri ayam itu tindak kriminal? Siapa bilang tidak? Tapi siapa juga yang berteriak "Bebaskan saja!" atas nama keadilan dengan berkaca pada uang yang berbicara. Hukum adalah kegoblokan di mata saya sekarang. Baik adanya kita revisi pengertian hukum di KBBI sekarang. Hukum (n): rentetan pasal-pasal yang menindak orang berdasar harta kepunyaannya yang bisa membeli keadilan; biar pejabat-pejabat hukum yang saya lihat hari-hari ini tidak mencoreng sakralnya lagi.
Sungguh lelucon sekali negeri ini.
Dan tulisan saya semakin sama dengan kekonyolan.
Karena di balik setiap sistem akan ada orang yang harus bertanggung jawab, Bapaklah yang sekarang secara tidak sadar telah saya jadikan kambing hitam. Saya tahu Bapak prihatin, tapi “prihatin” adalah ampas kunyahan kami sehari-hari. Mungkin sudah saatnya Bapak mencari pekerjaan lain yang lebih memberi kebaikan yang signifikan untuk dilakukan.
Mungkin para pendiri bangsa hanya sedang menunduk malu di dimensinya sekarang. Kurasa mereka mulai berpikir, “Apa sebaiknya dulu tidak kita merdekakan saja bangsa ini?” Itu asumsi saya saja, yang berangkat dari apa yang indra saya tangkap.
Omong-omong, Pak, masih ada banyak hal yang ingin saya kerahkan dalam tulisan, karena kepala saya terlalu berat membawa beban pertanyaan yang berakar kemudian bertumbuh jadi kegeraman. Ya, pada bangsa ini, yang mengmiskonsepsi segala-galanya, terlebih kebebasan, yang akan saya sampaikan di surat saya selanjutnya.
Bukan saya generasi muda yang terjebak dalam ratapan-ratapan. Saya hanya kembali pada pertanyaan pada esensi ke-ada-an pemerintah. Kalau semua bisa kita lakukan sendiri saja, ya bubarkan saja pemerintahan, toh tidak ada guna. Yang kita saksikan sekarang adalah parasit-parasit unggul yang memukul sudah bukan dari bekalang, tapi dari segala arah bahkan dari dalam batin setiap warga negara.
Mungkin harus kita sama-sama panggil Malu supaya kembali mengerem ketidakmanusiaan kita.
Mungkin harus kita sama-sama panggil Malu supaya kembali mengerem ketidakmanusiaan kita.
Salam hangat,
Anak bangsa yang meratapi rongsoknya rasa bangga.
0 comments