Makan Tuan
2/09/2011 02:16:00 PM"Kita tahu bahwa orang lain tidak boleh diperalat atau 'dikurbankan' demi yang banyak karena setiap manusia bernilai pada dirinya sendiri."
- Franz von Magnis Suseno, SJ
- Franz von Magnis Suseno, SJ
Selang lebih kurang 24 jam setelah kasus penyerangan di Cikeusik yang mengakibatkan 4 orang jemaat Ahmadiyah tewas, saya getir lagi mendengar berita pembakaran gereja di Temanggung; yang kembali memainkan ingatan saya tentang kasus-kasus serupa di sepanjang tahun 2010 kemarin. Pilu.
Belakangan, kering iman saya menyaksikan yang demikian. Semakin saya ingin berdiri pada ‘kebenaran’ yang saya anut dari didikan keluarga dan sekitar saya sejak kecil ini, semakin saya ingin lari menjauh dari segala ajarannya. Pernah saya bertanya, salah siapa? Dalam runtuhnya cita-cita bersama kita, siapa yang gagal di balik semuanya? Negarakah yang gagal? Manusia yang gagal? Akal yang gagal? Nurani yang gagal? Agama yang gagal? Atau Tuhan yang gagal? Semakin banyak darah dan nyawa yang terbuang sia-sia (logika saya berkata demikian), semakin saya bertumbuh dalam kekecewaan yang semakin membawa pada kepercayaan bahwa ‘kebenaran’ ini sekedar kekosongan dan kekonyolan, memunculkan percakapan panjang dan membosankan dalam kepala saya.
Jika dulu Karl Marx menyebut agama sebagai opium, sekarang saya sebut agama adalah senjata makan tuan. Agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran, bukan? Semua agama adalah demikian, meski dalam kepercayaannya ada hal-hal yang membedakan dalam melihat hal yang ‘salah’ atau ‘yang benar’. Sekarang yang menjadi dilemma dalam pikiran saya sendiri adalah: jika semua agama adalah “benar” dalam pandangannya masing-masing, dimana kita harus berdiri? Atau mungkin harus saja ajukan, haruskah kita tetap berdiri di dalamnya? Katanya kita harus membedakan antara menjadi seorang Relativis dan Pluralis; padahal intinya pun hampir sama saja (atau saya yang memang mengmiskonsepsinya).
Konsep keagamaan adalah hal yang membingungkan. Konsep ketuhanan adalah hal yang akhir-akhir ini menggerahkan.
Atau mungkin hanya saya saja.
Ketika agama menawarkan konsep tentang keselamatan paska kehidupan yang fana (dan absurd ini), saya rasa itu saja pembedanya dengan common sense yang kita miliki terhadap manusia dan esensi kemanusiaannya. Entah darimana datangnya moral, tak kuat kepala saya mencerna Euthyphro Dilemma. Kata seorang kenalan yang sekarang sedang menempuh pendidikan di STF, itu adalah materi pembelajarannya semester-semester atas nanti. Jadi saya biarkan saya pada pemahaman yang mengambang (meski menyebalkan juga).
Apalagi melihat yang sekarang ini.
Mungkin manusia-manusia menaruh cita-citanya terlalu tinggi, tentang kehidupan yang akan datang. Sama-sama berlomba mengejar surga dalam konsep yang semakin rancu. Sama-sama ingin menjadi yang lebih unggul, memastikan dirinya yang lebih berhak dibanding yang lainnya. Sama-sama tidak ingin ditinggalkan pada masa penghakiman. Sama-sama ingin membentuk citra yang lebih baik, di mata manusia sesamanya maupun di mata Tuhannya.
Apa yang salah dengan menjadi religious? Tidak ada. Saya justru iri pada orang-orang yang imannya teguh, yang tetap menjadikan faith as the substance of things hoped for, and the evidence of things unseen. Hanya saja sampai batas mana religiusitas tetap menjadi baik, tetap menjaga esensi dari agama itu sendiri?
Agama adalah hubungan saya dengan Dia yang tak terlihat. Dalam hati manusia siapa yang tahu?
Kadang saya merasa jauh lebih nyaman berada di sekitar teman-teman yang tidak sok mengaku-ngaku dirinya bertuhan, tapi mampu mengedepankan kemanusiaan. Bukannya saya tidak bisa melepas diri dari sekuleritas, tapi memang demikian adanya fungsi agama kan? Sejauh yang saya tahu agama yang mengajarkan kebaikan dan kebenaran adalah kepercayaan yang membawa orang pada jalan keluar pada keputusasaan dan ketidakmanusiaan. Jika demikian, mengapa agama perlu dibela?
Katakanlah dalih mereka, ini “kebebasan”, karena bukankah itu yang Negara ini anut? Dan orang-orang bodoh itu adalah tipikal manusia yang enggan mencerna. Kebebasan yang murni adalah kebebasan dengan tanggung jawab yang mengikutinya. Kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab adalah kebebasan tak terarah dan sama artinya dengan kesia-siaan. Berakhir pada absurditas yang menyedihkan.
"Tanggung jawab adalah ciri kebebasan manusia. Maksudnya, kebebasan kita bermakna kalau ada tanggung jawab. Ketika kebebasan dimaknai sebagai dapat melakukan apa saja tanpa batas, ia justru kehilangan maknanya. Kalau kamu boleh melakukan apa saja tanpa ada batasan, masih adakah makna bagi kata kebebasan? Bisa-bisa kita terpenjara oleh ‘kebebasan’ itu sendiri." ujar salah seorang dosen saya.
Saya bukan siapa-siapa. Tapi apakah ke-bukan-siapa-siapa-an mengharamkan saya untuk jadi satu dari ratusan juta atau bahkan triliun makhluk ciptaan kasta tertinggi yang bertanya-tanya? Karena akhir-akhir ini, kebenaran yang sama-sama kita yakini inilah meninju-ninju kita balik.
Persalahkan manusia dan akal budi serta nuraninya yang melempem?
AH. Jikalah memang ada kebenaran yang sebenar-benarnya, mengapa tidak berhenti pencabutan nyawa yang omong kosong ini? Mengapa tidak berhenti intoleransi ini? Mengapa tidak berhenti pemaksaan ini? Harus kita tunggu, kebenaran mana yang lebih”kuat”? Konyol.
"Perbedaan tafsir dan/atau interpretasi tentang makna keselamatan dalam sejarah keselamatan sesungguhnya merupakan suatu realitas kemajemukan yang wajar karena pada dasarnya manusia terus berada dalam proses pencarian kebenaran untuk menemukan jalan keselamatan. Dalam proses pencarian itu manusia membutuhkan petunjuk atau hidayah sebagai pegangan. Salah satu sumber pencarian itu adalah kitab suci. Namun justru pada titik inilah muncul persoalan itu: orang tidak melakukan proses pencarian atas kebenaran tetapi justru mencari pembenaran."
(Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia, Kanisius, 2010.)
Kadang pikiran saya menjadi liar, membawa pertanyaan-pertanyaan yang semakin sulit saya tekan. Mengapa tidak kita hapus saja agama-agama ini, agar kita menjadi sama; lalu hidup dalam kedamaian? Kita satukan saja konsep kita tentang surga dan kebaikan yang akan membawa kita pada keselamatan, tanpa harus peduli personifikasi dari keselamatan itu sendiri? Agar kita menjadi sama.
Entahlah. Mungkin memang demikian semesta ini dikonsepkan, untuk terombang-ambing dalam paradox yang menutupi mata. Saya jadi ingat perkataan dosen saya, “We’re having an orgy in aporia.” Dan saya rasa beliau sepenuhnya benar. Karena manusia itu lucu dan senang dipermainkan, bahkan oleh dogma-dogma yang termiskonsepsi lalu kemudian menjadi senjata makan tuan bagi para pengikutnya.
Mengutip kata Soe Hok Gie, “Kebenaran hanya ada di langit. Dunia hanyalah palsu. Palsu.”
Kita adalah palsu.
0 comments