wastafel

10/07/2014 01:33:00 AM

kota P mengejutkanku dengan wastafel di penginapannya yang tak bercelah. seluruh lapisnya terbuat dari kaca bening berceruk hingga aku takut untuk meletakkan seperangkat mandiku di sisinya. bagi orang yang terbiasa merespon kehidupan sehari-hari dengan sinestesi visual, lembar kaca transparan di satu area di kamar mandi itu membuatku gagap di satu-dua hari pertama berkehidupan di sana. sementara aku terbiasa dengan wastafel keramik yang menyatakan terang-terang batas-batas mangkuk air dan marmer, wastafel kaca itu meniadakan garis-garis batas antara mangkuk wadah air maupun ruang datar untuk meletakkan segala peralatan: rasa-rasanya kucuran air dari kerannya menghujam tajam hingga kukhawatirkan dapat menenggelamkan seluruh lapisan bening itu ke dalam ceruk lalu ke pipa stainless-nya sekaligus. kegagapanku membuatku terkekeh. untuk pertama kalinya aku lebih suka menyebutnya: selembar wastafel.

sebenarnya tidak ada yang istimewa-istimewa amat dengan selembar wastafel yang mempertontonkan cat yang sudah rontok di kuku-kuku jari kakiku sepanjang menggosok gigi itu. hanya saja ketiadaan batas-batas fungsi antara arena yang patut senantiasa kering dengan ceruk yang memang sepantasnya menampungi basah cucuran keran malah menghasilkan banyak-banyak kegelisahan pada detil-detil yang tak perlu: mencuci pakaian dalam, menggosok gigi, atau mencuci muka sama artinya dengan mengambil satu-dua lembar tisu lalu mengelap kering bekas muncrat di lembar kaca yang datar. bekas percik air di permukaan yang transparan ternyata lebih banyak mengingatkan pada upaya mengeringkannya lekas-lekas hanya agar lembar transparan itu tetap sempurna dalam kebeningannya hanya karena aku tak menemukan batas yang tegas antara area basah dan area kering di lembarannya. dalam sinestesi di kepalaku ada zona batas yang tegas antara hari senin dan selasa dan rabu dan seterusnya: zona-zona batas yang mempermudahku menentukan batas-batas fungsi dan merangkai agenda virtual di dalam kepalaku sendiri; sementara selembar wastafel hanya memiliki selembar kaca transparan.

selembar wastafel di penginapan kota P itu, jika dipikir-pikir, mengingatkanku pada meja makan di rumahku di kota T. bahkan selembar meja makan di rumahku memiliki garis batas yang tegas di dalam kepalaku: zona tangkup makanan dan zona piring maupun zona wadah sendok. namun jauh sebelum itu, selembar wastafel di penginapan kota P mengingatkanku pada sebongkah tubuh.

aku bergidik sendiri membayangkan wastafel kaca dengan struktur cekungnya yang sempurna sebenarnya terbentuk serupa tubuh manusia yang tersusun dari satu materi pembungkus: selembar kulit. hanya saja wastafel terolah dalam permainan kedalamannya yang sederhana; sementara tubuh tergeluti begitu banyak detil rongga dan ruang dan cekung serta cembung yang kompleks. namun membayangkan sebentuk tubuh tanpa busana seperti selembar wastafel yang mengaburkan garis-garis batas fungsi di masing-masing bagian tubuh. membanding-bandingkan lembar kulit yang membungkusi tubuhku sendiri dengan selembar wastafel itu ternyata mengingatkanku untuk lekas-lekas berpakaian.

setelahnya aku jadi memikirkan diriku sendiri. kebergantunganku pada pakaian sebenarnya persoalan kebergantunganku pada upaya menetapkan garis-garis batas yang tegas pada bagian-bagian tubuhku sendiri. wastafel kaca yang berfungsi sebagai alas meletakkan seperangkat alat mandi, kotak tisu, penyangga keran, dan mangkuk wadah air hanya tereduksi menjadi selembar wastafel; sementara membayangkan tubuhku sendiri, meski dalam permainan kedalamannya yang lebih kompleks dari sekedar datar dan cekung seperti si wastafel, hanya sebagai selembar kulit membalut daging dan lemak cukup membuatku bergidik. ketergantunganku pada pakaian membantuku memberikan sinestesi warna zona pada bagian-bagian tubuh sesuai fungsi dan standarisasi izin kontak fisik dengan lembar-lembar kulit milik orang selain diriku sendiri. lapisan marmer adalah lapisan kering yang berfungsi menjadi alas sementara lapisan cekung adalah mangkuk basah yang berfungsi mewadahi cucuran keran; pun demikian membagi bagian-bagian tubuh sesuai dengan garis-garis batas yang diciptakan pakaian yang kukenakan. sekarang kita paham mengapa mimpi bertelanjang membuat kita bangun dengan perasaan yang begitu memalukan.

namun rasanya konyol jika membayangkan tubuh tanpa pakaian dalam dan berbalut hanya selembar pakaian, dress atau daster, misalnya. batas-batas tubuh akan tetap muncul dalam sinestesinya yang jelas tanpa perlu kegelisahan menarik garis yang bukan-bukan. barangkali sinestesi batas-batas fungsi dari selembar materi yang memberikan perbedaan zona warna hanya perkara mengenali selembar material itu saja. seperti tubuh atau meja makan yang dengannya telah bertahun-tahun aku berinteraksi dalam keseharian, sementara selembar wastafel hanya kutemui dalam kurun waktu kurang dari seminggu.

kemudian ingatan tentang selembar wastafel itu membuatku jadi mengingat selembar seprai di atas tempat tidur ukuran queen atau king yang juga sama-sama meniadakan batas-batas area tidur penumpangnya. aku jadi membayangkan jika selembar seprai dapat seperti selembar wastafel yang membuat keterjagaanku meningkat sekian kali lipat lewat kegelisahan yang lebih sering dibuat-buat; namun sayangnya tidak. selembar wastafel yang tak memiliki garis batas dan menghilangkan hakikat pantulan dari materialnya itu berhasil menenggelamkan secuil kemampuan melihatku yang terangkum dalam selaput kontak lens berwarna sama dengan si selembar wastafel; sementara selembar seprai hanya menenggelamkan banyak keterjagaan juga termasuk kemampuan memindai yang tepat. aku membayangkan selembar wastafel mampu menyedot seluruh lembar transparannya itu ke dalam lubang penghisap air lalu menghilang ke kedalaman gelap pipa yang berujung entah di pembuangan mana, sama seperti aku membayangkan bagaimana jika selembar seprai mampu menyedot seluruh isi ruangan ke dalam celah-celah ranjang dan mengalpakan hakikat ruang; atau bagaimana jika selembar kulit ternyata mampu menghisap seluruh daging dan lemak juga tulang beserta jiwa ke dalam lubang pusar dan berujung entah ke ujung terowong yang mana. sayangnya selembar wastafel hanya selembar wastafel yang membuatku meracau yang bukan-bukan tentang hakikat dirinya yang sebenarnya biasa saja namun tak kukenali benar; dan entah jika lubang pusarku mampu bekerja semenakjubkan lubang hisap air di selembar wastafel di kota P itu. aku ingin mujur dan terhisap ke dalam ruang hampa seperti seorang yang mabuk dan mengira mangkuk air wastafel transparan sebagai penutup kepala baju luar angkasa.

***




You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe