tahi lalat untuk tahun yang lalai

12/22/2014 01:03:00 PM



Saya pikir saya tak suka Desember sebab ia melulu menyisakan hujan pada waktu yang bukan-bukan. Tapi kemudian saya ingat: saya tak suka Desember sebab kali ini ia merangkum seluruh tahun yang lalai. Sebelum tengah hari, saya telah merapikan banyak barang dan memaksanya masuk ke dalam satu kotak kardus bekas pakai. Seorang kawan membantu saya merapatkan setiap celahnya dengan lakban juga tali pengikat. Seluruh barang itu tertanggalkan dari domisilinya di meja kerja saya sepanjang lebih dari satu tahun belakangan ini. Rasanya seperti menjejalkan satu paket format fisik rutinitas sepanjang lebih dari empat ratus hari ke dalam kotak berukuran empat puluh kali dua puluh sentimeter untuk dibawa pergi entah ke mana. Tujuannya hanya ada satu hari ini: untuk tak lagi melanjutkan dirinya tinggal di meja kerja saya sampai hari kerja berakhir di hampir ujung Desember. Mengakhiri masa.

Selagi saya membersihkan kotak-kotak laci, folder-folder dokumen dan purwarupa, juga beberapa pajangan yang saya paksa untuk memberikan sedikit kehidupan, saya mendadak dimampiri satu perasaan sentimentil yang janggal. Saya tak suka melankolisme dalam perkara ini. Berpindah tempat kerja tak semestinya terlalu banyak mengambil tempat dalam ruang-ruang perasaan. Namun nyatanya, saya lalai.

Saya lalai dan membiarkan diri mendengarkan lagu-lagu dengan nada-nada sedih sembari mengarsipkan banyak dokumen yang terekam dalam akun email saya di tempat ini. Akun itu, salah satu atribut identitas yang penting bagi saya di tempat ini, akan dimusnahkan sesegera saya resmi undur diri. Saya jadi mulai memikirkan yang tidak-tidak selagi menyusuri ulang setiap kerja rancang rupa beserta seluruh korespondensinya di kotak surat elektronik di komputer saya yang ternyata banyak berbercak kopi.

Bayangan tentang akun surat elektronik yang segera musnah membuat saya agak kebas. Rasanya seperti sebuah upaya menghapus serangkaian jejak dari kotak ingatan manusia. Seluruh emosi juga nalar dan setiap upaya untuk membangun satu hubungan antar dua individu yang mungkin tak sedemikian penting tercatat di sana --dan akan segera musnah. Pendekatan fisik atas etos kerja manusia kemudian dapat dilenyapkan dalam ratusan percakapan yang terjadi di antara jaringan-jaringan nirkabel.

Saya dihinggapi kekonyolan dengan perasaan sedih dengan menyadari bahwa kenangan manusia tidak dapat bekerja dengan cara yang demikian: kita undur diri dalam kerangka prosedural yang telah ditetapkan dan membiarkan seluruh catatan interaksi beserta artefak yang mengiringinya dimusnahkan keseluruhan tanpa satu orang pun yang dapat kembali mengakses atau bahkan merestorasinya kembali. Membiarkan kenangan kehilangan seluruh upayanya untuk menampakkan keberadaannya seiring berakhirnya kurun waktu. Sayangnya ingatan manusia tak pernah bekerja dengan cara yang demikian.

Saya jadi memikirkan ulang kebiasaan saya: membiarkan hubungan-hubungan selesai dan ikatan menjadi abai namun dengan tetap mengekalkan tiap putaran ingatan sebanyak daya memoriku sanggup lakukan. Meyakini bahwa setiap manusia justru hanya dapat hidup dengan upaya-upayanya untuk memegang sebanyak-banyaknya ingatan untuk dapat mereka panggil ulang di hari-hari kemudian. Menghidupi kehidupan, menghidupi perjalanan. Menghidupi proses keberadaan.

Saya jadi membayangkan orang-orang yang sengaja dihapuskan dari ingatan manusia yang melingkupi kehidupannya; dalam perkara politik atau bahkan seremeh perkara emosi yang tak kunjung mendewasakan diri. Saya pikir, manusia pada dasarnya maha pencipta. Namun, seiring bertumbuhnya kemahapenciptaan itu, manusia juga menjadikan dirinya mahameniadakan. Jaman mungkin membiarkan kita mengada-ada kenangan-kenangan yang semu, sementara Jaman itu pula yang membiarkan segala macam jalan membuka dirinya dalam upaya menghapus ingatan beserta seluruh jejak yang melekati entitas hidup manusia. Saya tak pernah pandai menjaga hubungan. Saya hanya bertekun dalam memeluk sebanyak-banyaknya kenangan. Satu-satunya jalan untuk membiarkan hidup berjalan dengan kedewasaan. Atau mungkin, kenaifan.

**

Pagi tadi segerombolan lalat tiba-tiba berterbangan di dalam kamar tidur saya. Saya tak suka menyadari sekumpulan spesies itu berusaha membentuk koloni di ruang teritori saya sendiri. Lalat-lalat sebesar ibu jari itu seperti sedang ingin melenturkan batas-batas keinginan akan kepemilikan diri atas suatu tempat yang hampir saya rayakan hari ini. Saya tak tahu dari mana saja lalat itu berasal dan apa yang dibawanya di ujung-ujung kaki itu serta apa yang ditinggalkannya di sudut-sudut kamar tidur saya. Apakah lalat pernah bermasalah dengan ingatan? Saya terus disodori ingatan akan hentak-hentak kaki lalat yang membuat saya jijik. Apakah lalat pernah menimbang-nimbang setiap bekas kotoran yang ditinggalkannya di tiap tempat ia hinggap? Saya meninggalkan beberapa barang untuk beberapa kawan di tempat ini, seperti saya meninggalkan barang-barang bagi mantan kekasih atau teman kencan. Membiarkan buku-buku, pajangan, alat tulis, beberapa potong pakaian, atau kartu pos dengan gambar-gambarnya yang cantik tetap tinggal dalam dimensi ruang yang gagal mengekalkan waktu. Mungkin saya hanya sedang ingin meninggalkan beberapa artefak ingatan meski tak ingin saya akui atau hanya sedang membela diri tentang upaya untuk melepaskan dari banyak kemelekatan. Atau mungkin, meninggalkan kotoran yang tak lagi diperlukan, seperti gerombolan lalat yang muncul pagi ini.

Saya menyemprot mereka satu-satu sampai mati. Menghentikan upaya mereka untuk meninggalkan materi-materi yang tak saya perlukan di kamar tidur saya. Menghentikan mereka menyisakan bakteri atau bahkan sisa tahi. Saya tak membutuhkan lebih banyak lagi tahi lalat.

Sewaktu kanak, saya selalu percaya bahwa tahi lalat betul-betul feses yang berasal dari anus lalat yang menghinggapi anak-anak yang malas mandi. Karenanya, saya rajin mandi. Sehari bisa tiga sampai lima kali. Saya menggosok setiap bagian tubuh saya keras-keras; tak mengijinkan satu ekor pun lalat hinggap dan menumbuhkan feses di bagian mana pun kulit tubuh saya. Karenanya, tak satu pun tahi lalat dapat orang kenali tanpa mengamati tubuh saya dengan seksama. Tapi, mungkin saya keliru.

Salah satu teman laki-laki saya berkata suatu waktu, “Mengapa ada begitu banyak tahi lalat di punggungmu?” Saya terkejut. Upaya saya sewaktu kanak ternyata gagal. “Ada berapa banyak?”, saya tanya. “Banyak sekali,” jawabnya sembari menyusuri ujung jarinya di sepanjang punggung saya. “Berikan saya angka,” saya ngotot. “Saya tak yakin bisa menghitungnya,” ujarnya lemah, lalu memeluk saya dari belakang.

Sejak saat itu saya tahu : saya benar-benar keliru. Tahi lalat tak berasal dari kotoran lalat. Tahi lalat terbuat dari banyak persilangan ingatan. Kenangan telah membuat rumah di punggung saya.

Apakah tahi lalat hanya mencatat laki-laki yang pernah datang lalu pergi? Saya tak begitu yakin. Barangkali tahi lalat hanya mencatat ingatan tentang perasaan yang ingin saya abaikan dengan menekannya sedemikian rupa hingga menjelma titik tahi lalat. Mungkin juga tahi lalat justru mencatat orang-orang yang tak pernah saya ingat untuk dikenang. Barangkali tahi lalat serupa penanda ingatan-ingatan yang lalai. Saya hanya khawatir tahi lalat bekerja dengan serakah sebab beberapa teman lelaki saya tak pernah berhasil memberikan jumlah tahi lalat di punggung saya selain  “Banyak sekali.” Jangan-jangan tahi lalat di punggung saya bekerja seperti mesin tik di setiap nama yang pernah menyisakan ingatan yang istimewa dengan mengalpakan tombol ‘Hapus’ jika pada satu masa ingatan itu menjelma biasa-biasa saja. Saya tak pernah bersetia pada satu kenangan. Membiarkan ingatan bertemuan dan bertubrukan dalam susunan laci memori saya yang berantakan membuat saya jauh dari kekhawatiran. Saya tak suka menemukan diri saya mengkhawatirkan ketergantungan dan segala kemelekatan hanya pada satu manusia.

Karenanya, saya jadi mulai mengerti mengapa seorang kawan pernah berkelakar dengan berkata, “Tahu tidak? Tahi lalat itu sebenarnya adalah tumor kecil. Kau punya tumor di lehermu. Ada tumor di payudaramu. Juga tumor di pahamu. Dan kau punya banyak tumor di punggungmu.” Kenangan-kenangan yang tekun saya kumpulkan namun tak pernah ingin saya lekati seperti tumor jinak yang menjelma dan membangun koloni di bagian tubuh yang sulit saya pandangi sendiri. Tahi lalat di punggung saya terbuat dari banyak kenangan yang hanya dapat disambut oleh persinggahan kenangan yang berikutnya. Tumor kecil yang banyak tingkah.

**

“Tak bisakah kamu tinggal saja?” ujar beberapa orang kawan saya di tempat ini.
Saya seperti mendengar kalimat itu dalam satu rangkaian yang berasal dari banyak-banyak suara di masa lalu. Mengapa saya harus tinggal? Mengapa saya harus tak tinggal? Membiarkan ingatan bertumpukan ternyata tak sedemikian baik bagi kepala saya sendiri. Urusan-urusan seremeh berpindah tempat kerja harus mempertemukan saya dengan ingatan akan perpisahan-perpisahan lain yang lebih sentimentil.

Lalu saya ingat Afrizal Malna dan Lubang dari Separuh Langit-nya. Katanya, “Manusia adalah rekaman yang berjalan yang tidak bisa menghapus seluruh kenangan yang telah menulisnya. Setiap penghapusan kenangan adalah kegilaan dan mengubah seluruh kenangan menjadi kilatan-kilatan listrik dalam syaraf-syaraf otak dan terus mencari bentuknya dengan mengunci tubuh dari luar.”

Bisakah saya menghapus saja tahi lalat di punggung saya?

***

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe