­

"Go ye forth and live life to the fullest."

12/29/2010 01:37:00 PM

Baru aja nonton satu episode Bones. Adegan pembukanya cukup bikin saya mau nangis. Hal yang sangat jarang bisa terjadi ketika stay tune on Fox / Fox Crime channel.

Sweets was on subway, sat next to a young man who seemed reading a messages on his cellphone. Not really sure whether the young man was crying or laughing,
Sweets asked him if he was okay. The young man answered he was. even more, he was greater. He had had 8 years leukemia-treatment, and suddenly received a messages, telling start from that moment, he was cancer-free.
That is a very good news, Dude, said Sweets. The young man told Sweets what he wanted to do : go travelling, sleep with exotic women in exotic places.

Then, the scene was showing something's wrong with the water pipe di saluran bawah tanahnya. Air dengan deras keluar dari pipa, menghantam subway, goncangan kuat terjadi. Penumpang terjatuh dari tempat duduknya. And that young man hit the subway pole dengan luar biasa kencangnya. Blood appeared from his forehead. Sweets checked if he was still alive. He was dead. That young man who has just received a very great news which in 8 years, he might never think it will happen. He was dead right after he explain his plan of fun things he couldn't do because of the cancer. There were so many passengers in the subway, they were all okay, except that cancer-free guy. Ironic.

Saya sudah sering lihat adegan-adegan menyesakkan di film atau drama lainnya. Yang satu ini paling keras menyentak hati saya.

In next scenes, Sweets has a conversation with Agen Booth:
Sweets: " You're gonna think I'm stupid for saying this but the - whole thing... felt like a message."
Agent Booth: "Right. Believe in messages."
Sweets: "Yeah, it's like a message. "Go ye forth and live life to the fullest." Something like that."
Agent Booth: "Live life to the fullest." People should do that more often: moment-to-moment, day-to-day, but they don't."

Dan saya rasa Agen Booth benar. Banyak dari kita yang hidup bukan dalam hidup kita sendiri.
Saya ingat perkataan Sweets ke Hodgins di mobil :
"I just don't - I don't want to disappear - without living the life I want to live."

Itu ketakutan yang reflek muncul di kepala saya saat melihat adegan di subway. Saya pikir, itulah common fear dari hampir semua manusia. Mati sebagai makhluk hidup tingkat tertinggi namun hidup bukan sebagai dirinya sendiri, hidup bukan dalam hidup yang ia sendiri ingin miliki.

Betapa melelahkannya menyadari bahwa kita hidup bukan dalam hidup kita sendiri. Kita hidup sebagai apa yang kita harap orang lain menilai kita sebagai seorang yang baik dan benar (meski menjadi baik dan benar adalah hal yang baik dan benar); tapi bagi saya jauh lebih melelahkan untuk mengusahakan hidup yang sepenuhnya apa yang kita ingin miliki.

Kita punya mimpi. Kita punya hal yang ingin kita kejar, sebuah pencapaian atas diri sendiri, yang sayangnya, seringkali terbentur dengan kewajiban dan tanggung jawab lain. To realize dreams itself is a responsibility of human-being, menurut saya; tapi saya bicara tentang kewajiban dan tanggung jawab yang berkaitan dengan orang lain.

Betapa lucunya ketika saya ada di atas tempat tidur, mengkontemplasi hal-hal yang saya capai dan lewati, seringkali berakhir dengan penyesalan karena dengan tergesa-gesa lebih memilih menjawabi "Iya. Baiklah. Saya akan bantu." pada permintaan orang lain. Permintaan yang pastinya menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab atas orang lain yang memang seharusnya dikedepankan, yang kemudian, membuat saya harus meredam keinginan mengejar mimpi saya ketika kesempatan itu muncul, hanya karena akan terbentur dengan tanggung jawab yang keburu saya iyakan.

Dulu saya pernah punya kepercayaan bahwa : penghargaan terbaik yang bisa diterima manusia adalah ketika ia dibutuhkan orang lain, tempat terbaik manusia berada adalah tempat dimana ia dibutuhkan, dan hal terbaik yang bisa dilakukan manusia adalah melakukan sesuatu untuk orang yang membutuhkan.
Dan kepercayaan seperti itu yang akhirnya malah melahirkan kekecewaan pada banyak orang. Bahkan kekecewaan berlipat ganda pada diri saya sendiri: gagal dalam mengejar mimpi saya, menyesal karena melepaskan kesempatan untuk mewujudkan mimpi saya, rasa bersalah karena telah menyesal melepaskan  mimpi saya padahal tanggung jawab memang harus dikedepankan, dan kekecewaan karena telah mengecewakan orang lain.
Saya banyak belajar sekarang.

Seorang teman kurang lebih pernah mengatakan begini pada saya :
"The one you see in the mirror is the one who needs you the most."

Dan saya yakin kalau dia benar. Yang paling membutuhkan saya adalah saya sendiri. Saya hanya akan menjadi orang yang berharga jika saya terlebih dahulu mampu menjadi sosok yang dibutuhkan diri saya sendiri, yang hanya bisa dimengerti oleh diri saya sendiri.
Being there when people need us may be a noble thing to do, but how the hell could we help others whom we can't fully understand if we can't even help our own selves whom we know best?

Saya ingin hidup dengan mencintai diri saya sendiri. Mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri. But when understanding human-being is such a very long way to go, facing some problems in choosing should be a very normal thing to face.

Taufik Ismail ikut berpesan dalam puisi Kerendahan Hati-nya :

Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak di puncak bukit, jadilah saja belukar, tapi belukar terbaik yang tumbuh di tepi danau.
Kalau kau tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.
Kalau kau tak sanggup menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.
Tidak semua menjadi kapten, tentu ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendah nilai dirimu, 
jadilah saja dirimu sebaik-baik dirimu sendiri.
 I think that's exactly the most appropriate way to live my life to the fullest : menjadi diri saya sendiri, sebaik-baiknya diri saya sendiri.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe