masih tentang orang-orang yang tak kunjung saya pahami
7/29/2010 09:05:00 AM
sudah dua kali saya berkunjung ke koperasi LP3ES untuk "mengejar" Catatan Seorang Demonstran (untuk saya dan untuk teman yg ada di luar kota).
papa yang mengantar saya dan pada kunjungan kedua ini, papa berkomentar lucu sekali:
"kamu ke sini melulu! kamu mau kerja di sini? kamu kerja di sini bisa jadi menteri! kamu mau jadi menteri?! korupsi terus! masuk neraka!!"
beliau mengucapkan ini dengan nada setengah histeris sambil melepas helm.
bukan cuma karena cara penyampaiannya yang bikin lucu, tapi juga bagaimana stereotype bahwa menteri adalah tukang korupsi ternyata sudah sebegitu identiknya bahkan dalam pikiran se-terbuka papa saya, yang kadang saya tangkap sebagai kesimpulan yang terlalu buru-buru.
saya pikir, hampir semua orang (atau setidaknya orang yang saya kenal atau yang bicara dengan saya) memiliki mind set yang sama setiap kali berbicara tentang petinggi-petinggi negara.
kadang saya juga ikut terpropaganda juga dengan memunculkan kesimpulan yang tergesa-gesa begitu.
hal ini mengingatkan saya pada sebuah notes yg saya baca waktu SMA, tentang keateisan yang ditulis oleh teman asing di facebook, ia seorang Korea yang sekarang tinggal di US.
dalam notes itu terkandung pernyataan tentang betapa tidak sukanya ia pada Kekristenan, baik pada penganutnya maupun pada ajarannya (termasuk tentang adanya pengampunan dosa dalam gereja yang seolah mengijinkan setiap orang Kristen boleh berbuat dosa lalu meminta ampun, lalu berbuat dosa lagi dan minta ampun lagi, yang membuat dia berkesimpulan, "Christians just find excuses", "Christians are hypocrites" karena beberapa 'petinggi' gereja ternyata memanipulasi umatnya).
perkataan yang paling menyentak adalah sebuah seruan, "jesus myself!"
saya merasa bahwa si Kim ini (sebut saja namanya begitu) telah salah menjadikan orang Kristen yang 'menyeleweng' di mata dia sebagai tolak ukur akan orang Kristen secara menyeluruh. penarikan kesimpulan yang terburu-buru... dan salah.
saya sendiri pada saat itu ingin meluruskan cara pandangnya, bukan dalam maksud 'membenarkan' Kekristenan yang sudah disalah-salahi oleh orang yang bahkan tidak berkeinginan untuk mengerti tentang esensi utama Kekristenan itu sendiri (sebut saja: sok tahu tapi menghakimi), tapi lebih pada menghindari 'kebiasaan' untuk memberi label pada yang 'seluruh' hanya karena ada bagian dari yang seluruh itu yang melenceng.
saya berkomentar bahwa mereka yang mengaku Kristen tapi berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan sebagai seorang Kristen sama seperti penggambaran saya tentang mahasiswa-mahasiswa jurusan Matematika, misalnya.
ambil contoh, dalam satu jurusan Matematika di suatu universitas ada 100 orang mahasiswa. siapa yang bisa menjamin bahwa keseratus-seratusnya memang secara menyeluruh menguasai Matematika itu sendiri? sebagai mahasiswa Matematika, tentu mereka digenjot untuk belajar lebih tentang Matematika (dalam hal ini, saya bandingkan dengan umat yang terus dalam proses mempelajari ajaran agama dan Tuhannya), namun siapa yang dapat menjamin keseratus mahasiswa itu memang menangkap atau mau menangkap materi pembelajarannya?
bisa saja mereka menyatakan dirinya sebagai mahasiswa Matematika tapi tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan Matematika, atau bahkan mereka hanya sekedar memegang 'gelar' sebagai mahasiswa Matematika lalu masa bodo dengan pelajarannya;
yang saya gambarkan sebagai orang Kristen yang menyeleweng: sudah merasa cukup punya 'gelar' sebagai seorang Kristen tanpa memunculkan keinginan untuk belajar dan menerapkan ajarannya sebagai sesuatu yang lebih pragmatis.
this is why i keep saying i can't deal with stereotypes.
orang terlanjur terbiasa berpatok pada label yang melekat pada individu padahal gelar tidak selamanya menjadi tolak ukur akan kepribadian seseorang.
*
saya melihat "pola penghakiman" yang sama sedang menimpa orang-orang yang punya kekuasaan, jabatan, kedudukan (dalam hal ini bukan hanya mengacu pada pejabat pemerintah saja, tapi juga orang "biasa" yang punya kedudukan); yang hanya karena tingkah laku bejat dari yang "beberapa" (meski sebenarnya juga agak berat saya sebut "beberapa" saking banyaknya) menjadikan kedudukan yang tinggi sebagai kembaran atau bahkan nama lain dari kebusukan, kepalsuan, dan hal kotor lainnya.
apakah naif dalam usia saya sekarang ini, saya masih sering bertanya, "apakah semua pejabat pemerintah itu setolol yang orang perbincangkan di sekitar saya?", "apakah semua menteri itu tukang korup tukang catut dan tukang-tukang rendahan lainnya?", "apakah semua orang yang punya 'jabatan' bekerja dengan kotor?", "apakah mereka semua, yang kita percayai untuk mengubah nasib kita, tidak sekalipun pernah memikirkan nasib kita?",
"tidak adakah orang-orang yang benar-benar tulus hatinya mau bekerja sebagaimana 'pekerjaan'nya menuntut dia untuk berbuat?", "tidak adakah tempat yang 'baik' untuk orang baik di antara orang-orang rakus itu?"
ah. saya sudah terlanjur dipenuhi mind-set tentang kejelekkan, yang akhirnya membuat pertanyaan yang terakhir terdengar memuakkan bagi saya sendiri.
*
kemarin di bis saya berpikir tentang pengabdian yang harusnya dilakukan setiap orang dalam pekerjaan yang dia lakukan (baik yang memang dia rencanakan atau sesuatu yang terpaksa harus dihadapi).
si sopir bis menyetir sembarangan, asal kebut, asal susul, asal pepet, seperti lupa bahwa tugasnya adalah 'membawa nyawa' para penumpangnya selamat sampai tujuan.
saya menganggap dia terlalu berorientasi pada uang (siapa yang tidak? -- saya takut selepasnya saya jadi mahasiswa, jadi orang yang harus cari kerja, jadi orang yang berorientasi pada uang juga), ketika uang menjadi tujuan dia, dia lupa tugas seorang supir bis adalah mengantarkan penumpang bukan mencari uang. saya tahu dia punya tugas untuk menjadi kepala keluarga, tapi saya pikir, uang harusnya hanya menjadi sarana dalam memenuhi tugasnya sebagai bapak.
andai dia berpikir menjadi supir bis berarti mengabdi, saya yakin dia tidak mungkin menyetir macam orang mabuk begitu.
begitupun dengan pekerjaan lainnya: pedagang, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, murid, tukang becak, tukang sayur, tukang buah, polisi, pengacara, ekonom, para menteri, presiden.
kalau semua melakukan pekerjaan dengan berorientasi pada uang, bagaimana dengan tujuan utama dari pekerjaan mereka masing-masing? bukankah itu yang harusnya jadi patokan utama mereka dalam perannya masing-masing?
harusnya orang berani berperan dalam peran ia ditempatkan (bukan hanya menempatkan diri) dengan menjadikannya sebuah pengabdian. atau kalau mau sedikit religius (kalau memang masih ingat bahwa sila pertama ideologi bangsa ini berbicara tentang ketuhanan), sebut sebagai pelayanan.
pengabdian dan pelayanan terhadap siapa? terhadap manusia di sekitarnya tentu saja.
saya punya visualisasi sendiri dalam kepala bahwa kehidupan ini seperti tergambar dalam Himpunan Semesta (S) yang memuat manusia-manusia sebagai anggota himpunannya, dimana setiap orang ini, dalam cerita hidupnya, saling ber-irisan satu sama lain, saling memiliki common thing, sesuatu yang membuat mereka sama dalam semesta yang sama.
peran setiap orang yang dia miliki berhubungan dengan peran orang lain.
cerita hidup setiap orang memiliki benang merah dengan cerita hidup orang lain.
maka dari itu, saya percaya semua orang harus bersikap baik satu dengan yang lain, karena dengan memberikan kebaikan dalam kehidupan orang lain, dia sendiri sedang menyusun kebaikan untuk kehidupannya sendiri.
menurut saya begitu.
*
mungkin saya dibilang bisa bicara begini karena tidak bisa merasakan posisi mereka. mungkin saja.
toh manusia pada dasarnya lemah, kan? mudah dibuai harta, kekuasaan, hal-hal yang bisa membuatnya dipandang lebih tinggi dari yang lainnya. so human.
tapi apakah tidak ada keinginan dari dalam hati nurani (kalau memang masih punya) untuk benar-benar menjadi sebagaimana ia seharusnya menjadi :manusia dengan akal budi dan nuraninya?
beberapa hari yang lalu pun tercetus dalam kepala saya, untuk menjadi seorang dengan kedudukan tinggi, orang harus berani memiliki hati yang besar, karena kekuasaan mampu melumpuhkan orang.
kebetulan, mirip dengan pandangan Gie yang kemarin saya baca,
"Menjadi menteri di Indonesia sulit sekali. Di samping dia harus pintar, ia harus pula kebal terhadap uang sogokan, pangkat (, dan.. wanita-wanita cantik.)"
memang tidak mudah kan?
toh siapa yang bilang hidup itu akan gampang?
tapi kalau semua orang mengeluh tentang betapa sulitnya peranan yang harus dia jalankan, mau jadi apa hidup ini?
chaos.
semua orang harus berani menjadi tangguh, berani berusaha mengalahkan kelemahan yang bisa menjatuhkan dia. caranya bagaimana? harus sesuai dengan pribadinya sendiri-sendiri, karena yang paling mengerti titik lemah seseorang hanya dirinya sendiri, termasuk cara mengatasinya.
mereka kan sudah masuk kategori dewasa, kenapa tidak belajar jadi dewasa? (apakah dengan menjadi dewasa berarti berhenti belajar? kalau begitu sih tolol sekali menurut saya)
saya hanya kasihan pada orang jujur dan benar yang memang punya niat untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat banyak, yang ke'baik'annya ditutupi oleh orang-orang jahat, membuat peran yang dia jalani seolah tidak pernah bertemu dengan 'kebaikan', tujuan utamanya;
takut-takut dalam kebaikan yang dia lakukan, malah keburu ikutan di-cap sebagai kedok.
(menggunakan gambaran tadi, misalkan petinggi yang baik adalah mahasiswa Matematika yang teladan, dia mau mengajar dan membagi pengetahuan tentang Matematika; tapi dicap sebagai kedok untuk mengelabui atau untuk memanipulasi yang diajar karena sebelumnya, kawan-kawan mahasiwa Matematika lain yang hobi menyeleweng sudah keburu menghasilkan cap orang banyak bahwa mahasiswa Matematika adalah tukang catut dan suka menggunakan gelarnya untuk kesewenang-wenangan)
*kebetulan tercetus jurusan Matematika, gak ada maksud tertentu; semua jurusan sama baiknya*
kasihan juga pada orang-orang yang ingin belajar memahami kebaikan di antara kenyataan tentang kejahatan, tapi terbayang-bayangi oleh stigma-stigma yang terlanjur diberikan.
kasihan juga pada orang yang mengharapkan kebaikan tapi orang yang mereka percayakan untuk membawa kebaikan telah 'terbuai' oleh cap jahat masyarakat, jadi pikirnya, "sudah terlanjur dibilang busuk ya busuk saja sekalian." (lemah sekali imannya)
Ah.
terlalu banyak yang saya lamunkan. terlalu banyak yang saya pertanyakan.
tapi tetap masih tentang orang-orang yang tak kunjung bisa saya pahami.
membingungkan.
papa yang mengantar saya dan pada kunjungan kedua ini, papa berkomentar lucu sekali:
"kamu ke sini melulu! kamu mau kerja di sini? kamu kerja di sini bisa jadi menteri! kamu mau jadi menteri?! korupsi terus! masuk neraka!!"
beliau mengucapkan ini dengan nada setengah histeris sambil melepas helm.
bukan cuma karena cara penyampaiannya yang bikin lucu, tapi juga bagaimana stereotype bahwa menteri adalah tukang korupsi ternyata sudah sebegitu identiknya bahkan dalam pikiran se-terbuka papa saya, yang kadang saya tangkap sebagai kesimpulan yang terlalu buru-buru.
saya pikir, hampir semua orang (atau setidaknya orang yang saya kenal atau yang bicara dengan saya) memiliki mind set yang sama setiap kali berbicara tentang petinggi-petinggi negara.
kadang saya juga ikut terpropaganda juga dengan memunculkan kesimpulan yang tergesa-gesa begitu.
hal ini mengingatkan saya pada sebuah notes yg saya baca waktu SMA, tentang keateisan yang ditulis oleh teman asing di facebook, ia seorang Korea yang sekarang tinggal di US.
dalam notes itu terkandung pernyataan tentang betapa tidak sukanya ia pada Kekristenan, baik pada penganutnya maupun pada ajarannya (termasuk tentang adanya pengampunan dosa dalam gereja yang seolah mengijinkan setiap orang Kristen boleh berbuat dosa lalu meminta ampun, lalu berbuat dosa lagi dan minta ampun lagi, yang membuat dia berkesimpulan, "Christians just find excuses", "Christians are hypocrites" karena beberapa 'petinggi' gereja ternyata memanipulasi umatnya).
perkataan yang paling menyentak adalah sebuah seruan, "jesus myself!"
saya merasa bahwa si Kim ini (sebut saja namanya begitu) telah salah menjadikan orang Kristen yang 'menyeleweng' di mata dia sebagai tolak ukur akan orang Kristen secara menyeluruh. penarikan kesimpulan yang terburu-buru... dan salah.
saya sendiri pada saat itu ingin meluruskan cara pandangnya, bukan dalam maksud 'membenarkan' Kekristenan yang sudah disalah-salahi oleh orang yang bahkan tidak berkeinginan untuk mengerti tentang esensi utama Kekristenan itu sendiri (sebut saja: sok tahu tapi menghakimi), tapi lebih pada menghindari 'kebiasaan' untuk memberi label pada yang 'seluruh' hanya karena ada bagian dari yang seluruh itu yang melenceng.
saya berkomentar bahwa mereka yang mengaku Kristen tapi berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan sebagai seorang Kristen sama seperti penggambaran saya tentang mahasiswa-mahasiswa jurusan Matematika, misalnya.
ambil contoh, dalam satu jurusan Matematika di suatu universitas ada 100 orang mahasiswa. siapa yang bisa menjamin bahwa keseratus-seratusnya memang secara menyeluruh menguasai Matematika itu sendiri? sebagai mahasiswa Matematika, tentu mereka digenjot untuk belajar lebih tentang Matematika (dalam hal ini, saya bandingkan dengan umat yang terus dalam proses mempelajari ajaran agama dan Tuhannya), namun siapa yang dapat menjamin keseratus mahasiswa itu memang menangkap atau mau menangkap materi pembelajarannya?
bisa saja mereka menyatakan dirinya sebagai mahasiswa Matematika tapi tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan Matematika, atau bahkan mereka hanya sekedar memegang 'gelar' sebagai mahasiswa Matematika lalu masa bodo dengan pelajarannya;
yang saya gambarkan sebagai orang Kristen yang menyeleweng: sudah merasa cukup punya 'gelar' sebagai seorang Kristen tanpa memunculkan keinginan untuk belajar dan menerapkan ajarannya sebagai sesuatu yang lebih pragmatis.
this is why i keep saying i can't deal with stereotypes.
orang terlanjur terbiasa berpatok pada label yang melekat pada individu padahal gelar tidak selamanya menjadi tolak ukur akan kepribadian seseorang.
*
saya melihat "pola penghakiman" yang sama sedang menimpa orang-orang yang punya kekuasaan, jabatan, kedudukan (dalam hal ini bukan hanya mengacu pada pejabat pemerintah saja, tapi juga orang "biasa" yang punya kedudukan); yang hanya karena tingkah laku bejat dari yang "beberapa" (meski sebenarnya juga agak berat saya sebut "beberapa" saking banyaknya) menjadikan kedudukan yang tinggi sebagai kembaran atau bahkan nama lain dari kebusukan, kepalsuan, dan hal kotor lainnya.
apakah naif dalam usia saya sekarang ini, saya masih sering bertanya, "apakah semua pejabat pemerintah itu setolol yang orang perbincangkan di sekitar saya?", "apakah semua menteri itu tukang korup tukang catut dan tukang-tukang rendahan lainnya?", "apakah semua orang yang punya 'jabatan' bekerja dengan kotor?", "apakah mereka semua, yang kita percayai untuk mengubah nasib kita, tidak sekalipun pernah memikirkan nasib kita?",
"tidak adakah orang-orang yang benar-benar tulus hatinya mau bekerja sebagaimana 'pekerjaan'nya menuntut dia untuk berbuat?", "tidak adakah tempat yang 'baik' untuk orang baik di antara orang-orang rakus itu?"
ah. saya sudah terlanjur dipenuhi mind-set tentang kejelekkan, yang akhirnya membuat pertanyaan yang terakhir terdengar memuakkan bagi saya sendiri.
*
kemarin di bis saya berpikir tentang pengabdian yang harusnya dilakukan setiap orang dalam pekerjaan yang dia lakukan (baik yang memang dia rencanakan atau sesuatu yang terpaksa harus dihadapi).
si sopir bis menyetir sembarangan, asal kebut, asal susul, asal pepet, seperti lupa bahwa tugasnya adalah 'membawa nyawa' para penumpangnya selamat sampai tujuan.
saya menganggap dia terlalu berorientasi pada uang (siapa yang tidak? -- saya takut selepasnya saya jadi mahasiswa, jadi orang yang harus cari kerja, jadi orang yang berorientasi pada uang juga), ketika uang menjadi tujuan dia, dia lupa tugas seorang supir bis adalah mengantarkan penumpang bukan mencari uang. saya tahu dia punya tugas untuk menjadi kepala keluarga, tapi saya pikir, uang harusnya hanya menjadi sarana dalam memenuhi tugasnya sebagai bapak.
andai dia berpikir menjadi supir bis berarti mengabdi, saya yakin dia tidak mungkin menyetir macam orang mabuk begitu.
begitupun dengan pekerjaan lainnya: pedagang, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, murid, tukang becak, tukang sayur, tukang buah, polisi, pengacara, ekonom, para menteri, presiden.
kalau semua melakukan pekerjaan dengan berorientasi pada uang, bagaimana dengan tujuan utama dari pekerjaan mereka masing-masing? bukankah itu yang harusnya jadi patokan utama mereka dalam perannya masing-masing?
harusnya orang berani berperan dalam peran ia ditempatkan (bukan hanya menempatkan diri) dengan menjadikannya sebuah pengabdian. atau kalau mau sedikit religius (kalau memang masih ingat bahwa sila pertama ideologi bangsa ini berbicara tentang ketuhanan), sebut sebagai pelayanan.
pengabdian dan pelayanan terhadap siapa? terhadap manusia di sekitarnya tentu saja.
saya punya visualisasi sendiri dalam kepala bahwa kehidupan ini seperti tergambar dalam Himpunan Semesta (S) yang memuat manusia-manusia sebagai anggota himpunannya, dimana setiap orang ini, dalam cerita hidupnya, saling ber-irisan satu sama lain, saling memiliki common thing, sesuatu yang membuat mereka sama dalam semesta yang sama.
peran setiap orang yang dia miliki berhubungan dengan peran orang lain.
cerita hidup setiap orang memiliki benang merah dengan cerita hidup orang lain.
maka dari itu, saya percaya semua orang harus bersikap baik satu dengan yang lain, karena dengan memberikan kebaikan dalam kehidupan orang lain, dia sendiri sedang menyusun kebaikan untuk kehidupannya sendiri.
menurut saya begitu.
*
mungkin saya dibilang bisa bicara begini karena tidak bisa merasakan posisi mereka. mungkin saja.
toh manusia pada dasarnya lemah, kan? mudah dibuai harta, kekuasaan, hal-hal yang bisa membuatnya dipandang lebih tinggi dari yang lainnya. so human.
tapi apakah tidak ada keinginan dari dalam hati nurani (kalau memang masih punya) untuk benar-benar menjadi sebagaimana ia seharusnya menjadi :manusia dengan akal budi dan nuraninya?
beberapa hari yang lalu pun tercetus dalam kepala saya, untuk menjadi seorang dengan kedudukan tinggi, orang harus berani memiliki hati yang besar, karena kekuasaan mampu melumpuhkan orang.
kebetulan, mirip dengan pandangan Gie yang kemarin saya baca,
"Menjadi menteri di Indonesia sulit sekali. Di samping dia harus pintar, ia harus pula kebal terhadap uang sogokan, pangkat (, dan.. wanita-wanita cantik.)"
memang tidak mudah kan?
toh siapa yang bilang hidup itu akan gampang?
tapi kalau semua orang mengeluh tentang betapa sulitnya peranan yang harus dia jalankan, mau jadi apa hidup ini?
chaos.
semua orang harus berani menjadi tangguh, berani berusaha mengalahkan kelemahan yang bisa menjatuhkan dia. caranya bagaimana? harus sesuai dengan pribadinya sendiri-sendiri, karena yang paling mengerti titik lemah seseorang hanya dirinya sendiri, termasuk cara mengatasinya.
mereka kan sudah masuk kategori dewasa, kenapa tidak belajar jadi dewasa? (apakah dengan menjadi dewasa berarti berhenti belajar? kalau begitu sih tolol sekali menurut saya)
saya hanya kasihan pada orang jujur dan benar yang memang punya niat untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat banyak, yang ke'baik'annya ditutupi oleh orang-orang jahat, membuat peran yang dia jalani seolah tidak pernah bertemu dengan 'kebaikan', tujuan utamanya;
takut-takut dalam kebaikan yang dia lakukan, malah keburu ikutan di-cap sebagai kedok.
(menggunakan gambaran tadi, misalkan petinggi yang baik adalah mahasiswa Matematika yang teladan, dia mau mengajar dan membagi pengetahuan tentang Matematika; tapi dicap sebagai kedok untuk mengelabui atau untuk memanipulasi yang diajar karena sebelumnya, kawan-kawan mahasiwa Matematika lain yang hobi menyeleweng sudah keburu menghasilkan cap orang banyak bahwa mahasiswa Matematika adalah tukang catut dan suka menggunakan gelarnya untuk kesewenang-wenangan)
*kebetulan tercetus jurusan Matematika, gak ada maksud tertentu; semua jurusan sama baiknya*
kasihan juga pada orang-orang yang ingin belajar memahami kebaikan di antara kenyataan tentang kejahatan, tapi terbayang-bayangi oleh stigma-stigma yang terlanjur diberikan.
kasihan juga pada orang yang mengharapkan kebaikan tapi orang yang mereka percayakan untuk membawa kebaikan telah 'terbuai' oleh cap jahat masyarakat, jadi pikirnya, "sudah terlanjur dibilang busuk ya busuk saja sekalian." (lemah sekali imannya)
Ah.
terlalu banyak yang saya lamunkan. terlalu banyak yang saya pertanyakan.
tapi tetap masih tentang orang-orang yang tak kunjung bisa saya pahami.
membingungkan.
1 comments
haha
ReplyDeleteSeharusnya kamu tulis nama saya disana, kemudian link ke blog saya :P
Makasih Elle, good job. Hhe
Tulisan kamu, bagus. Penulis-penulis esai dsb memang orang-orang resah. Idola kamu "GIE", orang yg penuh keresahan dan kegelisahan. Seperti yg ada dlm tulisan kamu, saya senang menyebutnya PREMATURE GUESS. Entahlah, memang begitu tendensinya (ingat pelajaran sosiologi SMA atau psikologi).
Saya pernah mendiskusikan tendensi yg seperti itu, saya presentasikan dalam forum. Terserah forum mengerti atau tidak, itu cara saya membentuk opini, bahwa tidak adil jika kita melabeli orang berdasarkan riwayat profesinya (atau apapun yg dikerjakan) dan semacamya.
Bukunya mau dikirim kapan? Sms saya,
*kirim beserta orang yg mencarikan buku ke LP3ES