­

Lalu kembali pada ketidakadaan

7/07/2010 07:15:00 PM

Masih tentang manusia yang saya pikirkan. Tentang hidup. Dan memang terpetakan pemikiran tentang hidup pada pertanyaan tentang kematian:
"While I thought that I was learning how to live, I have been learning how to die," ujar Da Vinci.


Saya mungkin banyak menyimpan dendam pada orang-orang asing yang angkuh.
Dan kematian, bagi saya, nampak demikian: orang asing yang kelewat arogan; yang entah mengapa dalam arogansinya ia mampu sedemikian memikat, memicu saya ingin mengenal.. setidaknya untuk memahaminya. Namun, ya.. Dia terlalu angkuh. Itu saja.
Membiarkan dirinya mengambil alih dalam ketidakmungkinan paling irasional sekali pun.
Datang dalam sunyi lalu menyakiti.
Menjabat tangan lalu menghempaskan.
Singgah dalam bungkam lalu melukai.
Memberi tanda hadir dengan air mata yang tersisa.. dan juga tanda tanya.

Saya tak karuan bertanya-tanya mengapa orang baik yang cepat meninggalkan (dalam perspektif keduniaan) atau katakanlah, terlalu cepat memulai perjalanan (bagi yang percaya Sesuatu menanti di "keduniaan" yang berbeda); menyisakan dunia dengan lebih banyak ketidaktuhanan, malaikat-malaikat-Nya semakin dipelitkan saja hadirnya di sini.
Tadinya saya pikir kematian bisa menjadi jawaban tentang esensi utama dari eksistensi manusia, tentang bagaimana semesta sebenarnya bekerja.
Ketika saya akhirnya hanya dijawabi kembali dengan pertanyaan, saya pikir kematian hanya semacam antiklimaks.
Demikian berbahagia dalam kebaikan dan kasih sayang, lalu pergi menghilang tanpa ampun pada hasrat akan ketulusan.

Saya menyangsikan orang jahat, orang-orang yang tidak diinginkan hadirnya, pantas dibetahkan dalam bumi yang seperti ini; menambah bukti ketidakadilan sirkumtansi tempat kita terjebak sekarang Lalu si orang asing dan arogan itu, Kematian, datang dan mengajar setelah menghajar:
jika bukan di dimensi-selanjutnya , dimana lagi orang baik boleh mendapat Hati terbaik?
Mungkin memang sebegini temporernya jaringan-jaringan multi-kompleks yang agung ini, telah memanusiakan manusia sebagai saksi: melihat bagaimana yang kekal hanya dimiliki Sang Kekal. seorang.

Dari yang tidak ada menjadi ada, manisnya kita kenangkan.
Lalu yang ada kembali pada ke-tidak ada-an nya; materi lain pada daftar panjang ajaran tentang kehidupan.

Dipunguti lagi ingatan yang tercerai-berai tentang kebaikan. Ya.. siapa yang cukup berhati baja untuk merindukan kebencian?
Berpura tak mengenal, kamu tahu nama. Berpura dalam kebencian, kamu ingat hati yang pernah memberi. Ada rindu yang akan kita bagi bersama.

Mungkin memang demikian siklus ini bekerja: menerima lalu menerimakan, diberikan lalu memberikan, dicintai setelah mencintai.

Ketika tiba pada kondisi untuk mengartikan kematian, saya akan sama paniknya dalam memberi deskripsi pada cinta sekalipun; tapi dalam kapasitas lemahnya manusia, "
Die, v.: To stop sinning suddenly" menurut Elbert Hubbad.

Setidaknya, pada kami yang berlebih sisa waktu dibanding yang telah berpulang, harus kembali lagi dalam "mempelajari" kehidupan; "hidup" yang di sini dan yang menunggu di "sana", dalam kesinambungan tak terdefinisi yang dikuasai Kekuatan lain yang lebih besar. Kau tahulah siapa yang saya perbincangkan, Tuan Besar Baik Hati yang menanti di sana, yang sudah terlebihi dahulu menginspirasi dengan memberi (atau memberi dengan menginspirasi?)



Rest in peace, Bu Endah, you're an angel now up there. You may want some others words to be heard from us, but we have nothing except "THANK YOU",
You've shown us how kind-hearted people can be truly real in this short life-time.
We ♥ you. We do.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe