cinta yang akhirnya saya jatuhkan
7/27/2010 09:56:00 PM
belakangan ini saya merasa jatuh cinta, tergila-gila, kasmaran, atau apapun istilah yang dipakai untuk menggambarkannya.
Soe Hok Gie yang membuat saya demikian.
Mira Lesmana dan Riri Riza yang memperkenalkannya pada saya, lewat film Gie (2005).
pada dia cinta saya jatuhkan, saya rasa.
sepulangnya dari bioskop, saya langsung menulis sesuatu tentang Gie, yang kalau tidak salah saya beri judul "Pemberontak Tak Selalu Salah" (akan saya coba cari ada dimana artikel bikinan anak yang baru jajal bangku SMP itu)
aneh juga, inspirasi yang datang dari Gie bisa sedemikian impulsifnya hingga membuat saya langsung menulis sesuatu tentang dia, padahal, pada usia segitu saya sedang dalam masa-masa termanipulasi oleh idealisme kisah-kisah romantis (mungkin untuk menjawab rasa penasaran yang normal muncul pada tahap tersebut) dengan membaca beberapa novel teenlit dan novel-novel Mira.W.
setelah film-nya diputar di bioskop-bioskop, ia sepertinya mulai menjadi terkenal: saya lihat bukunya (Catatan Seorang Demonstran) bertebaran di toko-toko buku. Saya ingin beli, tapi niat itu saya urungkan dengan alasan (yang kalau saya pikir sekarang, amat sangat konyol sekali): saya belum "pantas" membaca buku seperti itu di usia itu, biar saya berteman dulu dengan cerita-cerita ringan seperti tentang percintaan, tentang konflik-konflik keremajaan yang lebih menarik untuk diikuti.
waktu itu usia saya kurang dari 14 tahun, dan sebagaimana anak-anak labil lainnya, yang disebut "jatuh cinta" hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu (atau mungkin lebih menjurus "dalam kurun waktu yang bisa ditentukan"); saya tergila-gila ketika cerita-cerita tentang Gie terdengar, lalu lambat laun saya lupa tentang dia, lupa tentang betapa luar biasanya dia pernah saya ingin "gapai".
*
Desember 2009 kemarin, secara kebetulan (this is why i do love universe coincidence), saya sedang ganti-ganti channel TV dan akhirnya hinggap di acara Kick Andy, membahas "Soe Hok Gie Sekali Lagi" yang diluncurkan dalam rangka 40 tahun Tragedi Semeru.
lucunya, yang muncul di kepala saya saat itu adalah omongan, "wah, ini kan Gie yang dulu saya kagumi itu!". munculnya kata dulu yang bikin lucu saja (menurut saya).
Desember 2009, saya baru menginjak usia 18 lebih satu bulan (saya berulang tahun sama dengan Ahmad Wahib, 9 November), saya baru saja secara resmi menjadi seorang mahasiswa, suatu tahap dalam kehidupan dimana sosok Gie menjadi sangat menonjol dan memberikan peran penting dalam masyarakat dan dalam perannya sebagai seorang yang pernah saya idolakan waktu mulai remaja.
pada waktu itu, saya memiliki pemikiran yang datang tiba-tiba, untuk menjadikan dia sebagai panutan saya, seorang yang sebagaimana saya seharusnya menjadi, terutama dalam tahap kemahasiswaan saya.
(ke-kutubuku-an Gie sepertinya menular pada saya sejak menonton filmnya saat SMP hingga SMA: saya menjadi 'pengunjung harian' tetap perpustakaan sekolah. labelnya ya.. saya kutu buku. ada saya ada buku.)
ketika Gie "muncul" (atau dimunculkan) kembali, ada semangat dalam diri saya yang rasanya seperti semerta-merta dikobarkan.
saya ingin menjadi seperti dia, atau setidaknya menjadi mahasiswa sebagaimana yang dia impi-impikan.
selagi saya bertumbuh hari-hari ini, dia membuat saya haus, haus akan ilmu dan kebenaran; ilmu yang mampu membuat saya 'kaya' sebagai seorang mahasiswa dan kebenaran (moral) yang mampu membuat saya 'kaya' sebagai manusia dan sesama.
Gie mengajarkan saya sebuah fleksibilitas dalam berpikir dan berpersepsi.
ia yang membawa saya untuk menjadi seorang muda yang berani berpikir lebih maju dari remaja lain di sekitar saya yang hanya peduli caranya bersenang-senang.
ia yang menyulut kesadaran akan ke-Indonesia-an saya.
ia yang mempengaruhi saya dalam menyikapi beberapa dogma yang salah atas ajaran agama yang disesatkan.
saya rasa, dia juga yang mendorong saya untuk menjadi seorang perempuan yang bisa jadi pintar, bukan hanya peduli baju dan penampilan lalu berakhir di lubang dapur.
ia seperti seorang role model, seperti seorang guru, seperti seorang teman yang tidak pernah saya jumpai namun terasa dekat oleh karena pemikirannya yang hampir seluruhnya relevan dengan keadaan yang saya saksikan dan rasakan, dan banyak perkataannya mewakilkan apa yang ingin saya sampaikan namun sulit untuk menjabarkannya.
seorang teman bertanya-tanya kenapa saya sebegini tergila-gilanya dengan Gie, saya hanya bisa mengatakan bahwa ia adalah orang yang tidak mungkin tidak diidolakan bagi siapa pun yang mengenalnya (meski tak juga berkesempatan bertemu, seperti saya).
seorang pemuda yang kelewatan ideal, yang untuk beberapa kali saya pikir dia itu tokoh fiksi.
seorang yang saya obsesikan sebagai tipikal pria yang ingin saya habiskan hidup bersama jika saatnya tiba nanti(kalau memang disempatkan ada manusia seperti dia lagi).
saya tidak menuhankan dia.
tidak seluruh cara pandangnya saya jadikan patokan. toh pemikirannya tentang ketidakadaan / kemustahilan tentang Tuhan sangat tidak sejalan dengan saya (bukan bermaksud sok religius), meski sebenarnya mendorong saya untuk belajar "menalar Tuhan" juga, enggan menjadi seorang fideisme, atau penganut agama yang asal ngikut, atau bahkan seorang penganut agama yang lupa dimana dia sedang hidup sehingga lupa merelevansikan ajaran agamanya dengan keadaan sekitar, atau bahkan menjadi seorang yang kelewat fanatik dengan agamanya sendiri (yang saya lihat sebagai sebuah penghujatan, bukan hanya terhadap ajaran agamanya, melainkan juga pada si Sumber Ajaran).
*
saya ingin "mengejar" Gie tapi ia telah memulai pembelajaran dan penyadaran akan sekitarnya dari usia yang terlaaalluuu muda. saya merasa tertinggal. saya merasa malu juga karena di bulan-bulan awal menjadi mahasiswa desain, saya secara total meninggalkan hobi membaca buku dengan dalih konsekuensi tugas-tugas di jurusan desain yang kelewat menyita waktu (dipikir-pikir, saya kok sering ya bikin dalih-dalih konyol)
pada saat ini saya seharusnya melanjutkan lagi pembelajaran saya, bukan hanya dari buku namun juga dari orang-orang yang saya jumpai (meski toko buku tetap menjadi godaan iman terberat sepanjang hayat).
banyak yang berpikir saya menghamburkan uang dengan membeli buku-buku (yang sekarang harganya sudah tidak murah lagi), tapi saya tetap pada keyakinan bahwa dengan memiliki buku-buku bagus, ada orang-orang di sekitar saya yang akhirnya berkesempatan membacanya dengan meminjamnya dari saya secara cuma-cuma (tempat penyewaan buku kan memungut uang jaminan dan uang sewa yang saya anggap mahal. menyebalkan, menurut saya).
saya ingin menjadi maju (sudah saya tuliskan di post sebelumnya), tapi saya tidak ingin maju sendiri.
saya ingin melihat kawan-kawan mahasiswa saya tidak hanya peduli dalam mengejar nilai di perkuliahan, tidak hanya peduli tentang menjadi "gaul" dan "eksis", tidak hanya peduli dalam menimba ilmu untuk dirinya sendiri;
tapi juga untuk menjadi peka dan terobsesi mengejar nilai-nilai kita sebagai kaum intelektual, kaum yang beruntung untuk bisa mengecap bangku perkuliahan, menjadi mahasiswa (yang waktu SD dan SMP dulu saya lihat sebagai pahlawan-pahlawan yang berani menentang ketidakadilan pemerintah), dan tergerak untuk menempatkan diri juga sebagai manusia yang membutuhkan dan terutama dibutuhkan oleh sesama manusia. saya ingin melihat kita sama-sama membangun bangsa, kita terlahir di Indonesia bukan dengan alasan untuk merendahkan bangsa ini, bukan dengan alasan untuk memuja-muja negara lain, Tuhan punya rencana dengan menghadirkan kita di negeri ini. saya percaya ada sesuatu yang Dia ingin kita lakukan melalui bidang kita masing-masing, namun tetap menjadi kaum terpelajar harapan masa depan bangsa ini.
Gie yang mengajarkan semua ini.
benar-benar saya tergila-gila, benar-benar jatuh cinta:pada pribadinya, pada pemikirannya, pada pengaruhnya terhadap pola pikir saya, pada banyak hal. betapa beruntungnya mereka yang bisa mengenalnya in persona!
saya meyakini semua kawan saya harus "mengenal" dia.
rasanya sepi sekali ketika menyadari hati saya bergemuruh berbincang dan mendalami pandangannya, kawan-kawan sekitar saya hanya membisu dalam kebingungan tentang siapa Gie dan apa yang bisa dikagumi dari dia.
omong-omong, ada dosen saya yang pikirannya sering sama "berbeda"nya dengan Gie, meski beliau ini tidak mengkritik pemerintah atau berperan dalam hal-hal berbau politik seperti Gie. kesamaannya? mungkin keduanya banyak membaca buku filsafat, dan beberapa hal lainnya yang mendadak sulit saya paparkan (hahaha); banyak tweet beliau yang seringkali saya catat di notes pribadi saya, yang entah kenapa, menarik saya untuk dipikirkan dan didalami.beberapa saya kutip juga untuk menulis.
cara pikirnya membuat saya mengagumi beliau, kurang lebih menjadi 'idola' saya, mengikis mind set bahwa dosen adalah orang yang menyebalkan dengan kuasa-nya memberi nilai.
ah, rasa-rasanya saya memang sulit untuk tidak jatuh cinta pada pemikiran dan ide-ide.
they are just way too seductive (in my personal opinion).
Soe Hok Gie yang membuat saya demikian.
Mira Lesmana dan Riri Riza yang memperkenalkannya pada saya, lewat film Gie (2005).
pada dia cinta saya jatuhkan, saya rasa.
sepulangnya dari bioskop, saya langsung menulis sesuatu tentang Gie, yang kalau tidak salah saya beri judul "Pemberontak Tak Selalu Salah" (akan saya coba cari ada dimana artikel bikinan anak yang baru jajal bangku SMP itu)
aneh juga, inspirasi yang datang dari Gie bisa sedemikian impulsifnya hingga membuat saya langsung menulis sesuatu tentang dia, padahal, pada usia segitu saya sedang dalam masa-masa termanipulasi oleh idealisme kisah-kisah romantis (mungkin untuk menjawab rasa penasaran yang normal muncul pada tahap tersebut) dengan membaca beberapa novel teenlit dan novel-novel Mira.W.
setelah film-nya diputar di bioskop-bioskop, ia sepertinya mulai menjadi terkenal: saya lihat bukunya (Catatan Seorang Demonstran) bertebaran di toko-toko buku. Saya ingin beli, tapi niat itu saya urungkan dengan alasan (yang kalau saya pikir sekarang, amat sangat konyol sekali): saya belum "pantas" membaca buku seperti itu di usia itu, biar saya berteman dulu dengan cerita-cerita ringan seperti tentang percintaan, tentang konflik-konflik keremajaan yang lebih menarik untuk diikuti.
waktu itu usia saya kurang dari 14 tahun, dan sebagaimana anak-anak labil lainnya, yang disebut "jatuh cinta" hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu (atau mungkin lebih menjurus "dalam kurun waktu yang bisa ditentukan"); saya tergila-gila ketika cerita-cerita tentang Gie terdengar, lalu lambat laun saya lupa tentang dia, lupa tentang betapa luar biasanya dia pernah saya ingin "gapai".
*
Desember 2009 kemarin, secara kebetulan (this is why i do love universe coincidence), saya sedang ganti-ganti channel TV dan akhirnya hinggap di acara Kick Andy, membahas "Soe Hok Gie Sekali Lagi" yang diluncurkan dalam rangka 40 tahun Tragedi Semeru.
lucunya, yang muncul di kepala saya saat itu adalah omongan, "wah, ini kan Gie yang dulu saya kagumi itu!". munculnya kata dulu yang bikin lucu saja (menurut saya).
Desember 2009, saya baru menginjak usia 18 lebih satu bulan (saya berulang tahun sama dengan Ahmad Wahib, 9 November), saya baru saja secara resmi menjadi seorang mahasiswa, suatu tahap dalam kehidupan dimana sosok Gie menjadi sangat menonjol dan memberikan peran penting dalam masyarakat dan dalam perannya sebagai seorang yang pernah saya idolakan waktu mulai remaja.
pada waktu itu, saya memiliki pemikiran yang datang tiba-tiba, untuk menjadikan dia sebagai panutan saya, seorang yang sebagaimana saya seharusnya menjadi, terutama dalam tahap kemahasiswaan saya.
(ke-kutubuku-an Gie sepertinya menular pada saya sejak menonton filmnya saat SMP hingga SMA: saya menjadi 'pengunjung harian' tetap perpustakaan sekolah. labelnya ya.. saya kutu buku. ada saya ada buku.)
ketika Gie "muncul" (atau dimunculkan) kembali, ada semangat dalam diri saya yang rasanya seperti semerta-merta dikobarkan.
saya ingin menjadi seperti dia, atau setidaknya menjadi mahasiswa sebagaimana yang dia impi-impikan.
selagi saya bertumbuh hari-hari ini, dia membuat saya haus, haus akan ilmu dan kebenaran; ilmu yang mampu membuat saya 'kaya' sebagai seorang mahasiswa dan kebenaran (moral) yang mampu membuat saya 'kaya' sebagai manusia dan sesama.
Gie mengajarkan saya sebuah fleksibilitas dalam berpikir dan berpersepsi.
ia yang membawa saya untuk menjadi seorang muda yang berani berpikir lebih maju dari remaja lain di sekitar saya yang hanya peduli caranya bersenang-senang.
ia yang menyulut kesadaran akan ke-Indonesia-an saya.
ia yang mempengaruhi saya dalam menyikapi beberapa dogma yang salah atas ajaran agama yang disesatkan.
saya rasa, dia juga yang mendorong saya untuk menjadi seorang perempuan yang bisa jadi pintar, bukan hanya peduli baju dan penampilan lalu berakhir di lubang dapur.
ia seperti seorang role model, seperti seorang guru, seperti seorang teman yang tidak pernah saya jumpai namun terasa dekat oleh karena pemikirannya yang hampir seluruhnya relevan dengan keadaan yang saya saksikan dan rasakan, dan banyak perkataannya mewakilkan apa yang ingin saya sampaikan namun sulit untuk menjabarkannya.
seorang teman bertanya-tanya kenapa saya sebegini tergila-gilanya dengan Gie, saya hanya bisa mengatakan bahwa ia adalah orang yang tidak mungkin tidak diidolakan bagi siapa pun yang mengenalnya (meski tak juga berkesempatan bertemu, seperti saya).
seorang pemuda yang kelewatan ideal, yang untuk beberapa kali saya pikir dia itu tokoh fiksi.
seorang yang saya obsesikan sebagai tipikal pria yang ingin saya habiskan hidup bersama jika saatnya tiba nanti(kalau memang disempatkan ada manusia seperti dia lagi).
saya tidak menuhankan dia.
tidak seluruh cara pandangnya saya jadikan patokan. toh pemikirannya tentang ketidakadaan / kemustahilan tentang Tuhan sangat tidak sejalan dengan saya (bukan bermaksud sok religius), meski sebenarnya mendorong saya untuk belajar "menalar Tuhan" juga, enggan menjadi seorang fideisme, atau penganut agama yang asal ngikut, atau bahkan seorang penganut agama yang lupa dimana dia sedang hidup sehingga lupa merelevansikan ajaran agamanya dengan keadaan sekitar, atau bahkan menjadi seorang yang kelewat fanatik dengan agamanya sendiri (yang saya lihat sebagai sebuah penghujatan, bukan hanya terhadap ajaran agamanya, melainkan juga pada si Sumber Ajaran).
*
saya ingin "mengejar" Gie tapi ia telah memulai pembelajaran dan penyadaran akan sekitarnya dari usia yang terlaaalluuu muda. saya merasa tertinggal. saya merasa malu juga karena di bulan-bulan awal menjadi mahasiswa desain, saya secara total meninggalkan hobi membaca buku dengan dalih konsekuensi tugas-tugas di jurusan desain yang kelewat menyita waktu (dipikir-pikir, saya kok sering ya bikin dalih-dalih konyol)
pada saat ini saya seharusnya melanjutkan lagi pembelajaran saya, bukan hanya dari buku namun juga dari orang-orang yang saya jumpai (meski toko buku tetap menjadi godaan iman terberat sepanjang hayat).
banyak yang berpikir saya menghamburkan uang dengan membeli buku-buku (yang sekarang harganya sudah tidak murah lagi), tapi saya tetap pada keyakinan bahwa dengan memiliki buku-buku bagus, ada orang-orang di sekitar saya yang akhirnya berkesempatan membacanya dengan meminjamnya dari saya secara cuma-cuma (tempat penyewaan buku kan memungut uang jaminan dan uang sewa yang saya anggap mahal. menyebalkan, menurut saya).
saya ingin menjadi maju (sudah saya tuliskan di post sebelumnya), tapi saya tidak ingin maju sendiri.
saya ingin melihat kawan-kawan mahasiswa saya tidak hanya peduli dalam mengejar nilai di perkuliahan, tidak hanya peduli tentang menjadi "gaul" dan "eksis", tidak hanya peduli dalam menimba ilmu untuk dirinya sendiri;
tapi juga untuk menjadi peka dan terobsesi mengejar nilai-nilai kita sebagai kaum intelektual, kaum yang beruntung untuk bisa mengecap bangku perkuliahan, menjadi mahasiswa (yang waktu SD dan SMP dulu saya lihat sebagai pahlawan-pahlawan yang berani menentang ketidakadilan pemerintah), dan tergerak untuk menempatkan diri juga sebagai manusia yang membutuhkan dan terutama dibutuhkan oleh sesama manusia. saya ingin melihat kita sama-sama membangun bangsa, kita terlahir di Indonesia bukan dengan alasan untuk merendahkan bangsa ini, bukan dengan alasan untuk memuja-muja negara lain, Tuhan punya rencana dengan menghadirkan kita di negeri ini. saya percaya ada sesuatu yang Dia ingin kita lakukan melalui bidang kita masing-masing, namun tetap menjadi kaum terpelajar harapan masa depan bangsa ini.
Gie yang mengajarkan semua ini.
benar-benar saya tergila-gila, benar-benar jatuh cinta:pada pribadinya, pada pemikirannya, pada pengaruhnya terhadap pola pikir saya, pada banyak hal. betapa beruntungnya mereka yang bisa mengenalnya in persona!
saya meyakini semua kawan saya harus "mengenal" dia.
rasanya sepi sekali ketika menyadari hati saya bergemuruh berbincang dan mendalami pandangannya, kawan-kawan sekitar saya hanya membisu dalam kebingungan tentang siapa Gie dan apa yang bisa dikagumi dari dia.
omong-omong, ada dosen saya yang pikirannya sering sama "berbeda"nya dengan Gie, meski beliau ini tidak mengkritik pemerintah atau berperan dalam hal-hal berbau politik seperti Gie. kesamaannya? mungkin keduanya banyak membaca buku filsafat, dan beberapa hal lainnya yang mendadak sulit saya paparkan (hahaha); banyak tweet beliau yang seringkali saya catat di notes pribadi saya, yang entah kenapa, menarik saya untuk dipikirkan dan didalami.beberapa saya kutip juga untuk menulis.
cara pikirnya membuat saya mengagumi beliau, kurang lebih menjadi 'idola' saya, mengikis mind set bahwa dosen adalah orang yang menyebalkan dengan kuasa-nya memberi nilai.
ah, rasa-rasanya saya memang sulit untuk tidak jatuh cinta pada pemikiran dan ide-ide.
they are just way too seductive (in my personal opinion).
1 comments
Hidup di indonesia cuma ada dua
ReplyDeletemenjadi Idealis Atau Apatis ??