­

Ding! Ding! Ding! di Ruang Tengah

7/04/2013 01:57:00 PM



Didengarnya bunyi-bunyian yang ia yakini berasal dari almari di sepanjang dinding dapur yang sunyi. Bunyi, krek krek krek. Ganjil sekali, ia kira. Dinding dapur membelakangi bahunya tak sampai beberapa meter jauhnya memang, namun kemampuan lirik matanya hanya menangkap alur-alur jejak tahun pada kayu-kayu dapur yang sudah dipelitur. Apa kita harus lebih percaya saja ya pada curut-curut? Namun bunyinya, krek krek krek, ia yakini. Bukan ciricicit. Ia menyimak bunyi itu.

Sepanjang menit sepanjang malam ia dengarkan bunyi-bunyi itu. Krek krek krek. Terlalu sulit, ia kira, untuk menerka asal suara dari balik almari dapur. Ia ingat terakhir kali ia mengunjungi dapur itu, lubang-lubang di dinding telah dia tutup dengan semen. Ia juga ingat, terakhir kali ia masuk ke dapur itu, bahan-bahan makanan telah ia simpan rapat-rapat. Kecoa-kecoa dan curut tak akan lagi menyelusup ke dapur. Tapi bunyi itu terlalu jelas ia dengar. Hanya, begitu samar sumbernya.


Maka ia putuskan untuk meredakan pijar cahaya yang merembes melalui kelopak matanya. Ia berpejam perlahan-lahan, berharap perangkat inderanya hanya berusaha untuk menangkap suara. Disapanya udara yang mengarak bunyi-bunyian itu. Krek krek krek. Semakin jernih. Dirasainya udara yang menyeka cuping telinganya: lambat-lambat, lembut-lembut. Dirasainya pula kulitnya sendiri yang bersentuhan dengan udara dingin yang terkumpul sepanjang malam itu. Udara membelainya dengan peka yang begitu sulit untuk ia kira. Krek krek krek, bunyi itu. Seperti decit. Barangkali derap. Atau kerat.


Ia membuka telinganya lebar-lebar. Lubang hidungnya seperti menangkap rasa jeruk mandarin, sebuah masam yang manis, memaksa untuk disesap. Ditahannya nafas yang mengecoh inderanya. Krek krek, bunyi itu. Bergulir, menerus dengan ketukan yang mengingatkannya pada hentak untuk ia tarikan. Krek krek, bunyi itu, di balik almari dapur. Seperti aroma kue yang hinggap pada hidung kanak-kanak di ujung gang; sebuah jerat, memintanya untuk mendekat. Krek krek, bunyi itu. Sesekali lambat seperti derap orang-orang lanjut usia yang bergandengan tangan di sepanjang batu-batu pijat di taman. Sesekali gesa krek krek itu, bertalu; serupa debar-debar aroma dan peluh kota menjelang siang berkejar-kejaran dengan kantung nafas yang dicatutkan sepanjang tinggi matahari. Atau barangkali, krek krek itu, seperti gesa lidah dan peka rasa seorang bocah yang begitu ingin lekas-lekas menghabiskan supnya yang baru mendidih.


Krek krek, bunyi itu. Ia ingin menjamahnya, dengan telinganya.
Krek krek, bunyi itu. Ia ingin menyaksikannya, dengan telinganya.
Krek krek, bunyi itu. Ia ingin mengecapnya, dengan telinganya.

Bunyi krek krek itu memelintir perintah sistem tubuhnya, memindah kerja sensorik pada telinga hingga merupa indera yang tunggal tengah malam itu. Lekat, pekat, hingga ia rasa bunyi-bunyi itu kemudian perlahan  mulai mengulum telinganya, ia dengar bunyi-bunyian yang mengikuti serta  bunyi krek krek krek itu: bunyi peluh. Iya, peluh. Ia yakini telinganya baru saja mengecap bunyi peluh.

-


Telinganya membuka dengan tamak untuk menangkap gema yang berpantulan di sekujur dinding, hingga dirasainya sekecil apapun gerak otot atau detak pori dari tubuhnya hanya menjauhkan asal bunyi-bunyian itu. Ia hentikan lirikannya dan mulai menatap pada dinding di hadapannya. Hanya ada kaki-kaki kecil dalam jam dinding yang menggantung, berlarian seperti anak kecil mengejar layang-layang. Setiap detik, tanpa jeda. Ia mencoba mengikuti gerak jarum detik itu -- barangkali, pikirnya, irama krek krek dari balik almari dapur dapat kita pahami dari harmoni detik jam dinding. Maka, dijaganya telinganya untuk membuka, sementar matanya memandangi jam dinding di hadapannya.

DING! DING! DING! sergah jam dinding itu, tiba-tiba. Keparat! Ia terkejut.
Seruan yang begitu tiba-tiba merangsek masuk dengan paksa ke lubang telinganya, memukuli sanggurdinya hingga layu. Berkali-kali, terus berbunyi, ding ding itu. Kokleanya seperti dihantam berat hujan yang menyambar tiba-tiba, bersahutan, tanpa menyisa iba untuk membuatnya terbiasa.
DING! DING! DING! Keparat! Ia ingin menjerit. Benda bundar yang sialan!


Kejut di jantungnya membuat ia begitu ingin berteriak pada dentang itu, namun ia urungkan pada akhirnya. Berat ia untuk mengumpat, sebab jam itu hadiah untuk ulang tahunnya yang ke-22. Dibelikan oleh lelaki yang menjadi calon suaminya kemudian. Jam itu dihadiahkan kepadanya sejumlah satu pasang. Keduanya mereka simpan masing-masing hingga delapan tahun kemudian mereka menikah dan menempati rumah mereka bersama, sepasang jam itu mereka letakkan berdampingan. Tepat di hadapannya saat ini. "Masing-masing dari jam ini adalah aku dan kamu," ujar si laki-laki, sambil memastikan letak jarum keduanya berada di titik yang identik. Seperti dua pasang kaki yang berjalan berdampingan dalam peristiwa yang serempak, kedua jam itu berlarian dengan kompak di setiap mikro detiknya. Ia ingat suara yang dalam itu, juga binar di hitam kedua bola matanya. Suara yang dalam yang membantunya menjeram seperangkat nostalgia yang berkelakar di sekujur inderanya tiba-tiba, namun sebentar.

Sebab, DING! DING! DING!
Jam dinding membentaknya lagi untuk kembali mengingat saja denting itu.
Keparat! Ia ingin mengumpat lagi, sebab ia dibuat terkejut lagi.
DING! DING! DING! Ia tak mau berhenti ber-ding-ding.
Benda bundar keparat! Ia ingin berteriak, namun berat untuk mengumpat.


Bunyi krek krek yang menguras rasa ingin tahunya dilumat habis oleh denting jam dinding yang membentak-bentak tembok. Krek krek berubah jadi seperti gema adzan yang biasa ia dengar hanya merambat lambat dari kejauhan. Krek krek yang berubah menjadi pantul jarak. Ia kehilangan krek krek itu, juga bunyi peluh yang dihidunya. Ding ding! mengubah krek krek yang mulai dikenali oleh telinganya perlahan kembali menjadi asing, membuatnya sangsi, menggantinya dengan kriiit kriiit, begitu lambat. Bunyi peluh menjelma wangi lelengketan. Apa yang tengah meleleh di balik almari dapur? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Hanya DING! DING! DING! yang ia dengar menyahutinya.

-

Maka dengan bunyi ding ding yang telah mengubah krek krek menjadi kriiit kriiit, ia bersungut. Kerja tunggal telinganya melemas, dan ia mulai melirik kayu almari. Ia tetap tak menyaksikan apa-apa. Ia hanya masih tetap mendengar wangi lelengketan. Lelehan itu seperti menyapanya penuh goda dari lelehan di balik almari dapur. Ia hanya tak kunjung mengira sumbernya. Barangkali seseorang menggunakan kompor sebelum tidur dan lupa mematikan apinya? Ia ingin menerka lagi, namun hanya ding! ding! yang menyahuti.

Baiklah, cukup! Ia akhirnya meneriaki jam dinding itu. Begitu geramnya ia dibuat oleh si jam dinding.
Umpat yang ditahannya itu membuat ia tak lagi bisa membedakan apa yang membuat dirinya bergetar: bunyi ding! ding! ding! yang mengganggu kerja telinganya untuk menerka bunyi krek krek serta kriiit kriit di dapur, atau ding! ding! ding! yang mengganggu debar udara yang tak hanya tiba di telinganya namun juga pada kulit di sekujur tubuhnya. DING! DING! DING! bunyi itu bertaluan. Apa yang tengah meleleh di balik almari dapur? DING! DING! DING! Seperti pengingat yang begitu menjengkelkan, menyublim notasi-notasi yang tak juga dapat ia nyanyikan. Ia masih sempat sungkan untuk berteriak. Namun, DING! DING! DING!

-


KEPARAT! Ia berteriak kemudian.
Ia ingin memaki jam dinding itu, memang, namun lidahnya meludah pada kerat yang lain.
KEPARAT! Ia memaki lagi.



Bukan pada bundar jam yang baru saja menggeser tungkai panjang dan pendek duduk bersilaan di angka dua belas. Bukan pula pada krek krek yang meredam. Tapi KEPARAT! ia berteriak, pada sepasang tubuh telanjang yang melenggang dari balik almari dapur. Bunyi peluh yang baru saja akrab di telinganya melelehi kulit keduanya. Si perempuan mencoba mengenakan pakaian dalamnya sambil berjalan menyadari jam dinding yang barusan dikeparati oleh telinga yang lengah mengecap bunyi peluh. Si laki-laki tahu itu : Ding ding ding telah berhenti pada jam dinding di sebelah kiri memang, namun jam dinding di sebelah kanan telah terhenti hingga detiknya dalam tiga tahun terakhir.

KEPARAT! bunyi telinga yang mengecap jijik lelehan dari balik almari dapur. Kriit kriit lumer dengan najis di telinganya.

Kedua tubuh itu telanjang, beranjak dari balik almari dapur, tak mengingat pasang mata yang lain. Si laki-laki dengan binar hitam bola mata yang menjeram seperangkat nostalgia hendak mencium si perempuan, ketika perempuan itu meremas kain pakaiannya sambil cemberut beraduan pandang dengan sepasang mata yang sedari tadi menatap jam dinding yang membentak Ding! Ding! Ding!, sepasang mata yang menempatkan telinganya menyusur bunyi krek krek krek dari balik almari dapur.

Mereka bertatapan. Kemudian dengan bersungut perempuan yang masih telanjang memandangi sepasang mata perempuan lain di hadapannya itu membentak si laki-laki:
"Kenapa sih, potret almarhum istrimu masih kamu pajang-pajang melulu!"


Keparat bersetubuh di dapurku!
Sebuah makian lagi, namun tak didengar kedua tubuh yang telanjang itu. Sepasang tubuh yang telanjang itu hanya berkacak di ruang tengah; menimbang akan dipindah ke mana bingkai potret yang memandangi detik jam dinding dirinya yang sudah berhenti sejak 3 tahun terakhir.




***

2013
hujan yang muram, dan mendengarkan : Kisah Tanpa Cerita - Banda Neira

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe