kitab suci basa basi
6/03/2012 08:10:00 PM
Kegiatan munafikis rutin (dan nampaknya sudah tak lagi pantas berstatus temporer) adalah pergi ke gereja setiap Minggu, termasuk hari ini.
Sebenarnya saya tak ingin membawa agama, tapi mau tak mau ada sangkut pautnya.
Rumah saya di komplek BTN. Jalan masuk ke gang rumah lebarnya pas-pasan dua mobil. Di ujung jalan menuju depan komplek, di perempatan kecil, ada rumah yang belasan tahun lamanya sudah beralih fungsi menjadi gereja. Pagi ini, ibu saya marah-marah lagi dari dalam mobil yang saya naiki menuju paroki di Tangerang kota: umat gereja di rumah itu lagi dan lagi memarkir mobilnya (mobil-mobilnya, ada dua-tiga) di jalanan gang rumah saya. Mobil ibu saya (mobil pinjaman kantor, lebih tepatnya) lagi lagi mengadu napas dengan berjarak kurang dari setengah meter dengan mobil yang diparkirkan. Hansip RT yang menjagai gereja melipat tangan depan dada, hanya menonton.
Ibu saya bilang, ibu yang rumahnya di ujung jalan, yang depan pagarnya dijadikan parkiran mobil, sudah pernah ribut-ribut keberatan. Dan katanya, "Sebentar lagi pasti ribut-ribut lagi."
Gereja yang berada di dalam kompleks ini umatnya dari kompleks yang sama juga.
Setiap Minggu jalanan sempit rumah saya isinya mobil-mobil yang diparkirkan. Tak jarang terlalu ke tengah, atau pintunya membuka menutupi luang jalan, atau menghalangi di belokan.
Saya tidak mengerti kenapa orang naik mobil ke dalam kompleks perumahan yang sama.
Dulu saya pernah ke gereja di kompleks sebelah dan tiap setelah misa selalu diperingatkan untuk tak membawa mobil dan hanya memarkir motor di lapangan yang ditentukan.
Saya tidak mengerti kenapa orang dalam identitas keagamaannya (beribadah ke gereja = identitas keagamaan, meski tidak valid, seperti saya contohnya) menjustifikasi dirinya mempunyai hak untuk memakai lahan publik dan merasa orang lain memiliki kewajiban untuk selalu memaklumi tanpa kompromi atas keberatan-keberatan.
Komplek perumahan saya berisi orang-orang yang rawan fanatisme dan sensivitas ras dan agama (terjadi beberapa kali ribut-ribut dan omongan-omongan sinis).
Saya melamun lalu bergidik, kalau ribut-ribut parkir mobil dan hak jalan depan rumah bisa sampai pada ribut-ribut yang diberi judul intoleransi beragama.
Lalu diperlengkap lagi dengan saya yang sampai di paroki lalu kaget setengah mati: trotoar di depan gereja sekarang isinya dagangan ibu-ibu yang biasanya berjualan di dalam halaman gereja.
Tak tahunya halaman sedang ada renovasi, mungkin perluasan gedung, atau apalah - yang membuat luangnya yang tadinya dipakai berjualan ibu-ibu ini pagi tadi dipenuhi bahan dan barang bangunan.
Yang saya bayangkan ternyata kejadian begitu selesai misa: depan gereja yang biasanya macet sekarang macetnya lebih parah lagi. Chaotic traffic. Terrible banget. Dan orang-orang ini sehabis misa dengan santai jajan-jajan di atas trotoar yang luangnya habis dipakai jualan, bahkan sampai berdiri di jalanan. Diklaksoni mobil dan seperti gangguan pendengaran. Kepala saya pusing dengan klakson mobil yang bersahut-sahutan. Dan orang-orang ini asik jajan dan berjualan.
Saya paham orang butuh uang. Saya paham bekerja di gereja saja takkan menghasilkan banyak.
Saya kurang paham jika memang trotoar sepanjang lebar komplek gereja menjadi hak gereja seutuhnya hingga bisa dipakai sesukanya.
Saya hanya tak paham bagaimana pejalan kaki yang lain selain umat gereja bisa leluasa lewat. Saya tak paham bagaimana mereka tak merasa risih massanya tumpah ke jalan dan menghalangi kendaraan-kendaran hingga tersendat dan membangkitkan amarah. Saya tak paham bagaimana mereka merasa yang dilakukannya sah-sah saja?
Sudah begini pikiran saya memunculkan ingatan-ingatan penggalan Alkitab yang pernah saya baca (meski tak selesai satu kitab); kisah Yesus yang mengamuk di Bait Allah karena dijadikan tempat memperdagangkan "ibadah", atau bagian dimana Yesus menjawabi pertanyaan dengan kalimat, "Berikan pada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan pada Tuhan yang menjadi hak Tuhan", lalu bertanya-tanya apa yang ada di kepala orang-orang yang mengaku menjadikan Yesus sebagai panutan hidupnya ini.
Berulang kali ini hinggap di kepala saya: bahwa tentang yang transendental dan dilaksanakan secara hierarkis dan antroposentris ini (iya, agama), lebih sering menuntut pemakluman-pemakluman yang tak bisa saya pahami. Dan bukan sekali saya merasa bahwa yang minoritas (saya pun juga pernah - dan bagi sebagian orang - masih menjadi bagian dari yang minoritas itu) dalam kondisi minoritasny ini merasa berhak menuntut pengkhususan dan pemakluman. Pun yang mayoritas juga beberapa demikian.
Saya tak bicara tentang keseluruhan, hanya yang sebagian yang secara empiris saya rasai.
Saya tak bicara tentang keseluruhan, hanya yang sebagian yang secara empiris saya rasai.
Saya jadi bertanya-tanya, apa artinya toleransi?
Mungkin kita butuh Yesus turun sebentar lalu mengamuk di depan rumah-rumah ibadah sekali lagi.
0 comments