Selangkang dan Liang-Liang

4/22/2012 11:02:00 PM


possibellety, 2012.

Bu, aku pergi melacur malam ini.

Pagi tadi memang ada berita bahwa subsidi bahan bakar minyak akan dihapus. Juga Ningsih telah menyampaikan kabar lain, bahwa kartu kesehatan kita habis masa berlakunya. Bukankah Pak RT pernah bilang bahwa kartu ini menjamin kita seumur hidup? Tapi menurut Ningsih, Pak RT juga yang mengumumkan kartu ini hanya akan berlaku jika kita membayar perpanjangan.
Kita ini menjudi nyawa untuk menyambung nyawa, ya Bu? Dan kita menyambung nyawa supaya bisa menjudi nyawa lagi dengan bangun subuh setiap hari.



Tapi Ibu tak perlu khawatir. Ibu pasti sudah melihat bahwa aku semakin pandai berdandan sekarang. Itu berarti juga, aku semakin pandai mendandani orang. Ibu mau kuajari? Bu Adah bilang ia mau memperkerjakan kita di usaha rias pengantinnya kalau riasan kita sebagus kerjaan tangannya. Riasanku tentu saja sudah pasti lebih bagus daripada kerjaan tangannya: pengantin yang diriasnya hanya sedemikian jelas diingini oleh calon mempelai lelakinya saja seorang, sementara aku meriasi diriku sendiri dan bukan hanya seorang yang menaksir dan mempunyai ingin. Bu Adah harus bisa memperkerjakan aku, dan Ibu juga, setelah kuajarkan sebentar.

Barangkali Ibu akan mudah lelah. Tak apa, Bu, tak perlu ikut Bu Adah merias. Merias akan melelahkan dan resikonya akan besar jika Ibu sampai kelelahan ketika sedang merias. Kudengar Herni pernah didamprat di dapur waktu hajatan anak Pak Pardi hanya karena tatanan kepala yang salah beberapa lilitan.
Kalau begitu biar Ibu kubelikan mesin jahit yang baru. Nanti. Bulan depan. Jadi Ibu bisa bekerja ketika segar dan beristirahat dengan segera ketika lelah tanpa kontrak jam kerja dengan orang kaya. Benar. Ibu butuh menjahit lagi. Akan kubelikan mesin jahit yang baru. Sementara kusingkirkan dulu bon-bon yang kuselipkan di meja makan yang hanya kita pakai di akhir bulan sambil menghitungi hutang.
Ibu akan bekerja lagi.

Ibu tak perlu khawatir ketika kubilang Ibu akan bekerja. Aku ingin Ibu bekerja karena aku tahu Ibu ingin berkarya, bukan bekerja serupa aku mencari upah. Berkarya akan melelahkan, tapi tentu akan menghasilkan bahagia. Aku bekerja mencari upah pun juga kan untuk mencari bahagia, kan? Oh ya, itu berkarya juga namanya. Hasilnya: nasi sepiring lagi, daging seperempat kilo lagi, absen lauk ikan asin barang sehari.

Tapi berkarya yang bahagia seharusnya tak membuat aku membuka celana dalam dengan paksa. Kok upahku bergantung pada vagina dan buah dada?
Pak Mandor yang menahan amplop upah. Penjaga pabrik pura-pura tidak mendengar apa-apa, atau barangkali memang tak ada yang salah?
Apa hanya aku yang bertanya, Bu, apa hubungannya bekerja menjadi buruh dengan kedua tangan, mata, telinga, kaki, dan pikiran dengan harus berurusan harganya dengan selangkangan?

Dan pagi ini aku juga sempat berjumpa dengan Asih.
Ibu ingat Asih? Ia gadis manis yang dulu sering main denganku di dekat sumur belakang (tentu saja sebelum mulai diisi tiang-tiang untuk jalan tol seperti sekarang). Aku bertemu Asih di warung Bu Jenab. Asih cantik sekali. Ya, Asih yang itu, Bu. Asih, si gadis manis yang bikin naksir pemuda-pemuda yang usianya jauh di atas kami waktu sekolah dulu.
Tapi Asih sudah bukan gadis, Bu.
Tidak, Asih tidak menikah, tapi dia bisa jadi kaya. Ia baru pulang dari Hong Kong, naik taksi biru dan argonya, Bu, alamak! Seratus dua puluh delapan ribu tujuh lima puluh rupiah! Dan Asih bayar dengan bilang, "Kembaliannya buat Bapak saja", Bu!

Dia berbisik, "Tinggal mengangkang."

Aku bilang aku ingin ikut ia terbang kembali ke Hong Kong, tapi ia enggan membawaku ke sana. Ia bilang aku cantik, tapi katanya, "Kamu coba dulu saja mulai di sini. Dalam negeri. Banyak juga yang bisa kasih duit enggak sedikit. Di Hong Kong enggak segampang yang kamu bayangin juga." Kudengar, adiknya si Asih yang masih kelas 1 SMA, Rina, juga sudah memulai sejak SMP kelas 2. Asih yang promosikan. Penghasilannya lumayan, katanya. Bisa tambah uang jajan, dengan jajanan yang macam-macam juga.
Makanya aku hari ini berdandan dengan lebih cantik lagi, Bu. Lebih cantik daripada hasil riasan Bu Adah (dan harusnya juga lebih cantik daripada dandanan Asih).
Bukankah akan lebih adil ketimbang bekerja dengan anggota tubuh yang lain delapan jam sehari di pabrik lalu dibayar berdasar buah dada dan vagina? Kalau malam ini aku dibayar, pun karena memang buah dada dan vagina! Apa yang diberi, apa yang dibeli, tepat adanya!

Dan, Bu, aku pergi melacur malam ini.
Sepanjang perjalanan Asih bilang untuk tidak banyak tanya.
Dan kami sama-sama malu. Asih yang mengantarku ke kota, ke dalam kamar entah di penginapan mana. Sejak awal ia berkata, "Jangan banyak tanya. Kamu dan dia akan senggama, tapi tak usah tanya nama, asal muasal, atau apapun. Ia hanya ingin senggama tanpa orang lain tahu. Lagipula kamu kan baru pertama, pasti kamu juga malu, kan? Kalau sudah selesai jangan cakap apa-apa. Pura-pura tidak ada apa-apa. Ingat, kamu cuma selingan syahwatnya malam ini."
Dan aku takut sekali. Yang kuingat dua hal: wajahnyay familiar dan aku keceplosan bertanya, "Kerjamu apa?"
Dijawabinya, "Yang pasti gajiku bisa cukup membayarmu. Diam saja."
Suaranya khas: parau dan berat. Wajahnya kotak dan rahangnya lebar. Matanya berkantung tebal dan sanyu. Kulit wajahnya kasar dan banyak sisa jerawat. Tapi tubuhnya wangi sekali. Pasti ia jujur, bahwa ia kaya sekali dengan parfum wangi begitu.
Dan aku melayaninya. Aku dibayar atas vagina dan buah dada.
Aku akan pulang dan berpura tidak ada apa-apa.
Habis ini aku langsung berangkat ke pabrik dan bekerja lagi, terima upah bulan ini. Semoga tak disimpan di dalam celana Pak Mandor untuk kuambil dengan tanganku sendiri, karena dia tak membayarku untuk melayaninya. Esok pagi, Bu, kusimpan khusus untuk Ibu, biar cepat terbeli mesin jahit baru. Apa Ibu sudah sempat tidur selagi membaca ini?

*

Bu, sudah dengar?
Asih ditangkap. Apa namanya? Operasi penertiban?
Beruntung benar aku tak ikut-ikut dia sampai pagi. Tapi bukan itu, Bu, yang ingin kubilang.
Sepulang dari pabrik pagi ini ada ramai-ramai di kampung. Ternyata kampanye calon walikota sampai ke kampung kita lagi. Sudah dengan janji beras murah, sekolah gratis, dan lapangan pekerjaan, si calon yang ketutupan warga ini meneriakkan anti-kemaksiatan. Ternyata si Asih ketangkap ini karena ulah dia.
Begitu kumendekat ingin lihat tampangnya, copot jantungku, Bu.

Aku mendekat saja ke tempatnya berpidato dan kuteriaki keras-keras, "Pak, berhenti melacur di atas panggung!"
Semua orang diam. Si bapak calon walikota melihatku, melongo sebentar lalu teriak, "Kamu yang lacur!"
Risuh-risuh.
Lalu kutertawai saja sambil balas teriak, "Tapi Bapak pelanggan pertama saya, kan!"
Aku tidak berbohong, Bu, tapi orang-orang ini hanya diam sebentar dan menatap dengan lalu.
Sementara pidato-pidato tentang ASI, harga sayur, susu, dan minyak naik lagi ke panggung, "Atas nama norma dan derajat kemanusiaan!" slogannya.

Bu, aku pergi melacur malam tadi. Bapak di panggung ini pergi melacur sepanjang hari.
Sebentar aku menabung lagi untuk mesin jahitmu yang baru. Aku boleh pergi mengangkang lagi?


2012

You Might Also Like

1 comments

followers

Subscribe