#fragmen: perihal rasa, puisi, desain grafis
4/24/2012 03:34:00 AMpossibellety. 2012 |
baik, singkat saja. tercetuskan waktu tadi ngobrol sebentar sama arkan tentang sajak-sajak cinta, melanjutkan tweet omelan saya kemarin malam:
tentang akun-akun penyair cyber yang tweet kesehariannya seringkali sexist (sampai akhirnya saya unfollow).
saat itu juga jadi ingat andri yang pernah memaparkan para penyair salon (meminjam istilah dari rendra dari 'sajak sebatang lisong') yang sajaknya mengumbar metafora selangit yang ujung-ujungnya buat gombalin perempuan; hingga kemudian memunculkan asumsi saya bahwa jangan-jangan sexism dalam tweet kesehariannya terbentuk dari kecenderungan menjadikan perempuan sekedar jadi obyek dalam sajaknya.
saya suka sajak cinta yang manis, tanpa harus terus meneriakkan "ini cinta! dengar, ini cinta!" lewat metafora yang tumpah ruah. @hurufkecil, misalnya. begitu manis. (gunawan maryanto juga tetap favorit saya).
saya percaya bahwa ketika seseorang mengatakan "ini cinta!" ia tak sedang mengatakan cinta. terus terang saja.
serupa saya menulis sebuah puisi seperti di bawah ini:
dan saya baru sadari tadi; bahwa membaca sajak-sajak bagi saya seperti sedang mempersepsikan karya visual (atau menyinestesikannya dalam kepala, kalau saya) : form yang ini mempersepsikan konten apa dan dalam konteks apa? dan bagaimana form itu diformulasikan?
jika dalam desain grafis, desainer 'bekerja' pada form untuk membangun persepsi untuk fungsi tertentu, tidakkah dalam menulis sajak si penyair juga bekerja pada form untuk membangun persepsi atas konten dalam konteks tertentu juga? toh ketika desain grafis berangkat dari konten (content-driven), form yang digunakan "biasa saja" namun tak jarang kontennya bisa menggugah? tengok visual-visual iklan yang begitu sederhana formnya namun kontennya kuat tersampaikan. serupa ketika saya membaca wiji thukul:
sampai di sini saya jadi terpikirkan:
bukankah sajak yang "baik" adalah sajak yang bisa memilih? memilih, sebagaimana dalam desain grafis: memilih mana yang mau diisi dan mana yang tak mau diisi, mana yang perlu diisi dan mana yang tak perlu diisi, juga memilih bagaimana ia perlu diisi dan tak perlu diisi.
andaikan begini: saya punya koleksi banyak elemen visual yang 'bagus' seperti shape, image, line, warna yang bagus-bagus. kesemuanya. tapi kemudian ketika saya akan mengkomposisi sebuah karya visual, apakah estetik jadinya ketika semuanya saya masukkan dalam karya visual saya?
jika saya menulis puisi dan memiliki stok metafora dalam kepala saya - yang banyak sekali - apakah akan saya masukkan semuanya?
pun jika saya akan memasukkan semua elemen visual yang bagus itu, tentu saya akan memilih: bagian mana yang akan saya isi elemen yang apa, bagian mana yang tak perlu saya isikan elemen apa-apa. penyusunan yang dimaksudkan.
bisa saja kita menengok sajak-sajak prismatis afrizal malna yang penuh dengan metafora: tentu ada penyusunan yang dimaksudkan disana; bukan sekedar "mari masukkan semua yang bagus ini menjadi satu agar karya ini sangat bagus sekali jadinya."
bukankah puisi yang memasukkan semua metafora yang bagus tidak akan menjadi bagus?
atau seperti dalam periklanan: seluruh bagian karya visualnya jualan seperti di pasar, hingga tak ada lagi yang membuat kita ingin mendengarkan.
akan tetapi, tentu saja, berpuisi adalah berkesenian; dan mendesain tak bisa sepenuhnya serupa dengan seni yang didominasi subyektivitas tersebut kan?
jadi barangkali memang, sampai di sini saya harus bilang bahwa penikmat yang baik adalah penikmat yang bisa memilih, memilih puisi mana yang perlu dibaca, dirasa, dan disimpan; dan puisi mana yang tak perlu kita percaya baik adanya. (serupa audiens desain grafis pun juga akan memilih grafis mana yang perlu dilihat, dan mana yang perlu dipikirkan persepsi yang ditangkapnya).
tentang akun-akun penyair cyber yang tweet kesehariannya seringkali sexist (sampai akhirnya saya unfollow).
saat itu juga jadi ingat andri yang pernah memaparkan para penyair salon (meminjam istilah dari rendra dari 'sajak sebatang lisong') yang sajaknya mengumbar metafora selangit yang ujung-ujungnya buat gombalin perempuan; hingga kemudian memunculkan asumsi saya bahwa jangan-jangan sexism dalam tweet kesehariannya terbentuk dari kecenderungan menjadikan perempuan sekedar jadi obyek dalam sajaknya.
saya suka sajak cinta yang manis, tanpa harus terus meneriakkan "ini cinta! dengar, ini cinta!" lewat metafora yang tumpah ruah. @hurufkecil, misalnya. begitu manis. (gunawan maryanto juga tetap favorit saya).
saya percaya bahwa ketika seseorang mengatakan "ini cinta!" ia tak sedang mengatakan cinta. terus terang saja.
serupa saya menulis sebuah puisi seperti di bawah ini:
ini sajak cintamencintai macam apa yang saya agungkan dalam puisi di atas? mencin-tai.
untukmu yang kucinta,
dengar aku,
ini adalah sajak cinta
dan kau boleh saja tak percaya
tapi aku mengagungkan cinta!
pada lidah,
pada mata,
pada dada,
pada segala rasa.
juga pada sentuhan penuh desah,
panggutan dan remas payudara:
sumpah,
ini sajak, sajak cinta!
kucicip kopi di kala senja
dan kutulis ini sajak cinta
kusimpan desah pada rindu yang gelisah
dan segala birahi yang mengangkasa:
aku jatuh cinta!
sumpah, ini sajak, sajak cinta.
kutulis untuk kamu yang kucinta,
karena aku mencintaimu.
dan kukirim pada kurasi maya
biar dunia tahu aku pandai mencinta
kubuktikan dengan sastra
bahwa aku
mencin-tai-mu.
(2012)
dan saya baru sadari tadi; bahwa membaca sajak-sajak bagi saya seperti sedang mempersepsikan karya visual (atau menyinestesikannya dalam kepala, kalau saya) : form yang ini mempersepsikan konten apa dan dalam konteks apa? dan bagaimana form itu diformulasikan?
jika dalam desain grafis, desainer 'bekerja' pada form untuk membangun persepsi untuk fungsi tertentu, tidakkah dalam menulis sajak si penyair juga bekerja pada form untuk membangun persepsi atas konten dalam konteks tertentu juga? toh ketika desain grafis berangkat dari konten (content-driven), form yang digunakan "biasa saja" namun tak jarang kontennya bisa menggugah? tengok visual-visual iklan yang begitu sederhana formnya namun kontennya kuat tersampaikan. serupa ketika saya membaca wiji thukul:
/ Akhirnya kami bertanya / Mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat / padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam / Mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh untuk menyekolahkan anak-anaknya / Padahal mereka tiap hari menghasilkan berton-ton barang /
(Teka-Teki yang Ganjil, Wiji Thukul, 1993)dengan membaca sutardji calzoum bahri:
/ Hey kau dengar mantraku / Kau dengan kucing memanggil-Mu / Izukalizu / Papakazaba itasali / Tutulita / Apaliko aruka bazaku kodega zuzukalibu //wiji thukul berbicara tentang pesan (content-driven), sutardji bicara tentang formula (form-driven). keduanya sama "baik" bagi saya untuk membacanya, dan jika saya sinetesikan dalam kepala saya: keduanya akan sama nyamannya bagi penglihatan saya.
(Amuk, Sutardji Calzoum Bahri)
sampai di sini saya jadi terpikirkan:
bukankah sajak yang "baik" adalah sajak yang bisa memilih? memilih, sebagaimana dalam desain grafis: memilih mana yang mau diisi dan mana yang tak mau diisi, mana yang perlu diisi dan mana yang tak perlu diisi, juga memilih bagaimana ia perlu diisi dan tak perlu diisi.
andaikan begini: saya punya koleksi banyak elemen visual yang 'bagus' seperti shape, image, line, warna yang bagus-bagus. kesemuanya. tapi kemudian ketika saya akan mengkomposisi sebuah karya visual, apakah estetik jadinya ketika semuanya saya masukkan dalam karya visual saya?
jika saya menulis puisi dan memiliki stok metafora dalam kepala saya - yang banyak sekali - apakah akan saya masukkan semuanya?
pun jika saya akan memasukkan semua elemen visual yang bagus itu, tentu saya akan memilih: bagian mana yang akan saya isi elemen yang apa, bagian mana yang tak perlu saya isikan elemen apa-apa. penyusunan yang dimaksudkan.
bisa saja kita menengok sajak-sajak prismatis afrizal malna yang penuh dengan metafora: tentu ada penyusunan yang dimaksudkan disana; bukan sekedar "mari masukkan semua yang bagus ini menjadi satu agar karya ini sangat bagus sekali jadinya."
bukankah puisi yang memasukkan semua metafora yang bagus tidak akan menjadi bagus?
atau seperti dalam periklanan: seluruh bagian karya visualnya jualan seperti di pasar, hingga tak ada lagi yang membuat kita ingin mendengarkan.
akan tetapi, tentu saja, berpuisi adalah berkesenian; dan mendesain tak bisa sepenuhnya serupa dengan seni yang didominasi subyektivitas tersebut kan?
jadi barangkali memang, sampai di sini saya harus bilang bahwa penikmat yang baik adalah penikmat yang bisa memilih, memilih puisi mana yang perlu dibaca, dirasa, dan disimpan; dan puisi mana yang tak perlu kita percaya baik adanya. (serupa audiens desain grafis pun juga akan memilih grafis mana yang perlu dilihat, dan mana yang perlu dipikirkan persepsi yang ditangkapnya).
0 comments