Pak, Di Matamu Ada Air Terjun
1/17/2012 09:45:00 AMAda seribu kupu-kupu,
Pak. Seribu kupu-kupu, bukan hanya satu. Bisakah Bapak bayangkan rasanya? Aku
menyaksikan seribu kupu-kupu hitam terbang keluar jendela. Sayang jendela di
tempatku terlalu tinggi untuk digapai lewat juluran tangan mesti ditopang kaki
yang berjingkatan.
Rasanya manis luar biasa,
Pak. Dan aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.
Kira-kira pukul 2 selepas
tengah malam ketika aku dengan peluh dan lusuh terjaga dari mimpi kejaran anak
harimau di perkampungan, aku mendengar bunyi derat di bawah tempat tidurku.
Seperti bunyi-bunyian besi yang tersangkuti gempal-gempal yang memaksa keluar.
Aku tidak berani menengok ke kolong, Pak. Aku selalu ingat cerita makhluk
rombeng yang akan memakan anak-anak nakal dengan memunculkan kepala berlidah
ular dari kolong kasur mereka. Untuk pertama kalinya di kamar ini aku ingat
kau, Pak. Dan aku ingat mereka meneriakiku anak nakal. Makanya mereka
mengusirku dari rumahmu, Pak. Makanya aku tidak berani menengok ke kolong.
Sementara suara besi itu
semakin mengangguku. Tempat tidurku bergetar.
Pak, aku selalu ingat
ketika aku menemani ibu mencari kayu bakar di hutan. Aku kelelahan dan ibu
terpaksa berjalan lambat. Kita di hutan hingga gelap. Aku ingat, Pak, sepasang tangan-tangan
kasar berbicara tanpa kata, kau boleh
memejamkan matamu bila kau takut pada suara-suara yang tak kau tahu dari mana
dan dari apa asalnya. Usiaku sekarang dua puluh empat, Pak. Apakah aku
masih boleh memejamkan mata karena ketakutan? Pak, kau tidak pernah menjawab
apakah anak laki-laki boleh ketakutan. Kau tidak pernah menjawab. Tapi mereka
bilang, pejamkan mata. Maka aku memejamkan mata.
Aku mendengar suara detak
pendulum. Begitu jauh.
Aku melihat hitam kelopak
mata dari dalam dan ranai pendulum yang entah dimana letaknya. Aku kembali pada
masa kecil. Aku bisa mencium bau kotoran sapi yang melekat di kausku dan
kuku-kuku kaki yang lepas tertinggal di lumpur yang lengket. Aku ingin kembali
pada guyuran air timba yang diiriingi omelan ibu. Aku juga ingat bau hujan dan
tanah yang basah, juga bau luapan sungai yang menampar-nampari batu. Aku bisa
mendengar suara loncatan katak, hanya sejengkal dari telinga.
Tidak ada damai dari memejamkan
mata, Pak. Pejaman mata hanya mesin proyeksi hantu masa lalu. Dan ia tidak
mengubah apa-apa: suara derat di bawah kolong kasur masih terdengar dan makin
menakutkan. Lalu suara ibu begitu tegas di sanggurdi, “Laki-laki harus tahu
caranya berdoa.”
Tapi, Pak, aku masih
tidak tahu bagaimana caranya berdoa.
Aku hanya bisa memejamkan
mata lebih lama. Yang kusaksikan dari ibu yang berdoa hanya ia memejamkan mata
begitu lama. Tanpa suara. Tanpa mimik muka untuk kuterka. Dan ia bilang ia berdoa,
Pak. Apakah dengan aku sekarang memejamkan mata lebih lama maka aku sedang
berdoa?
Apakah doa hanya mesin
pemanggil hantu-hantu masa lalu, Pak? Apakah doa hanya mesin longsong peluru
atas rindu yang telah kukubur di pagi yang bisu? Apakah doa hanya untuk mereka
yang berpura-pura dungu? Pak, aku sudah memejamkan mata terlalu lama, namun doa
tidak mengubah apa-apa. Apakah karena aku tak berkata apa-apa dalam doa? Apa
yang harus kukatakan dalam doa?
Pak, aku masih tidak tahu
bagaimana caranya berdoa.
Ranjangku bergetar semakin
hebat. Semakin cepat pula suara-suara setan masa lalu itu berteriakan di
telinga. Dan mataku yang terpejam hanya menahan lelah dari montase-montase yang
berguliran terlalu cepat mengisi hitam kelopak : bayi yang melempari mangkuk
besi, anak laki-laki yang membakar serbet dapur, anak laki-laki yang melempari
kepala kawannya dengan batu, remaja laki-laki yang menggerami paksa selaput
dara kawannya, remaja laki-laki yang meninju bapak tua, hingga pada laki-laki
yang tak kunjung dewasa menggenggam pisau dan berteriak kesetanan
menghujamkannya pada tubuh yang terbaring di lantai………
Kenapa doa hanya
menayangkan rekaman diriku sendiri, Pak? Sialan benar.
Ah. Masih ada yang lebih
sialan: kekosongan yang direnggut kamar
ini, Pak.
Jauh merenggut ke dalam
liang tubuhku yang tak pernah siapa pun sentuh. Barangkali aku butuh ibu
sekarang, Pak. Aku ingin bertemu. Tapi ada sebuah suara di dalam kepala yang
berkata, kunjungan sore kemarin adalah yang terakhir. Aku sudah cukup bertemu
ibu. Dan sebuah suara yang lain berkata, Pak, aku merindukan yang lain selain
ibu. Bukan, bukan perempuan yang pernah kunikmati. Bukan juga beberapa botol
kawan yang kusembunyikan di sudut kamar.
Aku masih bertanya
tentang siapa aku ingin bertemu, tapi aku keburu berguling dari tempat tidurku yang terlempar.
Astaga, Pak! Ada begitu
banyak kupu-kupu menyeruak terbang dari kolong kasurku! Tidak ada makhluk rombeng
yang akan memakanku, Pak! Hanya seribu kupu-kupu hitam yang cantik sekali!
Seribu, Pak! Kepakan sayapnya bising namun merdu. Mereka mengajakku ikut
terbang ke luar jendela, Pak! Tapi jendelaku terlalu tinggi. Pak! Bantu aku
menggapai jendela! Aku ingin ikut seribu kupu-kupu terbang ke langit hitam,
Pak! Pak! Apakah ini yang disebut doa?
Bau darah, bau alkohol,
bau tangisan, bau tanah, bau lumpur, bau bubur bayi, bau rokok, bau kulit -
semua bau naik ke udara, Pak! Udaraku penuh oleh bau-bau masa lalu, Pak! Dan
bau darah yang paling nyata, Pak! Dan merahnya menyala….. Astaga! Dan ada kau,
Pak, di kamarku! Bagaimana bisa?
Apakah ini yang disebut
doa, Pak?!
Pak, pasti ada lebih dari
seribu kupu-kupu. Seperti tidak habis kepakannya mengisi kamarku, penuh. Terus
terbang dan mengisi kamar, berdesakan. Beberapa sayap hitamnya menghalangi
hidungku, Pak, juga mulutku. Dan aku lihat kau, Pak. Di sana, di sudut ruangan.
Bersama bau darah yang terlalu nyata. Hanya nafasku yang semakin habis dibawa
terbang seribu kupu-kupu hitam keluar jendela. Aku melihat kau di sudut
ruangan, tak tersentuh seribu kupu-kupu.
Pak, di matamu ada air
terjun.
Mengapa, Pak? Apakah ini
yang disebut doa? Di kakiku nyata merah darah. Air terjun di matamu terlalu
deras dan aku tak mampu menampungnya. Aku habis terseret kupu-kupu hitam ke
jendela.
Pak, air terjun di matamu
semakin deras, bersama nafasku yang habis bersama seribu kupu-kupu. Ringan
sekali, Pak. Pasti ini, kan, Pak, yang disebut berdoa?
Dan aku hanya bisa
mencium bau darah. Juga teriakan sipir di ujung lorong penjara, “TAHANAN NOMOR
047 MENCOBA BUNUH DIRI DI SEL!”
Pak, aku paham sekarang..Aku
kangen sekali kembali memanggilmu Tuhan.
Dan seribu kupu-kupu telah
membawa kerat oksigenku lepas di udara. Untuk apa air terjun di matamu itu,
Pak?
2012
{writing session club. 17 januari 2012 / kangen. }
1 comments
:)
ReplyDelete