tentang visi, tentang menjadi
11/15/2011 06:08:00 AMseperti apa kamu ingin menjadi? siapa kamu ingin menjadi? terlalu banyak yang ingin kita cari. catatkan berapa banyak jenis cita-cita yang kita lafalkan sedari pijakan perdana kita di bangku sekolah hingga menjadi mahasiswa? desainer, arsitek, insinyur, psikolog, jurnalis, penulis, kriminolog, sastrawan...
rasanya masih terlalu lekat pikiran-pikiran di sekolah dasar, membayangkan diri sendiri mengenakan rok sepan warna biru, kemudian mulai menjadi seseorang dengan rok sekolah menengah atas yang abu-abunya lebih mirip warna telur asin. betapa tergesanya waktu, betapa tidak siapnya jiwa secara menyeluruh.
siapa kamu ingin menjadi? - saya bertanya pada diri saya sendiri.
beberapa kali saya berkesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan dan organisasi di institusi pendidikan tempat saya belajar (sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, universitas), dan kesemuanya menyampaikan hal yang sama tentang salah satu persiapan menuju keberhasilan: penggambaran visi yang jelas, dalam jangka waktu yang tidak singkat. suatu pandangan jauh ke depan. bukan sekedar untuk besok, minggu depan, bulan depan. mungkin lima, sepuluh, atau dua puluh tahun ke depan.
dan apakah hanya saya yang oleh karena itu termunculkan rasa ketakutan?
"sudah dipikirkan, bagaimana nanti kalau sudah pensiun?" - tanya seorang pembicara di pelatihan beberapa minggu kemarin. pensiun. menjadi tua. tidak pernah saya bayangkan kehidupan untuk sampai ke sana.
tiba-tiba saja saya merasa seperti seorang yang tidak pernah bisa beranjak dewasa dengan bersikukuh dengan kepercayaan bahwa kehidupan yang paling bahagia adalah yang kita hidupi sepenuhnya, kemudian mati muda. itu jika saya memang diijinkan mati muda, menyusul Chairil atau Gie mungkin, menjelang usia 27. jika diijinkan. tapi bagaimana jika tidak? jika ternyata nasib membawa saya pada usia tua dengan tetap bertahan pada persepsi bahwa saya sebaiknya mati muda?
yang lebih menyedihkan daripada menjadi tua adalah diam-diam menjadi tua tanpa persiapan apa-apa.
tapi toh akhirnya sampai saat ini, saya menjadi "tua", dengan kondisi yang sebelumnya adalah ketidakpastian: menjadi mahasiswi desain dengan saya yang sekarang, bukan yang ditentukan pada usia-usia sebelumnya.
seseorang (atau dua, atau tiga orang) kawan dari sekolah menengah pernah bilang, mungkin saya akan menjadi aktivis ketika saya mahasiswa. "jangan ikut senat / BEM. jangan pernah ikut demonstrasi." itu pesannya, seolah mengkhawatirkan bagaimana saya akan menjadi. dan sekarang saya mahasiswi. tidak, saya tidak turun ke jalan. terobsesi pada Soe Hok Gie dari usia 13 tidak serta merta menyeret saya untuk berorasi di jalan. pun juga tidak membawa saya berorasi dengan semangat propaganda di organisasi kemahasiswaan.
saya hanya sekedar ingin menjadi apa yang nurani saya arahkan saya untuk menjadi.
lantas apa yang harus dipikirkan pada masa kini?
usia saya telah dua puluh tahun, dan masa depan masih terlalu buyar.
beberapa kali muncul bayangan-bayangan acak, mungkin saya menjadi relawan di daerah yang tidak saya kenal, atau sekedar bekerja di belakang layar - menulis manifesto-manifesto anonim, menyusun skrip film-film humanisme, sebumbu propaganda, berkampanye tentang perempuan. agak lucu, mungkin. tapi katanya, munculnya keinginan semacam itu bukan secara utuh sebuah kebetulan, kan? mungkin kita bisa minta penjelasannya pada Freud.
dua tahun lagi saya wisuda. setelahnya apa?
saya bilang, saya ingin mendaftar Indonesia Mengajar begitu tali toga tersampirkan. "buat apa?" tanya seorang teman. saya memang ingin mengajar. bahkan cita-cita saya sekarang adalah menjadi dosen. institusi pendidikan membutuhkan lebih banyak dosen kompeten, dan itu yang ingin saya kejar.
saya ingin mengejar gelar M.Hum. "buat apa? tidak ada hubungannya dengan desain," tanya seorang teman. ada, ada hubungannya. studi desain adalah studi universal, menurut saya. ilmu desain adalah ilmu yang "menjawa semua" persoalan inter-disiplin-ilmu. desain menjawab persoalan manusia, dan saya ingin memberikan sesuatu pada manusia untuk bisa lebih memanusiakan manusia, dan akan lebih maksimal saya lakukan dengan memahami manusia lewat studi humaniora. "kamu mau jadi filsuf? hati-hati nanti kamu gila." - ah, hanya mereka yang tidak berani mencari kebenarannya orang gila yang sesungguhnya.
lantas kemudian, apa? bekerja?
saya selalu mengalihkan pikiran saya dari bayangan saya yang harus secara rutin datang ke kantor, duduk di belakang meja hingga hari sore. definisi kerja bukan hanya itu. saya selalu membayangkan diri saya menjadi pekerja sosial, yang akan membawa saya pada lingkungan yang berbeda-beda, manusia yang penuh warna. dan itu masih menjadi cita-cita. dan itu tetap disebut "bekerja", berkarya, menghasilkan sesuatu yang ada guna untuk manusia.
tidak, keilmuan desain saya tidak akan sia-sia. menjadi desainer bukan sekedar menjadi operator pelaksana Adobe. menjadi desainer lebih dari itu. dan itu adalah bagaimana saya ingin menjadi.
betapa singkatnya cita-cita. saya tidak pernah membayangkan diri saya pada usia tua menggendong cucu. for some reasons, for some people marriage is such a major fault, and somehow i think i'm one of those 'some people'. mungkin kemudian saya akan menjadi tua dan hidup sendirian (dan itu menakutkan), tapi mungkin saja memang diijinkan untuk mati muda setelah mengejar cita-cita - atau setidaknya, sekedar membahagiakan orang tua dan melakukan sesuatu untuk manusia.
memang benar kata Sartre, kita ini terkutuk untuk menjadi bebas; dan saya ingin terus di sana - di konsep kebebasan yang berhakikatkan tanggung jawab. untuk hidup -mungkin absurd- tapi akan terus dihidupi untuk mencari makna eksistensi diri kita sendiri. untuk mencari, menjadi. (dan untuk terus belajar, dan berbagi.)
ah, saat ini pukul 6 pagi di hari selasa, dan saya tidak paham mengapa pikiran-pikiran seperti ini muncul jauh lebih berisik dibanding biasanya, di dalam kepala. kemudian bercokol di sana lagi, entah di hati atau dalam sinapsis-sinapsis syaraf otak: that existential anxiety, dan entah kapan dia akan pergi.
2 comments
."when i was 5 years old, my mother always told me that happiness was the key to life. when i went to school, they asked me what i wanted to be when i grew up. i wrote down 'happy'. they told me i didn't understand the assignment. and so i told them they didn't understand life..." - john lennon
ReplyDeletetake 'carpe diem' as an example ;) all you gotta do is stay happy...
good luck for your future then :)
ReplyDelete