­

surat botol beling

10/10/2011 11:32:00 AM

Apa yang kau tahu tentang sepi, Dirga? Kasut kanan yang bersembunyi di balik pintu? Potongan kapur sepanjang satu senti di belakang papan tulis? Kita tidak sedang membicarakan tiupan-tiupan lilin di akhir lampu padam, juga bukan sedang berbicara tentang tik-tik pada bingkai jendela berlumut dan lebam. Hanya sebuah sepi, Dirga. Hanya sebuah sepi. Dan sepi, lama kita bagi sendiri.

Empat purnama, Dirga. Aku menghitungi debu kosmik yang melekat di ujung pipimu. Seharusnya kecupan, tapi bukan demikian serpih aku desimalkan. Hanya kusulam, sebentar, rangkai lalu pejal: sebuah selimut rindu. Seprai hanya bicara tentang rengkuh tubuh, mungkin saja kita, yang sesekali telanjang. Namun pikiran-pikiran kita, Dirga, telah sama keruhnya, tetap sama mengikrari lajang. Lajang, Dirga, dan bukan hanya sekali berubah jalang.

Mungkin memang kita bersentuhan. Lama kita menyambuti subuh yang sebenarnya, hanya datang mengikut. Seperti desah yang kita bagi sepanjang nafas dan peluh kita bertukaran: hanya gema dari nyanyian-nyanyian abu-abu di dalam kepala tentang lekuk tubuh. Ia lekat, pada telapak-telapak tangan yang basah, yang entah ingin menggumamkan apa. Hanya gemanya yang terceceri di bawah selimut. Hanya gemanya yang kita penatkan di belakang tirai. Sementara ia bermula, kita sesakkan di bawah bantal; mungkin sebuah kisah nafsu yang sudah lama kumal.

Katakan, Dirga, apa yang kau tahu tentang sepi? Sepi bukan petikan-petikan gitarmu di dini hari bersama cangkir kopi yang kau seduhi sendiri. Sepi juga bukan rokok menthol terakhirmu, biar kausimpan putih abunya. Mungkin saja potongan kertas di bawah asbak. Atau mungkin yang di depan lemari pendingin. Atau mungkin, di dalam botol belingmu yang lama kosong, yang rapih terjajar di sebelah pakaian kotormu yang berbau kejenuhan. Berbicara tentang sentuhan dari jari-jarimu, mereka mengenakan kulit yang lebih halus mungkin. Tapi apa artinya, membagi sentuhan pada ilusi sepekat bayangan?

Yang kau genggam sekarang, lembaran ini, kutulis selagi sebuah renungan panjang memaksa singgah di sebuah saku kemeja di lemari tua di kamar belakang. Tapi ini bukan sepi yang kubagi, Dirga. Bukan doa dan bukan mantera. Hanya sisa rokokmu yang mengudara bersama potongan-potongan waktu tanpa harga yang tak pernah kita bahasakan dalam kata. Bahkan ciuman-ciuman panjang yang lama kita buang kenangnya, tidak pernah menyisakan cerita.

Hanya tegukan.
Kau bicara tentang kejujuran di hadapan alkohol di botol beling. Kepadaku, kau bicara tentang senggama - dipupuri cerita rindu yang kering.
Botol beling hanya membagi sisipan pertanyaan tentang sepi yang terbagi dalam puing. Ini, sedang kau baca sendiri. Hanya debu kosmik di ujung pipimu yang kuhitungi dengan kecupan yang mengasing.

Detik adalah luput doa-doa yang berpalung.
Katakan, apa yang kau tahu tentang sepi, Dirga?
Kau tidak perlu balik bertanya tentang apa yang kutahu tentang sepi.
Aku tidak pernah balik bertanya perihal wewangian yang melekat di kemejamu selepas teror panjang tanda tanyamu terhadap wewangian yang melekat di mantelku. Aku bahkan tak pernah balik bertanya tentang apa-apa yang telah sofa biru kita saksikan selagi salah satu dari kita tidak di rumah.

Mungkin saja sepi hanyalah pertanyaan-pertanyaan berulang yang kita lempar tanpa sabar, tanpa sadar, tanpa dasar. Tanpa tulang. Tanpa sisa ruang. Hanya panjang dan berulang dan tak sampai pada kenyang.
Seperti sebuah, "Hai" disambut "Hai",
"Sudah pulang?" "Sudah pulang."
"Bagaimana kantor? Baik?" "Kantor baik. Bagaimana rumah? Baik?"
"Selamat malam, Sayang." "Selamat malam, Sayang."
Lalu sudah. Sebuah kecupan. Lalu lagi, sebuah kecupan berbalasan. Hanya demikian.

Sepi lama kita simpan sendiri, Dirga. Aku, pada puisi. Kau, pada bening botol beling.
Aku ingin membagi sepi dalam puisi, kusisipkan dalam botol beling di pinggir kasur; biar sepi berkeping juga dalam sepimu di botol beling. Tangkup, mungkin luput. Tapi sepi harus dibagi.

Kurasa sepi yang kupertanyakan, Dirga, sebenarnya sederhana.
Sepi bukan puisi dan bukan janji. Bukan tidak ada apa-apa lagi,
tapi memang tidak pernah ada apa-apa untuk kita bagi.

Kau tahu, Dirga,
sepi adalah tujuh tahun pernikahan yang hanya sempat kita bagi
di batas lingkar jari manis kita
sendiri-sendiri.


2011

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe