s(e)pi-ritual

10/17/2011 12:07:00 AM

Gak bisa diskon, nih, Tuhan?
water color & ink on paper
possibellety 2011

mungkin kita sudah terlalu terbiasa mengartikan segala kejadian di dalam kitab suci melulu hanya bisa dikorelasikan dengan masa kini semata melalui pemaknaan analogi. padahal seharusnya, sesekali kita bisa menilik balik kejadian di dalam era waktu kehidupan Yesus dengan apa yang terjadi di masa kini, yang sebenarnya, masih sangat relevan jika diartikan secara harafiah.


kisah Yesus mengamuk di Bait Allah salah satunya. Yesus memporakporandakan meja-meja dan gerobak dagangan dan melepaskan hewan-hewan yang diperdagangkan karena telah menjadikan bait Allah seperti sarang penyamun. ya di masa sekarang ini memang tidak akan serelevan masa itu ketika hewan-hewan dan meja pertukaran uang berjejer di depan rumah ibadah. tapi bagaimana dengan para pedagang makanan yang mengisi trotoar jalan sehingga jemaat dan masyarakat umum harus turun ke jalan raya yang sempit dan alhasil tidak pernah tidak macet setiap bubaran misa? setiap minggu semakin risih saya pribadi melihatnya. belum lagi melihat para jemaat dengan wajah-wajah masa bodo.
kadang saya merasa, ketika kita memiliki kesadaran akan keminoritasan, kita malah cenderung untuk menuntut privilege yang lama-lama merosot menjadi eksklusivitas tanpa disadari.

mungkin terdengarnya noble sekali, untuk mensejahterakan saudara sesama sehingga mereka dipersilahkan mencari nafkah. bagaimana kalau kita ganti saja, dengan para pedagang liar yang sama-sama berjualan di trotoar yang menjadi hak pejalan kaki; toh mereka sama-sama menginginkan kesejahteraan lewat berdagang juga kan? apa bisa dibenarkan dengan alasan "membantu sesama"? memang kadang orang bisa baik tapi tidak benar (pun orang benar tidak selamanya baik).

dan lucunya adalah, pemandangan penjajahan atas trotoar dan jalanan umum jadi semakin memuakkan pasca ajaran misa minggu ini: ajakan untuk menjadi warga gereja sekaligus warga negara yang baik lewat kisah Yesus yang ditanyakan perihal memberi pajak untuk Kaisar. "Berilah apa yang menjadi hak Kaisar dan berilah apa yang menjadi hak Allah" - kurang lebih Yesus menjawab demikian. kontradiksi yang tidak pernah selesai (atau memang tidak pernah disadari sehingga akan ada abadi?)

mungkin saya saja yang patetik, yang tidak pernah melewatkan misa setiap minggu hanya untuk pulang membawa kritikan yang tak pernah sampai. kapan-kapan harus bicara dengan pengurusnya, mungkin, dan jika memang perlu.

tiba-tiba jadi ingat ketika dosen pembangunan karakter III yang semester ini membahas kecerdasan spiritual menanyakan agama saya di kelas. saya jawabi saya katolik, formalis (dilanjutkan dalam hati); tapi kemudian diberondong pertanyaan tentang bagaimana saya meningkatkan kecerdasan spiritual saya sebagai seorang katolik. "gereja tiap minggu?" "rosario?" "doa pagi?" "doa malam?"
menyedihkan ketika kualitas seseorang hanya bersandar pada kecerdasan spiritual yang dinilainya pun melulu dari rajinnya melakukan ritual. ingin sekali menjawabi, "pak, dengar. saya pernah pelayanan, menjadi putri sakristi, kerja bakti membersihkan gereja, menjadi lektris, pengurus organisasi keagamaan divisi doa, pernah menjabat seksi rohani di osis smp, memberikan ceramah rosario, menghapal ini dan itu." tapi toh tidak pernah menjamin kecerdasan spiritual saya.

menyedihkan sekali jika mengungkung diri dengan pandangan bahwa menjadi cerdas secara spiritual hanya diukur begitu, tapi memang demikian kan yang sering terjadi di antara mereka yang vokal tentang identitas keagamaannya?
absurd memang, jika spiritual terbatas hanya pada ritual tapi jiwa dan pikirannya tidak bisa berintegrasi.
malah rasanya menjadi antroposentris justru membuat saya merasa lebih baik-baik saja, dan bisa dipertanggungjawabkan sebagai hakikat kebebasan saya sebagai manusia.

tapi katanya iman tidak perlu dipertanyakan? ah sudahlah, suka-suka.
selamat memaknai dengan waras arti menjadi warga gereja sekaligus warga negara yang baik.
salam sejahtera bagi kita semua.



You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe