­

titik nol

8/12/2011 09:32:00 AM



dengar kisah lama yang sembab untuk diakui?
hidup penyair adalah jumput-jumput gelisah dalam tubuh yang mati
yang jiwanya bernapasan sepanjang serabaan agoni:
demikian tak terbahasa jeratan manis nihili

opsinya untuk berpulang di angka eksistensi dini
atau menjengkal hidup dangkal yang kosong dan nyaris kekal dalam sepi.
Aku ingin tak beropsi,
harga mati menyerang balik keinginan hidup abadi :
setelah tak dilahirkan, mati muda adalah nasib terbaik kedua - aku enggan bermetafora
semacam mencari jalan pada Chairil atau Soe pada usia dua puluh tujuh

mungkin semacam ilusi optikal,
kuderetkan cekung senyumanan atas aksara yang bengal:
yang kau lampirkan sajak hanya sebuah subyek persona dalam aksara
tentang liar kepala yang memang tak pernah terjamah indera dimensi rupa
karena jiwaku pengembara, dan untuk jadi ilalang yang lepas dari kekang
meminta banyak ringkuh dalam dunia yang sepinya hilang

karena manusia dalam asing kelambu enam juta di dunia adalah bising
dan sekedar pelarian dari letihlah berjejer aksara yang manis dalam hening
bukan guratan metafor pesakit untuk menadah iba
atau menular duka, dan bla bla bla

karena ruang dalam kepalaku tidak lagi luang
maka bersembahanlah riuh aksara dalam teknologi dua satu, yang kau tahu

kupikir kau hanya salah mengartikannya hingga sejajar negativa
tentang yang di antara dan tak mengantara, yang ada tanpa pernah ada,
yang serupa tanpa berupa, yang bermakian ranah bahasa :
titik nol adalah pesona

dan sepi adalah rindu yang hidup, untuk kuhirup lepas resah
terbahaklah dan katakan aku misantropi
tapi bukankah sudah memang demikian dua ribu tahun rakyat kita memunafiki?

Ah, bukan
pada absurditas aku memberhala lalu ingin mengakhiri
karena titik nol adalah rupa spasi untuk mencari makna hidup sendiri.




ps :
dekadensi.
‘galau’ yang puitis sudah berakhir hanya pada Misalkan Kita di Sarajevo karya Goenawan Mohamad, 1994.

You Might Also Like

1 comments

  1. Untukmu yang bernama berteman kekal nirmakna:

    Di dalam gundah gelisah lidahku terkunci
    Akan makna dari kabut semu kehidupan
    Seuntai kebahagiaan, serangkum keharuman
    Tiada kan membalut pada hati yang kosong

    Menatapmu tubuh yang lunglai tanpa sukma
    Aku mendesah lirih
    Selapis waktu berlalu, sekedip sunyi menyatu
    Menuju titik nol, aku tiada

    Nun jauh kedalaman, air mataku menetes
    Secuil kerinduan mendalam menangis dari rahim keadaan
    Mencoba merengkuh arti kehidupan selama ini
    Kita tiada berarti adalah kesunyian dan kesedihan

    Titik nol,
    Bukanlah rumahku juga gubukku
    Aku berada diantara tekukan lembar buku yang menunggu kelanjutan
    Selipan kertas pembatas dalam buku kemanusiaan

    Apa yang berlalu berkeluh kesah memohon menjadi sepotong arti
    Apa yang didepan menangis merajuk mencari arti
    Ku tak peduli
    Gugup jiwa bercerita, tentang di sini saat ini

    Mencoba menegak sumur masa lalu
    Menjadi bijak menatap kisah yang tak di pahami
    Mencoba tak layu diantara bising tarian kemunafikan
    Berteman duka nestapa aku menembus ombak gelisah

    Aku tiada di titik nol
    Masa lalu menangis tak ingin di lupakan
    Masa depan bersujud memohon setitik arti
    Temani aku dalam berlabuh mengalungi lautan kegilaan

    Berilah aku sebuah nama,
    Aku tiada ingin tak bernama
    Aku ingin keluar dari rahim yang hangat
    Menyambut dinginnya dunia dan berteriak dalam tangisanku

    Berilah aku sebuah nama
    Aku tiada rela tak bernama lagi
    Cukup nyanyian mengawani kesedihan dan kesunyian
    Berilah aku sebuah nama

    Aku kan mencari makna diantara hidup aksara
    Dan di antara relung kosong jeda spasi aksaramu
    Berilah aku sebuah nama
    Tuk keberadaanku

    ReplyDelete

followers

Subscribe