sajak tanpa nama

8/08/2011 05:56:00 PM

untuk seorang tak bernama,
yang meninggalkan sajak jejak rupa :

apakah kita pernah berbincang?
Ya, kita pernah berbincang
pada bila yang mana?
Pada bila yang hanyalah diam

waktu itu bulan putih dan bima sakti hanyalah serpih
ada langkat-langkat aksara yang berterbangan
hinggap pada bahu lalu terbang ke langit langit genting
lalu senyap

kosong jeda panjang pada serbet kusam di beranda ia hinggap
bersisian dengan jeruji-jeruji kelip yang mencakar langit-langit:
selebihnya rebah aspal yang basah,
kau tahu,
hal terbaik yang bisa dilakukan di kota ini adalah kecerobohan
dan sisanya adalah kesendirian

sayang, bulan hilang perak
dan kebohongan sudah lama berpulang dalam pantulan-pantulan di dasar gelas
dan ampas kopi yang berbekas hanyalah lebur khotbah di bukit
yang naik ke kubah katedral para pesakit
lalu tiga kali lonceng gereja berdentang: memanggil pamit menjemput petang

paginya
organ-organ tua memajang partitur usang
gemanya berpantulan
ting dan tang ke atas ubin yang dingin, sampai mati bosan telinga
namun sajak masih tak bernama

ah, setidaknya ketika habis tetes tinta, ia mengantungi cerita
tentang yang ada tanpa pernah ada
,makna yang diseka lantas dijual murah
atau hanya pura-pura
atau hanya anekdot penyair gila,
entah

tapi di ujung halaman kertasnya bertekuk segitiga pucat
bersampir satu kalimat,
"aku pergi mencuri senja"





("mencuri senja" dipinjam dari seorang kawan yang pernah sekali waktu, di tengah malam, mengirim pesan singkat, "El, kalo gue nyuri senja, Tuhan bakal marah enggak?", yang dipinjam dari Seno Gumira Ajidarma "Sepotong Senja Untuk Pacarku")

You Might Also Like

1 comments

  1. Untukmu peri penari rupa aksara
    Seniman nakal pengotak atik pikiran dan kalbu
    Penyesat pencari mencuri buah arti aksara
    Tiga kali tiga langkah mata untuk menembus kabut perayu

    Saat mata terpenjam hati menemukanmu
    kita bertemu dua puluh kali dua puluh dan bercumbu
    mencolek sari pati hidupmu saat langit melesat membentang biru
    saat mata bertemu mata dan matahari didalam rahimmu

    malam pergi, pagi datang kebosanan membunuh sang seniman
    menatap kesendirian menyelam menemukan ketiadaan yang berkembang
    penantian panjang untuk surga yang terjatuh dan neraka mendingin
    namun kekasih belum juga berpulang, rindu menangis sumbang

    menatap kehampaan tanpa arti, menyambut waktu tanpa warna
    pesan tersampaikan, tiada jawaban mengalun sepi
    engkau peri kecil penari aksara, penyesat kata kata
    Senja jutaan warna dengan wajah indah yang tak pernah pergi

    Sabar menunggu aksara berjatuhan . . .

    ReplyDelete

followers

Subscribe