demikianlah kita mengada
8/11/2011 09:11:00 PM
ah, maka
demikianlah kita mengada:
darah kita adalah sama dalam aksara
mungkin selepas ini akan mati makna jejeran
a,
k,
s,
a,
r,
lalu kembali ke
a, sebagaimana ia bermula
karena ramai kita puja
tapi bukankah memang demikian kita mengada?
dan yah,
hanya terlintas saja tentang berapa lama kau menjejak tak kasat mata
dalam rupa sahut-sahutan jukstaposisi mimpi delusi
yang menukil diam dalam puisi-puisi di dimensi optik ini?
mungkin sebentar, lalu kau adalah rapuh hingga jebak dan jatuh
(padahal sajakku hanya sisihan rindu yang mati dan nirmakna, untuk tak disentuh)
karena sepertinya kau tahu banyak tentang aku
atau jejer aksara dan rimaku yang berjeritan ramai
atau memang kita sekedar ciptaan pencari yang sama melampirkan hakikat kerinduan:
kebebasan
kekosongan
kemayaan
kebertiadamaknaan
-
yang hanya bisa kita sama-sama nikmati dalam kesendirian
karena demikianlah kita mengada
meski jenaka kita disaksikan berkekasih dalam aksara
meski liar kemudian sajak berbicara
untuk tak lagi percaya pada akal kelabu manusia
karena untuk bungkam adalah pelarian yang lama kutinggalkan
dan memang menyenangkan
menyaksikan individu yang bisa termabukkan
lalu dalam rima pesona bersahutan
mungkin sesekali kita bisa bicara tanpa jeda
selagi mensesap kopi dan ampasnya akan menghentikan pagi
untuk seguk rima yang rindu untuk beradu
dalam jejeran abjad dalam sajak sampai subuh, yang mungkin saja sendu,
atau candaan semesta lain yang tak mungkin kita tahu
seperti mengapa kau memilih untuk tak bernama
semacam aku mengadili rupa, atau apalah.
tak mengapa,
karena demikianlah kita mengada.
1 comments
Sajakmu sisihan rindu yang mati dan nirmakna untuk tak disentuh
ReplyDeleteAda apakah irama denting dari “tak disentuh”
Oleh sakit apakah rindu itu menjadi sisihan mati dan nirmakna
Tataplah air mataku dan jejarkanlah isi hatimu
Luka apakah yang tergerai didalam dirimu
Aku mengenalmu dari tulisan aksara rindumu
Jeritan sumbang hati yang tak terdengar
Rindu mati yang engkau sisihkan
Sakit yang ingin ku sentuh lembut
Menciumnya dalam tamak keserakahan
Lapar keingintahuan serta penyatuan
Kita adalah ciptaan dari keindahan dan kebahagiaan
Engkau adalah kekayaan tak ternilai
Kilaumu membuat mentari cemburu
Nyanyianmu membuat burung membungkuk rendah
Engkau keindahan dalam bentuk, rupa dan rima
aku memuja dirimu dalam tawa dan minoritasmu
tertawa bersama kebebasanmu dalam melawan raksasa moral
menari berirama dengan langkah detak kegilaanmu
mendengkur bersama pagi lelahmu
menertawakan dunia yang bermoral dan kita yang abnormal
dalam tawa dan kebebasan
Aku tertawa dan berterka apa isi dalam kepalamu
Apakah rusuh mesin kusam yang bergerak tidak teratur?
Ataukah
Ladang bunga dengan jutaan keping aksara yang berterbangan
Aku bertanya tanya
Apakah isi hatimu
Sakitkah?
Kesunyian yang merindukan sesuatukah?
Ijinkah tangan ini menyentuhnya dan berbisik
“Aku mencintaimu Hati manis”
“ Aku merindumu Hati yang lari dari Tuannya”
“Maukah engkau memelukku hati yang indah?”
“Bersama sama mencari seuntai jawab dari semua ini”
Hingga saatnya kita akan bertemu, dalam bentuk dan rupa
Menyentuh kulit lembutmu dan mencium lembut bibirmu
Untuk suatu saat yang jauh dari akal kita
Dimana takdir yang memutar rodanya
Engkau tidak mengadili rupa karena
Engkau bahkan tidak dapat membedakan adam dan hawa
Kecuali “Alat pengepasan kelamin?”
Yang membuat perutku terguncang bertari tarian
Aku menemukan setitik cinta dan kerinduan dalam dirimu
Sedikit ekstasi yang mengellegar
Kejang dalam dada dan senyum di sudut bibir
Tapi temanku,
Bentukmu dan adaku terpisah sepanjang langkah kapal layar dan pesawat
Dengan cara apakah aku bertamu kedalam bentukmu?
Mensesap kopimu
Dan mengodamu dengan senyum dan kelembutan aksara
Serta menjawab sepi di dada
Ceritakan padaku wahai sahabat bodoh
Apakah masih hidup rindu dalam dadamu
Apakah masih bernyanyi sukma lembutmu
Tentang cinta dan rindu terjawab
Katakan padaku
lukamu
Ceritakan padaku
Cintamu
kisahkan padaku
Dirimu
Karena aku memujamu
Dan
Untuk setiap lukamu
Aku menangisinya
Memeluknya dalam kasih dan sakit