some points
7/05/2011 09:06:00 PMLini kala Twitter saya selepas Maghrib ini "menyegarkan", dimulainya dari @ryuhasan yang mencetuskan Pepatah Yang Disempurnakan: "agama tanpa ilmu nggak mungkin, ilmu tanpa agama nggak papa". Gatel deh pengin ritwit. Bukan cuma saya yang jadi gatel bacanya, banyak followersnya yang gatel juga pengin komentar. Yang paling lucu yang nyebut si dokter ini enggak menghargai Tuhan, diteriaki: Ateis! LOL. Setelah itu makin seger dengan respon-respon yang berkaitan dengan Tuhan dan agama. Bahan obrolan yang biasanya nongolnya mendekati tengah malam akhirnya muncul selepas Maghrib. Seger. Dan tiba-tiba @ulil ngetwit, "You can be an ethical and good person without following any religion. Meanwhile you can be an evil person while following one." Ihiy. Makin seneng baca timeline kalo isinya orang-orang waras begitu. ((:
Hahaha, bukan, bukan punya maksud apa-apa, tapi gimana ya. Baca timeline jadi ngerasa enggak sendirian #eh. LOL :P
Saya sendiri punya beberapa poin (poin-poin lama yang beberapa kali saya sampaikan di tumblr) tentang agama dan kepercayaan dan perannya dalam kehidupan (yang paling signifikan ya kehidupan saya, kalau kehidupan kamu yang terserah kamulah.) :
1). Agama itu adalah salah satu cara yang dimaksudkan untuk memahami virtue secara lebih komprehensif dan obyektif dengan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan di dalamnya; jadi logikanya adalah: kebermoralan seseorang tidak ditentukan dari beragama atau tidak beragamanya seseorang. Sementara kalau kita lihat sekarang, pola pikir masyarakat adalah dangkal: "Dia beragama, maka itu termasuk contoh kebermoralannya." Aneh enggak sih? Kayak lagi mengeneralisasikan "Dia punya pensil, maka ia seorang seniman." Duh.
2). Orang bertuhan belum tentu beragama. Orang kan terbiasa mempunyai pola pikir dalam kepala bahwa Tuhan adalah subyek persona (dalam artian, rupa individu - tapi Yang Maha Tinggi), mungkin karena agama Abrahamik yang Allah-nya adalah bentuk persona yang dominan di sini; padahal enggak. Bertuhan seperti apa? Mengakui ada substansi yang lebih tinggi, mengatasi kita, udah cukup bertuhan menurut saya. Menyadari adanya Pencipta sih, terutama. (Eh tapi ada juga yang mengakui adanya Pencipta, tapi sudah enggak memelihara, dalam artian Tuhan udah enggak ada hubungannya sama semesta sekarang. It is called Deism.) Kepercayaan akan Tuhan itu enggak melulu harus dibarengi sama kepemilikan agama yang melabeli diri si manusia.
3). Bahkan yah sekarang ini, ketika ngomongin bertuhan dan beragama kayak ngomongin tentang dua entitas yang jauh berbeda. Sekarang kan kebanyakan orang-orang tergila-gila sama agama, sampe enggak tahu lagi mereka itu lagi nyembahin siapa, malah ada beberapa orang dalam agama yang enggak sadar bahwa mereka cuma lagi menyembah-nyembah dirinya sendiri dengan segala ritual dan ibadah karena masyarakat keburu punya stereotip mereka yang religius adalah mereka yang bermoral dan lebih berakhlak. uhuk.
4). Tapi apa maknanya orang bertuhan? Satu hal: the non-existence of God puts every one's lives into absurdity. Bertuhan atau enggaknya seseorang enggak menjamin "nilai" si manusianya. Percuma beragama dan bertuhan tapi malah enggak pernah bisa memanusiakan manusia.
5). Maka dari itu, orang yang tidak beragama dan/atau tidak bertuhan bisa sama bermoralnya dengan orang yang beragama dan bertuhan, begitu juga orang yang beragama dan bertuhan bisa sama imoralnya dengan orang yang tidak beragama dan/atau tidak bertuhan. I personally believe that moral and ethics aren't necessarily related to religion. Saya enggak pernah peduli whether one is an atheist, an agnostic, a deist, a theist selama mereka bisa value humanity. Setiap manusia harus bisa ngasih makna ke orang lain.
6). Orang itu hobinya ngerempongin hidup orang. Bukan, bukan dalam artian orang masuk ke kehidupan saya, misalkan, lalu bikin saya ribet, tapi lebih ke orang yang meribetkan hidupnya sendiri atas pilihan hidup yang saya ambil untuk kehidupan saya yang enggak ada sangkut pautnya sama hidup dia. Itu. Manusia begitu dengan label-label agama dan kebertuhanan. Mereka pada ribet dengan label-label yang mereka tempelin ke orang-orang dengan pilihan hidup dan kepercayaan orang lain yang enggak ada sangkut pautnya sama sekali sama kehidupan mereka. Moral responsibility dijungkirbalikkan - terus jadinya malah moral blasphemy deh. Kalau memang "simpati" sama mereka yang "belum mengenal kebenaran", akan jauh lebih etis jika sebatas ditawarkan, bukan dipaksakan. Paling males kalo ada orang maksa-maksain ikut-ikut kegiatan agama ini itu dengan dalil keimanan, padahal yang mereka lakukan hanya dalam usaha menge-tag tempatnya di surga karena dianggap bisa "membawa keselamatan" bagi orang lain. Pathetic.
7). Saya percaya manusia selalu dalam hakikatnya mencari kebenaran, bukannya pembenaran. Sedih enggak sih, ajaran agama yang semulia itu harus jadi hina banget gara-gara manusianya yang sombong dan sok ngerti, yang make-make agama buat cari-cari pembenaran? Beberapa orang berpikir sedang memuliakan agamanya, padahal yang sebenarnya sedang mereka lakukan adalah menginjak-nginjak kesucian ajaran agama itu sendiri.
(Dan tolong dibedakan antara ajaran agama dan label agama.)
8). Eh tapi biar gimana pun juga, kata-katanya @meulia ada benernya: "Kalaupun agama itu dari Tuhan, pelaksanaannya sangat antroposentris. Tak ada yang suci di dalamnya." dengan "agama" di sini diartikan sebagai lembaga-lembaganya. Kenapa? Karena lembaganya makin lama makin kayak bisnis MLM. Ini empirically speaking, loh. Akhirnya, ketika monoteis ketemu monoteis, yang ada malah "adu-aduan" Tuhan yang Satu yang mana yang lebih bener. Ujung-ujungnya, saya selalu berakhir pada konklusi bahwa agama itu semacam tembok raksasa yang separates human-being. :/
9). Berkaitan dengan no.8., dimohon berhati-hatilah wahai para umat beragama, ketika pemimpin agama kalian sedang berbicara dengan sangat subyektif tapi berdalih "khotbah" atau "sabda" atau "homili" atau apapun namanya. Beberapa kali ini di gereja, dengan pastor yang berbeda-beda, yang diangkat adalah isu-isu orang yang mendustai agama karena mengejar keduniawian sehingga berpindah ke agama lain. Sungguh hoaaaams sekali, Saudara-saudara. Ingatlah bahwa agama dibangun oleh manusia untuk manusia. Kalau ujung-ujungnya digunakan untuk menghancurkan sesama manusia ya untuk apa kan?
10). I personally think we should have freedom of belief instead of freedom of religion in this country. Soalnya, freedom of religion di sini udah kejomplang jadi free-doom of religion. Mati sudah hakikat agama.
Bukan bermaksud mengkhianati Pancasila perkara ketuhanan. Ya elah, Pancasila disebut Panca-sila karena silanya ada lima. Sila di Pancasila bukan cuman satu, Ketuhanan Yang Maha Esa doang. Percuma deh elo bertuhan tapi kemanusiaan lari enggak tau kemana - kayak orang-orang munafik yang hobinya mengkhianati empat sila Pancasila (sila kedua sampai kelima). Pemerintah sini aja sih yang rada stupid memaksakan setiap orang untuk punya agama. Cukup "punya agama" tapi enggak berbuat sesuai ajaran agama ya buat apa coba. *face palm*
Lantas saya? Saya mah bertuhan. Beragama? Tergantung pada bagaimana agama didefinisikan. Jika yang dimaksud adalah tata cara dan panduan-panduan spiritualisme dengan ajaran tertentu untuk menjalin relasi dengan Sang Khalik dengan cara yang lebih "jelas", iya saya beragama. Setiap manusia, entah berapa besar kadarnya, butuh jeda-jeda spiritual untuk menenangkan hati dan pikiran mereka; tapi jika "beragama" diartikan sebagai bentuk submisif, asal percaya, dan dikekang untuk terikat pada lembaga yang hirarki dan orientasinya makin ngawur...enggak deh.
I believe in and pray to One. I prefer to trust no organized institution.
"The only tyrant I can accept in this world is the still voice within" - Gandhi.
Sekian.
Hahaha, bukan, bukan punya maksud apa-apa, tapi gimana ya. Baca timeline jadi ngerasa enggak sendirian #eh. LOL :P
Saya sendiri punya beberapa poin (poin-poin lama yang beberapa kali saya sampaikan di tumblr) tentang agama dan kepercayaan dan perannya dalam kehidupan (yang paling signifikan ya kehidupan saya, kalau kehidupan kamu yang terserah kamulah.) :
1). Agama itu adalah salah satu cara yang dimaksudkan untuk memahami virtue secara lebih komprehensif dan obyektif dengan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan di dalamnya; jadi logikanya adalah: kebermoralan seseorang tidak ditentukan dari beragama atau tidak beragamanya seseorang. Sementara kalau kita lihat sekarang, pola pikir masyarakat adalah dangkal: "Dia beragama, maka itu termasuk contoh kebermoralannya." Aneh enggak sih? Kayak lagi mengeneralisasikan "Dia punya pensil, maka ia seorang seniman." Duh.
2). Orang bertuhan belum tentu beragama. Orang kan terbiasa mempunyai pola pikir dalam kepala bahwa Tuhan adalah subyek persona (dalam artian, rupa individu - tapi Yang Maha Tinggi), mungkin karena agama Abrahamik yang Allah-nya adalah bentuk persona yang dominan di sini; padahal enggak. Bertuhan seperti apa? Mengakui ada substansi yang lebih tinggi, mengatasi kita, udah cukup bertuhan menurut saya. Menyadari adanya Pencipta sih, terutama. (Eh tapi ada juga yang mengakui adanya Pencipta, tapi sudah enggak memelihara, dalam artian Tuhan udah enggak ada hubungannya sama semesta sekarang. It is called Deism.) Kepercayaan akan Tuhan itu enggak melulu harus dibarengi sama kepemilikan agama yang melabeli diri si manusia.
3). Bahkan yah sekarang ini, ketika ngomongin bertuhan dan beragama kayak ngomongin tentang dua entitas yang jauh berbeda. Sekarang kan kebanyakan orang-orang tergila-gila sama agama, sampe enggak tahu lagi mereka itu lagi nyembahin siapa, malah ada beberapa orang dalam agama yang enggak sadar bahwa mereka cuma lagi menyembah-nyembah dirinya sendiri dengan segala ritual dan ibadah karena masyarakat keburu punya stereotip mereka yang religius adalah mereka yang bermoral dan lebih berakhlak. uhuk.
4). Tapi apa maknanya orang bertuhan? Satu hal: the non-existence of God puts every one's lives into absurdity. Bertuhan atau enggaknya seseorang enggak menjamin "nilai" si manusianya. Percuma beragama dan bertuhan tapi malah enggak pernah bisa memanusiakan manusia.
5). Maka dari itu, orang yang tidak beragama dan/atau tidak bertuhan bisa sama bermoralnya dengan orang yang beragama dan bertuhan, begitu juga orang yang beragama dan bertuhan bisa sama imoralnya dengan orang yang tidak beragama dan/atau tidak bertuhan. I personally believe that moral and ethics aren't necessarily related to religion. Saya enggak pernah peduli whether one is an atheist, an agnostic, a deist, a theist selama mereka bisa value humanity. Setiap manusia harus bisa ngasih makna ke orang lain.
6). Orang itu hobinya ngerempongin hidup orang. Bukan, bukan dalam artian orang masuk ke kehidupan saya, misalkan, lalu bikin saya ribet, tapi lebih ke orang yang meribetkan hidupnya sendiri atas pilihan hidup yang saya ambil untuk kehidupan saya yang enggak ada sangkut pautnya sama hidup dia. Itu. Manusia begitu dengan label-label agama dan kebertuhanan. Mereka pada ribet dengan label-label yang mereka tempelin ke orang-orang dengan pilihan hidup dan kepercayaan orang lain yang enggak ada sangkut pautnya sama sekali sama kehidupan mereka. Moral responsibility dijungkirbalikkan - terus jadinya malah moral blasphemy deh. Kalau memang "simpati" sama mereka yang "belum mengenal kebenaran", akan jauh lebih etis jika sebatas ditawarkan, bukan dipaksakan. Paling males kalo ada orang maksa-maksain ikut-ikut kegiatan agama ini itu dengan dalil keimanan, padahal yang mereka lakukan hanya dalam usaha menge-tag tempatnya di surga karena dianggap bisa "membawa keselamatan" bagi orang lain. Pathetic.
7). Saya percaya manusia selalu dalam hakikatnya mencari kebenaran, bukannya pembenaran. Sedih enggak sih, ajaran agama yang semulia itu harus jadi hina banget gara-gara manusianya yang sombong dan sok ngerti, yang make-make agama buat cari-cari pembenaran? Beberapa orang berpikir sedang memuliakan agamanya, padahal yang sebenarnya sedang mereka lakukan adalah menginjak-nginjak kesucian ajaran agama itu sendiri.
(Dan tolong dibedakan antara ajaran agama dan label agama.)
8). Eh tapi biar gimana pun juga, kata-katanya @meulia ada benernya: "Kalaupun agama itu dari Tuhan, pelaksanaannya sangat antroposentris. Tak ada yang suci di dalamnya." dengan "agama" di sini diartikan sebagai lembaga-lembaganya. Kenapa? Karena lembaganya makin lama makin kayak bisnis MLM. Ini empirically speaking, loh. Akhirnya, ketika monoteis ketemu monoteis, yang ada malah "adu-aduan" Tuhan yang Satu yang mana yang lebih bener. Ujung-ujungnya, saya selalu berakhir pada konklusi bahwa agama itu semacam tembok raksasa yang separates human-being. :/
9). Berkaitan dengan no.8., dimohon berhati-hatilah wahai para umat beragama, ketika pemimpin agama kalian sedang berbicara dengan sangat subyektif tapi berdalih "khotbah" atau "sabda" atau "homili" atau apapun namanya. Beberapa kali ini di gereja, dengan pastor yang berbeda-beda, yang diangkat adalah isu-isu orang yang mendustai agama karena mengejar keduniawian sehingga berpindah ke agama lain. Sungguh hoaaaams sekali, Saudara-saudara. Ingatlah bahwa agama dibangun oleh manusia untuk manusia. Kalau ujung-ujungnya digunakan untuk menghancurkan sesama manusia ya untuk apa kan?
10). I personally think we should have freedom of belief instead of freedom of religion in this country. Soalnya, freedom of religion di sini udah kejomplang jadi free-doom of religion. Mati sudah hakikat agama.
Bukan bermaksud mengkhianati Pancasila perkara ketuhanan. Ya elah, Pancasila disebut Panca-sila karena silanya ada lima. Sila di Pancasila bukan cuman satu, Ketuhanan Yang Maha Esa doang. Percuma deh elo bertuhan tapi kemanusiaan lari enggak tau kemana - kayak orang-orang munafik yang hobinya mengkhianati empat sila Pancasila (sila kedua sampai kelima). Pemerintah sini aja sih yang rada stupid memaksakan setiap orang untuk punya agama. Cukup "punya agama" tapi enggak berbuat sesuai ajaran agama ya buat apa coba. *face palm*
Lantas saya? Saya mah bertuhan. Beragama? Tergantung pada bagaimana agama didefinisikan. Jika yang dimaksud adalah tata cara dan panduan-panduan spiritualisme dengan ajaran tertentu untuk menjalin relasi dengan Sang Khalik dengan cara yang lebih "jelas", iya saya beragama. Setiap manusia, entah berapa besar kadarnya, butuh jeda-jeda spiritual untuk menenangkan hati dan pikiran mereka; tapi jika "beragama" diartikan sebagai bentuk submisif, asal percaya, dan dikekang untuk terikat pada lembaga yang hirarki dan orientasinya makin ngawur...enggak deh.
I believe in and pray to One. I prefer to trust no organized institution.
"The only tyrant I can accept in this world is the still voice within" - Gandhi.
Sekian.
2 comments
lol I googled tweetnya Ulil malah refer ke sini.. brarti orisinil yak.. hai juga sesama "orang waras"! :p
ReplyDeleteHaha (:
ReplyDelete