Yang Tak Terbayang dari Yang Tak Terhingga
5/02/2011 05:16:00 PMSaya sering banget ngomong, "I know life is absurd, but no, I can't deal with it." Masalahnya bukan karena saya mengelak dari fakta bahwa hidup itu absurd, tapi karena memang pada saat itu, saya enggak sebegitu sadar bahwa hidup memang sedemikian parah absurdnya.
Ada satu bagian yang saya paling ingat dari sub-bab Perkembangan Kebetulan? bersambung ke Proses-Proses Terarahkan Diarahkan? dari buku Menalar Tuhan-nya Franz Magnis Suseno. Disebutkan bahwa eksistensi manusia, yakni kita, ada karena alam memilih persis satu di antara 10 pangkat 5.313.680 kemungkinan yang sebenarnya tersedia.
Jadi, ada asas antropik (munculnya manusia) yang dikemukakan oleh John Leslie yang menyebutkan sederetan "pilihan" dengan probabilitas 1 dalam 10^60 kemungkinan, kemudian yang "terpilih" itu selanjutnya harus "memilih" 1 dari 10^123 kemungkinan, lalu yang "terpilih" itu "memilih" lagi 1 dari 10^18, dan yang "terpilih" itu selanjutnya harus memilih 1 dari 10^40 kemungkinan, dan seterusnya. [Leslie 1998, 290-2]
Ada juga contoh lain tentang probabilitas sebuah protein fungsional yang menyebabkan kulit katak tertentu di Amerika Selatan beracun, terjadi satu di antara 10^113 kemungkinan. Itu berlaku bagi protein paling kecil. Kemungkinan bahwa sebuah protein lebih besar muncul secara kebetulan adalah sekali dalam 6 x 10^24 tahun, 10 juta kali lebih lama daripada umur alam raya kita.
[Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Kanisius, 2006. p.142]
Saya enggak tahu darimana angka-angka itu berasal, tapi dari contoh tersebut, bukankah menjadi luar biasa keberadaan kita yang menjadi satu dari jumlah kebetulan yang tersedia? Sepuluh pangkat lima juta adalah angka yang tak terbayangkan! Sungguh bermaknanya kita!
Sekarang diilustrasikan pada probabilitas kemunculan angka 6 dari pelemparan dadu. Deretan angka 6 - 6 - 6 - 6 - 6 - 6 persis sama kemungkinannya dengan deretan 1 - 4 - 6 - 4 -2 - 3 (dan persis 7.774 kemungkinan lain). Andai kata dipasang 7.776 mesin main dadu, maka menurut hukum probabilitas, satu dari mesin-mesin itu akan melemparkan 6 kali 6, satu kali deretan 1/4/6/4/2/3. Kemungkinan bahwa secara kebetulan orang memperoleh seribu kali angka 6 berturut-turut adalah persis 1 per (6^1000), sebuah angka dengan hampir 786 angka 0 di belakangnya.
Tetapi, andaikata kita memasang 6^1000 buah mesin pelempar dadu (dengan mengingat jumlah proton di alam raya di perkirakannsekitar 6^145 [Erbrich 1994]), maka dapat diharapkan bahwa satu dari mesin-mesin itu akan melempar seribu kali angka 6 berturut-turut, seratus persen kebetulan.
Jadi, seribu kali angka 6, peristiwa yang kelihatan amat teratur, bisa saja sama sekali kebetulan asal jumlah mesin permainan dadu cukup besar.
[Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Kanisius, 2006. p.145-146]
*
Terbayang sekarang? Kalau belum, coba tonton Parallel Universes ini sampai part 5:
Ada penjelasannya yang panjang dan kompleks (tidak bisa saya paparkan di sini karena saya tidak bisa menyampaikan bentuk sederhananya mengingat saya bukan seorang fisikawan teori yang memahami semua dengan baik dan benar) berkaitan dengan (dan beranak pinak dari) String theory yang kemudian berkembang menjadi M-Theory dan berhubungan dengan gravitasi yang "bisa dikalahkan"; yang berhubungan juga dengan kelahiran alam semesta kita, yakni dengan teori Big Bang.
Intinya adalah, alam semesta kita ini tidaklah sendirian. Sudah bukan rahasia jika galaksi kita, Bima Sakti, hanya sebagian kecil dari galaksi-galaksi lain yang sudah ada. Tapi bayangkan bahwa galaksi kita yang kecil ini, hanya bagian dari titik kecil dari infinitive numbers of universes di luar sana yang terparalelkan dengan semesta kita. Wow!
Dan karena jumlah semesta adalah tidak terhingga, maka kebetulan kita yang dari sepuluh pangkat lima juta itu pun juga sebenarnya kebetulan. Kita hanya satu dari yang tak terbayang dari kapasitas semesta dan probabilitasnya yang tak terhingga.
Saya sering kali bertanya, "What if our existence were simply coincidence?"
Dan setelah dua paparan di atas, saya jadi bertanya-tanya bagaimana seharusnya saya menjawabi pertanyaan saya barusan. Bagaimana kalau kita cuma kebetulan? Bahwa eksistensi kita ini hanya absurd saja, seperti secara kebetulan kita tidak sengaja menginjak kelereng di halaman rumah kita: kita hanya merasa sakit sebentar, kesal sebentar, kemudian ya sudah.. kita berjalan lagi masuk ke ruang tamu tanpa ada yang terubahkan jalan hidupnya, tanpa ada yang tergantikan takdirnya.
Kita adalah hampa.
*
Menjadi mengerikan jika membayangkan absurditas kita sendiri di dunia. Cuma, ya, cuma, karena saya tidak mau menjadi sia-sia karena saya bahagia menjadi manusia yang terkutuk menjadi bebas (kata Sartre), saya tidak mau menjadi kerbau yang selalu complain dan tidak mampu punya sayap untuk terbang dengan bangga seperti burung walet (Donna Donna - Joan Baez). Dengan kehendak bebas saya, saya akan membangun sayap saya untuk terbang dan bangga, mencari makna dalam absurditas eksistensi saya.
Mungkin akan terdengar klise, tapi penggambarannya seperti ini: mungkin saya tidak akan jadi bos, tapi apalah artinya bos jika tidak punya nilai-nilai lain yang menjadi tolak ukur kesuksesan menjadi manusia? Saya ingin mengabdi untuk manusia, bekerja untuk mereka. Sejauh ini cita-cita termuluk saya adalah menjadi pekerja sosial, membela hak manusia, aktivis lingkungan (sedang saya lakukan sekarang - peduli lingkungan adalah bentuk moral responsibility, in case you forget).
Saya bermimpi tentang dunia dimana manusia tidak lagi mengenal label-label, tidak menjadikan uang sebagai parameter nilai manusia, tidak lagi memberi label tinggi atau hina pada pekerjaan orang lain. Ah mungkin saya terlalu utopis?
Seriously, I know life is that absurd; but still, I don't want to deal with it!
Stop complaining, said the farmer, Who told you a calf to be? And why don't you have wings to fly with, like a swallow so proud and free? (Donna Donna - Joan Baez)
Ps: semakin mengerti sekarang, cita-cita Soe Hok Gie untuk menjadi manusia bebas.
Disclaimer: Pemaparan saya mungkin terlalu tergesa atau bahkan tidak menyangkut apa-apa dari kebenaran dan kejelasan. Jika demikian, lupakan saja. Nanti, kalau extension course di Driyarkara yang mengangkat Filsafat Ketuhanan ada lagi, saya akan ikut, dan akan memperbaiki tulisan ini. Extension course Filsafat Ketuhanan yang berlangsung semester ini tidak bisa saya ikuti karena dimulai ketika saya belum resmi duduk di semester 4 (demikian syaratnya). Sekian.
0 comments