­

Post-?

5/07/2011 01:21:00 PM

"Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan."

*


Menyaksikan trailernya saja saya gemetar, dan  ketika lampu studio 1 kembali menyala begitu film selesai, air mata saya masih mengambang. Film ini adalah film yang mengajak kita, masyarakat Indonesia pada khususnya, untuk belajar. Belajar hidup menjadi manusia, belajar hidup menjadi masyarakat, belajar hidup menjadi orang beragama, dan belajar hidup menjadi bangsa Indonesia.


Kita dibawa pada cuplikan-cuplikan adegan kehidupan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, yang menghormati agamanya masing-masing sebagai panduan dalam berkehidupan. Kita memang menjadi serupa dalam agama yang sama, namun kita juga harus bisa menjadi satu dalam kemanusiaan kita. Film ? inilah yang mengajak kita berkaca.
Saya rasa, semua orang harus menonton film ini (dan terlebih, warning dulu untuk orang-orang yang berpandangan picik ya). Saya sendiri, diajak nonton lima kali pun, hayuk!

*

Saya masih bertanya-tanya apa yang membuat air mata saya bercucuran selama menonton film ini. Mungkin saja dramatisasi audio visualnya, atau adegan-adegan interaksi antar-agama dan antar-etnisnya yang mengharukan, atau penggambaran tentang penyerahan diri manusia pada Tuhannya lewat agama yang menyentuh, atau nilai-nilai kehidupan sebagai manusia yang punya arti, atau mungkin di atas segala kemungkinan itu, saya menangis karena saya merasa ditampar-tampari.
Manusia merasa mulia di dalam kesombongannya, yang membawa kita pada kepicikan dan kebodohan, yang menjadikan agama sebagai benteng-benteng perlindungan kita terhadap manusia lain yang kita prasangkai akan menyerang (padahal tidak pernah).

Bukankah sudah lama, perpecahan antar-agama menjadi masalah yang semakin lama semakin signifikan implikasi buruknya? Lucunya, masih saja semangat pluralisme agama dianggap tabu bagi sebagian orang,  dan lebih tragisnya lagi, dianggap angin lalu oleh manusia-manusia bertitel intelek/akademis yang apatis.
Sampai seorang yang saya kenal pernah berkata bahwa agamalah yang malah membuat orang saling membunuh, bahwa ajaran agama itulah yang buruk. Kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab, hayo?
Ya manusianya, jelas. "Religion is flawed because man is flawed" - Angels and Demons (2009)
Bagi saya, bukan ajaran agamanya yang membuat orang saling membunuh, tapi label-label agamalah yang membuat kita membunuh moral kita sendiri. Ingat, label agama, bukan agamanya, bukan ajarannya, bukan institusinya (mungkin), dan bukan Tuhannya, apalagi.

Semua ingin dibilang agamanya baik. Semua orang ingin dihormati, namun karena semua orang inginnya dihormati, akhirnya tidak ada yang menghormati satu sama lainnya terlebih dahulu.
Kita ingin menjadi benar (atau dianggap benar oleh orang lain) dalam kurungan label-label agama kita masing-masing. Lalu untuk apa label-label itu, jika hati kita adalah omong-kosong? Selagi marah kemarin di post sebelumnya, saya sampai bertanya-tanya kalau memang ada beberapa manusia yang sebenarnya sedang menyembah-nyembah dirinya sendiri ketika melakukan ritual-ritual ibadah keagamaan yang kosong makna di hatinya.

Bukankah indah untuk hidup berdampingan, dan saling menghargai kepercayaannya masing-masing?
Ingat kata Gus Dur? "Tuhan tidak perlu dibela."
Kadang kala, kalau kekesalan saya menumpuk pada orang-orang yang intoleran dengan agama sebagai kedoknya, saya rasanya pengin banget ngomong "Tuhan kok dibela-bela. Memangnya Tuhanmu serba kekurangan, apa, sampe-sampe manusia hina yang ngebelain Dia?" (bukan bermaksud menghina Tuhan-nya orang itu, hanya ingin mengingatkan saja bahwa apa yang dia pikir baik, yakni dengan membela Tuhannya yang sebenarnya tidak perlu dibela karena omnipotence-Nya yang seharusnya dia pahami, sebenarnya dia sedang mengolok-olok Tuhannya sendiri. Blasphemy kan jadinya?)

Kadang-kadang, orang-orang yang terlalu terpaku pada label-label agama itu seperti semacam manusia sup kaleng. Sup kaleng kan begitu, bersandar hanya pada label saja supaya orang bisa tahu seperti apa isinya. Sayangnya, manusia bukan sup kaleng yang sekali pakai langsung dibuang, atau dimuntahi kalau enggak suka, atau sekedar jadi makanan anjing. Manusia lebih mulia dari itu. Dan kemuliaan manusia berasal dari nilai-nilai positif yang ditawarkan oleh agama-agama yang berbeda, namun tetap satu yang dituju, yakni Tuhan.


Ah, mungkin karena sudah melekat terlalu kuat, label sudah tidak bisa lagi dilepas, ya? Ya sudah, asal manusia bisa ingat bahwa dirinya dan Tuhan-nya bukan diagungkan hanya dari sekedar label yang begitu dicuci dan digosok pake sabun colek udah luntur bahkan lepas. Agama lebih dari itu. Agama adalah kepercayaan, yang bukan berarti begitu dibantah langsung gugur. Bukan label agamanya yang kita perjuangkan, tapi iman kita masing-masing yang justru sebenarnya butuh perjuangan mati-matian.

"Kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan yang terus menerus antara yakin dan kesangsian. Mereka yang tahu artinya ragu-ragu akan dapat kepercayaan yang lebih besar" - Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran, 2005)


Saya bermimpi tentang dunia, dimana meskipun setiap orang bertengger pada label-label keagamaannya masing-masing, manusia mampu mengedepankan tanggung jawab moralnya sebagai manusia untuk hidup berdampingan satu sama lain, tanpa berpikir bahwa dia sebagai penganut suatu agama adalah yang lebih di atas atau lebih di depan. Saya bermimpi tentang dunia, dimana manusia mampu mencintai manusia yang lainnya karena kita sama-sama menyadari bahwa dalam kemanusiaan, kita adalah sama. Kita adalah satu.
Kita menjadi Indonesia karena perbedaan.





*
Sekedar tambahan, coba tonton tanggapan Ketua MUI ini ya.


Moga-moga beliau ini bukan gambaran masyarakat Indonesia secara keseluruhan ya. Orang Indonesia yang memang nasionalis, rasional, religius, dan humanis mah enggak mungkin berpikiran sependek beliau ini.
Ya masa pimpinan MUI enggak bisa bedain pluralisme dengan relativisme dan ateisme, gitu loch.
*face palm* *terus ngakak sambil kibas poni* *hahaha anjir masih enggak bisa berhenti ketawa, men!*
Memang ciri-ciri orang sesat adalah dengan tanpa alasan menyebut orang lain sesat, ye. Hahaha.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe