Perbedaan dan Perkara Kesadaran

5/17/2011 09:32:00 AM



Oke, ini sedikit banyak masih berhubungan dengan tanggapan pimpinan MUI bidang Budaya terhadap film '?'-nya Hanung Bramantyo yang beliau anggap menyesatkan dan melukai hati umat Islam. Letak melukainya dimana? Saya enggak tahu dan karena keterbatasan saya untuk menempatkan diri dan memandang dari kaca mata seorang Muslim, saya enggak berspekulasi atas hal yang tidak saya pahami.

Yang paling mencantol di otak saya adalah omongannya yang kurang lebih begini:
"Pluralisme yang seperti apa? Mau dibawa kemana penonton ini? Pluralisme yang menganggap semua agama adalah benar, sampai orang enggak punya agama juga di anggap benar?"

Saya kok pengin tertawa ya mendengarnya.
Akan sangat berbusa-busa mulut saya untuk mengulang kata "Perbedaan". Dan agama, juga banyak macamnya (berbeda-beda) dan yang diakui di Indonesia ada enam, dan saya bukan mau mempertanyakan asal mula agama bisa menjadi begitu banyak (meski alasan utamanya saya yakini karena institusi agama dibangun oleh manusia sebagai bentuk interaksi intersubyektivitas berikut ego masing-masing individu yang terlibat di dalamnya).
Saya cuma mau mempertanyakan si Perbedaan dan perkara Kesadaran manusia-manusianya, apalagi yang mengaku dirinya bangsa Indonesia.

*

Saya pribadi suka berada dalam perbedaan. Bukan berarti ingin menjadi yang paling menonjol. Justru, dengan berada di dalam perbedaan (yang saya sendiri juga berbeda), mengutip kata Kak Fer, "Kalau semua menjadi aksen, semua berbeda, ya ujung-ujungnya enggak ada yang berbeda. Semua jadi sama."
Omongannya sih soal desain kemasan, tapi logikanya tepat dipakai di sini.
Karena kita berbeda-beda dan yang saling berbeda-beda itu menjadi satu dalam perbedaan-perbedaan, manusia menjadi sama. Tidak ada yang jadi aksen atau jadi yang paling menonjol.
Makanya bukan salah saya kan, kalau secara random saya suka bertanya-tanya tentang orang-orang yang alergi sama perbedaan (crucially berkaitan dengan agama dan ras atau status sosial), apa mereka takut tidak lagi jadi menonjol jika berada dalam perbedaan?

Waktu itu, secara random juga, saya nemuin post di Tumblr yang menyebutkan "Kita enggak bisa enggak beda-bedain orang, karena otak kita alamiahnya mengklasifikasi segala sesuatu."
Entah apa maksudnya, moga-moga bukan ekspresi pesimistik terhadap fakta perbedaan ya.

Berdasarkan logika Aristoteles, memang realitas terdiri dari berbagai benda terpisah yang menciptakan suatu kesatuan antara bentuk dan subtansi. Perbedaan antara bentuk dan subtansi itulah yang berperan penting dalam penjelasan Aristoteles tentang cara memandang benda-benda di dunia. Ketika melihat benda-benda, kita menggolongkannya dalam berbagai kelompok atau kategori. Ketika melihat manusia pun, kita punya tendency untuk menggolongkan mereka dalam berbagai kategori. Kecenderungan ini sulit untuk dielakkan. Dan lagi, untuk apa juga dielakkan?

Makanya ada yang kita sebut sebagai Pluralisme.
Pluralisme menuntut adanya kesadaran dari masing-masing individu. Kesadaran atas apa? Atas fakta perbedaan (dan termasuk fakta bahwa manusia itu memang akan cenderung membeda-bedakan). The act of 'membeda-bedakan' mungkin akan menyakitkan jika tidak dilakukan dengan proper (by all the means), tapi ketika membeda-bedakan beriringan dengan kesadaran untuk bersikap terbuka, itu yang kita perjuangkan.

Menurut Franz Magnis Suseno, pluralisme adalah "suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua–keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan."

Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan keterbukaan. Karena ketika kita bicara tentang kebenaran yang sama untuk semua agama, bukan lagi Pluralisme, melainkan Relativisme (ini yang saya bingung, kenapa pimpinan MUI enggak ngerti bedanya).

Kalau semua agama itu sama (dalam ritualnya, bukan Siapa yang dituju), maka tidak perlu ada banyak agama kan? Kalau semua jalan setapak itu sama (meminjam istilah di film '?'), ya kalau begitu, ada satu jalan setapak saja menuju yang Esa.
Lalu apakah kita tidak berhak bicara tentang kebenaran? Kita berkepercayaan karena kita percaya akan kebenaran, kan? Lalu, bagaimana?

Kebenaran yang sebenar-benarnya, bagi saya, enggak perlu dipaksakan apalagi pakai perang-perang segala (fisik atau verbal), karena kalau memang benar untuk apa dijejal-jejali toh?

M. Amin Abdullah dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik Bagi Perdamaian Dunia mengatakan bahwa
"Perbedaan tafsir dan/atau interpretasi tentang makna keselamatan dalam sejarah keselamatan sesungguhnya merupakan suatu realitas kemajemukan yang wajar, karena pada dasarnya, manusia terus berada dalam proses pencarian kebenaran untuk menemukan jalan keselamatan."
Siapa kita untuk lalu mengajukan kebenaran absolut atas satu ajaran?

Omong-omong tentang kesadaran juga, saya jadi ingat pola interaksi intersubyektivitas yang tidak mungkin tidak ada di dalam beragama dan terutama bermasyarakat. Kesadaran untuk melihat manusia lain sebagai subyek juga saya rasa adalah tanggung jawab paling hakiki dari setiap manusia.

Misalnya, dengan berangkat dari pola kecenderungan klasifikasi Aristoteles tadi kita melihat kursi di ruang tamu dan melakukan pengkategorian: Apakah ia benda mati? Iya. Apakah ia terbuat dari besi? Tidak. Apakah ia terbuat dari kayu? Iya; dst.
Kita bisa saja "seenaknya" melakukan pengkategorian terhadap kursi yang menjadi obyek kita, dan si kursi tidak akan menjawab atau menimpali "Tidak, saya bukan benda mati!" atau "Hey, ada substansi besi kok di kayu ini!"
Lain ceritanya kalau dengan manusia yang sama-sama subyek juga. Siapa juga yang mau "seenaknya" diobyek-obyeki kan?

Dulu saya bilang, kebebasan/kehendak bebas adalah hakikat dasar manusia yang harus dihargai, dan mereka yang tidak menghargai kebebasan tidak pernah menghargai manusia. Sekarang, gara-gara "diperkenalkan" teori intersubyektivitas, saya akhirnya bermindset bahwa manusia yang enggak bisa melihat manusia lain sebagai subyeklah yang enggak pernah melihat orang lain sebagai manusia juga. Perendahan harga diri.

Dan hai para umat yang mengaku dirinya beragama,
apakah menurutmu, agama adalah "alat" yang seharusnya digunakan merendahkan manusia lainnya?
Sila bertanya pada kesadaranmu sendiri  ya.
Tuhan memberkati.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe