(Kurang lebih) tentang Subyektivitas
5/22/2011 02:14:00 AMOke, ini bukan yang pertama atau kedua kalinya saya bertanya-tanya tentang bagaimana para dosen di kampus (terutama jurusan saya) memberi nilai pada bentuk-bentuk tanggung jawab para mahasiswa (baca: hasil-hasil karya).
Kemarin sore lagi ngobrol-ngobrol di warung bakso ketika seorang teman ngomong dengan nada marah “Iya tuh dosen! Masa’ nilai kok subyektif banget!” Dan refleks saya jadi mikir, kalau subyektivitas dalam penilaian hasil karya visual itu kan memang inevitable, bukan? Alasannya: yang menilai hasil karya para mahasiswa kan para dosen, yang adalah manusia juga. Si audience yang adalah subyek juga. Beda kalau kita bikin hasil karya desain, dijejelin di depan batu kali. Itu batu kali, sampe kita mati terus bangkit dari kubur juga enggak bakal bereaksi apa-apa dengan hasil karya visual kita. Hasil karya visual seperti media interaksi intersubyektivitas, menurut saya.
Mungkin sekarang harus bertanya, apa itu subyektivitas di mata mahasiswa dan di mata dosen? Berhubung posisi saya adalah mahasiswa, saya mengartikan “subyektivitas” yang teman-teman saya sisipkan di sela protes mereka sebagai pemberian harga pada tanggung jawab tiap mahasiswa dengan nilai A. B. C. D, atau E yang berdasarkan selera si dosen. Enggak salah juga kalau si dosen melihat hasil karya dari kacamata mereka sendiri. Saya juga enggak bakal mau dipaksa untuk bilang “bagus” (apart from ‘apa itu bagus?’) untuk karya yang enggak sreg di saya. Kalau kata Kak Fer, “Apart from ‘what is bad?’, a bad design is like a bad music. You can hear it, but you don’t want to listen to it…you just don’t.”
Lalu demikian, apakah berarti untuk bertahan di jurusan desain komunikasi visual, maka kenalilah selera dosen lalu buatlah karya sesuai dengan minat si dosen?
Haha. Saya ngakak aja deh kalau sampai seperti itu. Masa-masa kuliah, apa lagi di semester saya sekarang (tingkat dua), adalah masa-masa pencarian jati diri tiap mahasiswa sebelum resmi disebut “desainer” dengan basis akademis. Dan lagipula, jika harus melulu mengikuti selera dosen, yang pasti beda-beda satu sama lainnya, ya mau sampai kapan begitu terus? Lagipula, yang namanya seni itu kan beda sama ilmu eskak yang satu tambah satu sama dengan dua.
Jadi, memang tanggung jawab kita sebagai mahasiswa desain komunikasi visual dinilai secara “relatif” dan seenak hati dosen?
Ya enggak juga sih. Kalau memang seperti itu, ya buat apa juga ada jurusan dkv di universitas (disamping pertanyaan posibel seperti ‘mengejar target industri?’) dengan embel-embel akademis. Ilham ini saya dapet waktu ngobrol sama Kak Fer sih waktu itu. Beliau bilang, meski kita masuk dalam ‘art’, tetep aja ada yang menjadi “patokan-patokan” kita. Jika Matematika punya rumus, desain juga punya rumus: prinsip-prinsip desain, dengan elemen-elemen desain sebagai angka-angka yang mengisi rumus-rumus tersebut. Dan moga-moga aja memang seluruh dosen punya kesadaran untuk mengedepankan itu, supaya para mahasiswa juga bisa punya kesadaran akan tanggung jawab terhadap karya visual mereka masing-masing.
Dan jadi masuk ke perkara nilai. Ini udah sering banget terulang-ulang di kepala saya, omongan seorang dosen di mata kuliah favorit, “Carilah value, instead of score. Kalian cobalah keluar dari zona nyaman kalian untuk cari aman. Mentang-mentang di tugas sebelumnya si X dengan style A bisa dapet bagus, kalian tiruin. Atau mentang-mentang dengan referensi dari desainer B di tugas sebelumnya dapet bagus, kalian stuck di style si B.”
Mengejar value juga harus punya tanggung jawab dengan enggak meninggalkan nilai. Kata Pak Irwan, “jangan karena kamu ngejar value terus tau-tau malah dapet Nol juga .” terus Kak Fer menimpali “Mendingan dapet 75 tapi kamu eksplorasi.” Sulit sih. Apalagi kalau kita anggal value-nya udah “lumayan” tapi menurut dosen enggak bagus dan kasih nilai “C”. Nyesek. tapi kata Kak Fer “Ya itulah proses belajar, El.”
Makanya, ketika kita yakin karya kita bagus, terus dosen kasih nilai yang di bawah ekspektasi kita, kejar aja dosennya; tanya “kesalahan” terletak dimana, daripada ngomel-ngomel tapi enggak menyelesaikan masalah, kan yang rugi kita juga sebagai mahasiswa yang sebenarnya berhak untuk mendapat ilmu. Enggak usah melulu bilang “ya dosen dong yang berkewajiban untuk jelasin ke kita”. Doh, kalau bukan kita yang ngejar hak kita, siapa lagi coba?
Eh kok saya jadi marah-marah O.O Ya abisnya kesel sih liat temen marah-marah tapi begitu saya bilang “yaudah, cari aja dosennya di akademis. kejar.” selalu dijawabi “ah udahlah, males gue.” Ngok. Yaudah, tanya deh sama Si Males, barangkali dia lebih ngerti tentang grid system dan kombinasi typeface. Pret. Pret. Pret.
*
Waktu ngobrol sama Monic di kosannya kemarin malem, dia nanya “Gw sukanya modernism, El. Masa tau-tau gue eksplorasi jadi kayak rock-rock gitu (Carson maksudnya). Enggak gue banget.”
Terus saya mendadak sok bijaksana dengan bilang “Ya lo kan belum jajal style si Carson kayak apa, style si Carter kayak apa, style si Bantjes kayak apa. Kalo belum dikerjain mana tau suka apa enggak-nya?”
Terus dia bilang lagi “Berarti kita bikin yang enggak sesuai dengan kesukaan kita dong?” (mungkin ini mirip sama quotation soal bad design seperti bad music ya)
Saya, makin sok bijaksana, bilang “Ya jangan jajal style yang lu suka, Mon. Jajal aja style yang bisa bikin lo merasa tertantang.”
*
Oke, tulisan ini makin lama makin sotoy tingkat akut karena saya enggak bisa tidur. Yasudahlah. Mungkin banyak bagian dari tulisan ini yang sebenarnya ada di luar ototitas saya tapi saya sok bijaksana atau sok tahu atau rong sok kan. Ini hanya sekedar pikiran yang melintas saja ketika insomnia begini. Selamat malam, Para Subyek.
0 comments