"Kamu kapan cari pacar, El?"
5/22/2011 03:57:00 PMEnggak. Saya enggak butuh pacar, jika diartikan untuk "membenahi" pandangan orang mengenai diri saya, keperempuanan saya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan subyektivitas saya sendiri yang sebenarnya mereka enggak punya hak untuk menentukan.
Sekarang sudah bukan lagi pertanyaan "Pacar kamu mana? Kok enggak diajak?" atau "Ah bohong, masa enggak punya pacar sih?" lagi yang mengganggu pendengaran saya. Semakin banyak jumlah pertanyaan yang diajukan maka semakin tinggi tingkat ngeselinnya, mulai dari "Loh? Kenapa enggak cari pacar?", "Cari pacar untuk seneng-seneng dulu aja, siapa tahu bisa serius", "Dua tahun lagi kamu lulus kuliah loh, cari pacar dulu aja", "Cari pacar enggak usah yang sempurna-sempurnalah", sampe ke pernyataan nyebelin tingkat akut "Tetangga saya punya enggak nikah-nikah, sekarang hidupnya kesepian, sampe pernah cerita 'Iya aku nyesel dulu sombong banget, begitu ada yang deketin, aku enggak mau'. Kasian kan keluarganya yang lain sibuk dengan keluarganya sendiri-sendiri."
Memang manusia bisa bertambah umur tapi tidak pernah bisa menjamin kedewasaan berpikirnya bertambah juga. Saya paling benci manusia yang merecoki kehendak bebas manusia lainnya.
1). Saya percaya kebahagiaan saya tidak ditentukan dengan adanya laki-laki. Dan ya mungkin keperempuanan saya bisa bermakna jika ada laki-laki, tapi bukan berarti saya tidak bisa menjadi perempuan sepenuhnya tanpa laki-laki yang berkomitmen dengan saya (pacar atau tunangan atau suami).
2). Jika saya dianggap tidak bisa menghargai diri saya sendiri dengan tidak memiliki pacar, sekarang saya balikkan pertanyaannya, kenapa sampai membiarkan orang lain memberi "harga" pada subyek yang sepenuhnya adalah kebebasan sekaligus tanggung jawab kita, yakni diri kita sendiri?
3). Sebagian besar yang menyuruh (sudah bukan lagi menyarankan) saya untuk cari pacar adalah para tante yang sudah berkeluarga, yang seharusnya mengerti bahwa komitmen dalam suatu relationship pertama harus berdasar pada konsep eksistensialis bernama cinta, yang tidak punya rumus pasti seperti dua tambah tiga sama dengan lima. Dan mencari pacar hanya untuk sekedar menyandang label "laku" sama artinya dengan mencemari konsep cinta itu sendiri. Kualitas manusia tidak dinilai dari "laku" atau "tidak laku" dirinya.
4). Lalu parameter ke"laku"an jaman sekarang juga sudah diputarbalikkan. Katanya cinta itu bullshit. Semua menyadari natural desire of men: hasrat seksual, dan menjadikan excuse atas kemanusiaannya sendiri untuk 'mencintai'. Ya memang hubungan intim menjadi tingkatan komunikasi paling puncak antara dua insan manusia, tapi jika memang itu yang dituju, "cinta" dan "relationship" jadi semacam pengepasan alat kelamin saja kalau begitu.
"Jangan memutarbalikkan apa yang sarana jadi tujuan dan tujuan jadi sarana"
5). Sebenarnya ini pernah saya ingkari, tapi sebagian besar teman-teman saya terus bilang bahwa saya idealis. Baik saya akui saya idealis (likely). Dan menurut Ibu Rina, orang-orang idealis akan sulit untuk menjalin hubungan (interaksi khusus antar dua manusia, entah apalah namanya, cinta mungkin, tanpa tanda kutip) karena mereka mengejar idea yang ada di dalam kepalanya, lagipula sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. Saya memang sibuk dengan pikiran saya sendiri, tapi bukan berarti saya tidak membuka diri. Saya menghargai kesubyekan manusia lain di sekitar saya. Jika mereka anggap saya terlalu asyik dengan dunia saya sendiri sehingga saya tidak mau pacaran, mereka keliru. Mungkin mereka tidak menghargai pikiran manusia.
6). Seorang teman pernah bilang, "Elu kepinteran kali, El, jadi cowok takut." Terlepas dari apa itu pintar menurut definisi dia, saya sekarang jadi bertanya-tanya, kenapa laki-laki bisa takut sama perempuan yang dianggap pintar. Saya tidak merasa diri saya pintar, masih banyak manusia-manusia lain yang berpikir logis dan kritis, jauh di atas cara saya berpikir. Iya, saya akui laki-laki mengejar Pride (seorang teman mengakui begitu), tapi jika Pride yang dia kejar, kenapa juga harus stuck dengan pride yang ia miliki sekarang (berada di bawah kecerdasan seorang perempuan tertentu), kenapa tidak dikejar saja pride yang lebih tinggi (berada di atas tingkat kecerdasan seorang perempuan tertentu). Atau memang si laki-laki saja yang menganggap bahwa Pride hanya sebatas tampilan kece, mobil yang mengkilap, rentetan kartu kredit, kunci mobil yang menyembul di saku celana, logo-logo brand besar yang bertenggeran di segala jenis gadget miliknya. Ah saya bukan laki-laki, saya enggak ngerti.
7). Tapi saya percaya bahwa setiap laki-laki harus punya Pride. Dan karena saya percaya bahwa hal tertinggi yang dimiliki manusia adalah akal, maka berbanggalah para lelaki yang mampu menjunjung tinggi akalnya yang tak terbatas. Menjunjung tinggi akalnya bukan hanya berarti cerdas dalam bidang akademis tapi juga mampu dengan akalnya melihat manusia lain sebagai manusia, mampu menghargai eksistensi sendiri dan orang lain sebagai manusia. Sungguh kasihan orang-orang, terlebih laki-laki, yang tidak bisa memiliki idealisme/prinsip/orientasi dalam kehidupannya, lalu dengan dangkalnya ikut arus ini dan arus itu. Dude, 'Only dead fish swim with the stream' (Malcolm Muggeridge).
Jadi, jika mereka terus bertanya kapan saya cari pacar, dengan pacar didefinisikan sebagai pemenuhan makna keperempuanan saya, pemberian harga saya sebagai manusia, pengepasan kelamin dengan saya, pelampiasan hasrat seksualnya sebagai manusia, atau pelengkap kebutuhan agar dipandang baik oleh manusia lainnya, saya jawab bahwa saya tidak butuh pacar.
Saya lebih butuh subyek yang mau mendengarkan dan mau menyampaikan pendapat. Yang mengerti kenapa saya banyak bertanya. Yang menghargai pemikiran manusia. Dan mau membiarkan saya untuk mencoba mengerti pikirannya. Benar bahwa manusia jatuh cinta pada pikiran. I simply need companion. Itu aja. Enggak usah ribet-ribet. Memang manusia hobi sekali merumitkan segala sesuatu, tapi menggampangkan hal yang perlu ditilik dalam. Ha.
2 comments
you know,
ReplyDeletelebih ngeselin lagi kalo ada yang bilang, "lu ga laku ya? sampe sekarang kok gak ada pacar?"
yang menentukan gue mau atau enggak, gue siap atau enggak kan gue sendiri. kenapa begitu banyak orang yang ikut campur? dan emang setiap orang yang gak pacaran dibilang gak laku? please deh.
adanya hubungan atau enggak gak menjamin kebahagiaan kok. kalo pacaran bisa bikin happy, ga bakal ada kejadian rame2 berbondong-bondong ke KUA bawa2 surat cerai.
haha.
like your post, ell :)
"If you're not happy single, you won't be happy in any relationship. Happiness comes from within, not from men." Tos, Sisi (:
ReplyDelete