Bising Rawa Buaya

5/31/2011 09:18:00 PM

"Itu.. laki-lakimu?"
Ia melirik ke tubuh kurus yang berdiri di depan pagar, dua detik kedepan mengangguk pelan dengan gemetar.

"Apa agamanya?"

"Ia..."
Alis mata Ibu bertemu di tengah kening.

"Kenapa harus dipertanyakan agamanya, Bu?"

"Biar kamu tidak jadi seperti Ibu dan Bapak."

Si laki-laki masih berdiri di depan pagar, dengan kedua tangan menyusup ke dalam jumper biru dongker, sesekali bersiulan.
"Aku dan ia tidak berbeda, Bu."

Ibu menghela napas, kerut-kerut berkenduran.
"Apa ia rajin ke gereja?"

Si gadis menatap lama ke laki-lakinya. "Tolong aku," jerit matanya.
Si laki-laki balas menatap, berseru dalam diam, "Katakan saja." Tidak membantu.
"Ia tidak punya agama, Bu."

"KAFIR!" Ibu menjerit histeris.

"Lantas aku juga, Bu...."

"ANJING!!"

Respirasinya tercekat, sakit kepala dadakan. Pengang tertinggal lama di telinga.
Suara Ibu berubah jadi teriakan parau abang-abang kucel di pintu belakang Kopaja, diikuti bunyi klakson panjang di perempatan. Tukang minuman ribut-ribut berjaja di depan pintu.

Si gadis terjaga, nyaris kehabisan napas karena kejut. Kemejanya basah oleh peluh, udara senja Jakarta lembab sehabis hujan menguras oksigennya. Sumpek jalanan bercampur basah merecoki hidung. Ia melirik ke luar jendela, langit mendung tetap menggantung. Lampu berpendar merah bergerak ke hijau dengan cepat.
Ototnya tegang tak kunjung mengendur, duduk dengan kaku di bangku belakang Kopaja yang berderu digasi amarah supir. Si kenek masih memaki-maki. Ia ingin tidak peduli, namun Jakarta semakin riuh ketika senja tak kunjung berganti sunyi. Kepalanya tersandar ke bangku besi yang menyakitkan, tangan kirinya memegang halaman bertekuk Filsafat dan Iman Kristen buku I, dengan Aquinas berlarian di dalam kepalanya sejak sesaat sebelum ia jatuh tertidur.

Ia benci harus tertidur selagi membaca buku. Tidak, ia tidak pernah benci tidur yang telah menjadi kawan lama yang asing. Ia benci pikiran yang meracuni bawah sadarnya, yang telah lama mengubah ladang bunga tidurnya menjadi taman bermain absurditas. Mimpinya tidak lewat enam puluh detik, namun sepenuh hati menggelitik. "Aku bukan kafir," bantahnya sambil menyantaikan posisi duduk. Penumpang di deret seberang melirik ganjil. Apa?, serunya dalam hati, Aku tidak sedang membantahi egomu, kan?

Matanya merah dijerat rayuan untuk terpejam. Ia paksa buka, meski berakhir dengan nanar dan kantung mata yang berkedutan. Sakit kepala tidak lantas hilang. Otot di pelipisnya nyut-nyutan. Dengan berat ia membelalak, melempar pandang pada kunang-kunang besi dari mobil-mobil penyalur karbon.
Mimpi apa aku, keluhnya. Pun tetap mengerikan untuk terjaga satu kali dari mimpi tentang realita yang daripadanya ia berlari.

Hitam iris matanya pergi dari derajat bujur dan lintangnya kini berada. Ia terjaga, tingkat kedua.
Sambil mengelapi dahinya yang basah ia menguap. Bagus, keluhnya, tidak tertidur namun bisa terbangun. Tapi masih lebih baik daripada hidup dalam kebohongan.

Di dalam kepalanya hanya ada dua pilihan: mendampingi laki-laki idealis atau berpura telah ditakdirkan hidup sendiri. Menjadikan opsi nomor satu sebagai prioritas teratas sama artinya dengan menempatkan eksistensinya di nomor empat atau lima. Yang dikejar si laki-laki adalah dirinya sendiri, harusnya ia belajar. Yang menjadi obyek peduli adalah idealisme yang disanjung oleh diri, seharusnya ia mengerti. Apa artinya percakapan hingga jam enam pagi? Ia menertawai dirinya sendiri. Terkadang lelaki tak hanya buta, tapi juga tuli. Memang banyak yang dibagi, namun tidak kunjung membangun arti. Percakapan hingga jam enam pagi atau keakraban di depan mereka yang sebenarnya tidak ingin memata-matai. Laki-laki altruis saja kadang sama dengan mereka yang bermain dengan kesanjungan. Pada pikiran ia keburu jatuh cinta. Pada laki-laki yang mengalihkan wangi tembakau menjadi pesona, yang menjadikan kata liar sebagai logika, yang menjadikan jarak nyaris seperlima abad sebagai rayuan.

Nafasnya berkejaran. Klakson bersahut-sahutan mengisi udara jalanan. Tidak ada sepi di Jakarta, bahkan hingga ke tepinya. Sekejap ia memejamkan mata, kantuk memanggil untuk kembali dalam manjaan subkonsius. Si kenek nyaris terlempar ke tengah Kopaja sesaat supir menghentak rem mendadak.
Angkutan gila. Liar, Jakarta adalah liar; kita adalah sama dalam kebejatan, namun tidak pernah menjadikan kita sebagai kawan, bahkan pada diri sendiri kita bersanksi tentang kebenaran dan kemasukakalan.

Matanya kembali dipejamkan. Alis berkerutan. Klakson mobil masih bersahutan. Kopaja setrayek berkejaran. Bisingnya Jakarta pinggiran meninabobokan.
Joan Baez meraung lembut penuh ironi di dalam kepalanya sepanjang Rawa Buaya,  I must have thought that there was nothing more absurd than that love is just a four-letter word.
Ia memilih opsi nomor tiga: untuk menjadi bebas dan hidup sendiri.

You Might Also Like

1 comments

  1. Selepas bebas dari erangan mesin kopaja yang mencekam, kedua belah kakinya yang gontai terus melangkah; menjajaki rapuhnya tanah yang entah kapan bergoncang, karena tak kuat lagi menahan amuk pikiran manusianya yang tak lagi bisa bebas untuk memutuskan.

    Masih di tengah langkahnya, opsi ketiga untuk menjadi bebas dan hidup sendiri menari riang di tengah alam sadarnya.

    (*halah, ikut2an sok puitis) hehehe
    galau, nih?

    ReplyDelete

followers

Subscribe