­

Balada Kafein Tak Bertuan

5/30/2011 12:04:00 AM

Ada tertinggal di bibir kita yang menjadi asing di liku merah jambu yang baru. Perlahan kita sapu, menyisakan sedikit di lipatan bibir, mengikuti lunaknya kita berbicara sepanjang malam. Pukul 02.58 dan kita sama sepinya.
"Terbangun?"
"Ah, tidak."
"Kenapa tidak tidur?"
"Terlalu banyak kafein sore ini."
Kamu mengangguk, lalu tenggelam dalam pikiranmu sendiri.

Kadang kupikir, memang seharusnya kita menyesali asupan kafein yang menjadikan kita terjaga sedini ini. Malam menjadikan kesendirian kita nyata dan memanggil takut karenanya. Tapi menyadari bahwa kita adalah 'sendiri' masih lebih baik karena manusia yang ramai menjadikan nyata keindividuan kita. Manusiawi, sewaktu waktu kamu pernah berkata, tapi bukan pada takut seharusnya kita tunduk.

"Lalu seharusnya pada apa atau siapa? Tuhan?"
Percakapan kita beralih dengan gesa, sebagaimana biasa kita melalui ekspektasi-ekspektasi yang mengisi mimpi dan hari-hari.

"Entahlah," sahutmu.
Asap tipis melambung dari bilah bibir yang tak pernah menghitam. Kenapa?
Jika kafein gemar bersisa di bibir kita masing-masing, kenapa tembakau tidak? Ia lebih gemar tinggal di serat-serat mantel putih gading yang kukenakan di hari terakhir kita berbincang tentang ketamakan. Ia memanjai indera: sepanjang senja tak habis kuhirupi sisa ke-kamu-an yang tertinggal di pori dan benang-benang rajut.

"Apa yang kamu tahu tentang Tuhan-mu?"

Pipimu menirus menahan asap di dalam mulut. Sesudahnya mengepul putih sisa hirupan rokok di udara, selagi kamu tertawa, nyaris terbatuk.
"Bagaimana kalau aku tidak punya Tuhan?"

Sudah kuduga.

"Ya sudah, apa yang kamu tahu tentang Tuhan?"

"Kurang lebih Dia tidak ada?"

"Ah."

Tentang dunia, manusia, dan Tuhan yang mendasari keakalan manusia. Spesies kita. Dari ketidaktahuan kita berasal, kemudian Adam dan Hawa mengajarkan kita bahwa nilai sempurna hanya milik Tuhan. Aku ingat protesmu tentang Allah yang pelit. Tidak kutanggapi.

"Apa yang kamu tahu tentang Tuhanmu?"
Kamu balas bertanya dengan telunjuk dan ibu jari melengkuki lintingan rokok yang ketiga.

"Aku... hanya tidak banyak bertanya dan berbicara tentang-Nya, selain yang orang-orang lain ceritakan."

Seringkali aku terbiasa menjawab dengan tak acuh, tetapi kehendak bebas menjadikan kita masing-masing punya daftar pengecualian. Kamu ada di urutan teratas. Akan tetapi, pengecualian tetap menjadikan kita acuh. Berapa kali sarkasme mengisi senyumanmu? Aku tidak pernah bertanya. Berapa kali aku menjadi bodoh dan bukan apa-apa di matamu? Aku tidak pernah bertanya.
Aku hanya bertanya tentang keributan yang ada di dalam kepala, yang malah menjadikan aku adalah sepi. Bukan karena aku penyendiri, namun manusia lebih bahagia untuk menjadi tidak tahu dan berpura tidak peduli.
Aku sudah tidak lagi mengejar bahagia karena ketidaktahuan. Aku mengejar antusiasme yang mengisi hari-hariku dalam pertanyaan tentang kemanusiaan.
Biar kusampaikan bahwa aku adalah liar di dalam pikiran, kemudian terjelmakan dalam tulisan. Bukankah cinta kita pada kata dan bahasa yang membuat kita sama? Selebihnya, kita menyerahkan diri pada waktu dan semesta untuk menyusun kebetulan kosmis untuk berbincang.. seperti sekarang.

Benar jika kita mencari kawan. Siapa lagi yang butuh kekasih? Kita cukup menjadi sulit dalam pencukupan keseharian kita, tidak perlu mencari bahagia dengan membiayai lawan jenis. Pun bukan jadi soal jika hasrat kelaki-lakianmu dilampiaskan pada siapa saja. Sekedar menatap ke layar yang sesekali berkedip di gelap ruang kamarmu yang terkunci, bukankah sudah cukup? Maka aku tidak peduli dengan apa yang mereka sebut kekasih. Bukan itu yang aku cari.
Kita, aku dan kamu, telah sibuk oleh pertanyaan tentang bagaimana kita berasal. Sekali waktu, tak terduga kita sama dalam kekecewaan. Menjadi teman bermula dari berkata "Oh, kamu juga? Saya kira hanya saya", kata C.S. Lewis; dan kita membuktikannya. Meski demikian, untuk tenggelam dalam kata dan pikiran di gelapnya bola matamu yang menua, mungkin saja menjadi perkara lain yang tidak perlu kita pedulikan.

Pukul 05.06 dan aku menguap, mengutuki kafein yang memaksa kita untuk percaya bahwa untuk tidur bukanlah keperluan namun kemauan. Mengapa dengan mudah kita membiarkan diri dirobot-roboti hasil karya manusia yang lainnya? Tapi itulah hidup, bukan? Dan kesadaran yang kadang datang terlambat tetap saja bisa menjadi sebuah pelajaran. Betapa peliknya kebijaksanaan dewasa ini.

"Aku lapar."
"Makanlah," sahutmu singkat.
"Tidak mau."
"Kalau begitu tidur saja." Aku terbiasa dengan keketusan yang melatih aku menjajakan senyuman.

Aku tidak ingin tidur. Mungkin kafein yang menguasai aku untuk menjawab demikian, tapi bisa saja memang alam bawah sadarku yang benar-benar enggan. Sampai kapan kita membiarkan diri kita dibodoh-bodohi untuk berpikir bahwa kita bisa memiliki manusia yang lainnya? Bukankah kita sama-sama ingin menjadi manusia bebas? Atau hanya aku saja yang sebenarnya ngeri dengan komitmen yang tidak ada di atas kertas?
Kita tercerahkan dengan berada dimana-mana: dengan masuk ke pemikiran si A lalu ke B, lalu dengan girang memanjangkan sayap kita masing-masing untuk mencari jati diri yang sebenarnya tidak dipedulikan orang lain. Kita bahagia atas label-label yang berani kita copotkan dari masyarakat. Kita bangga karenanya. Kita bisa saja bercakap-cakap tentang alasan di baliknya lain waktu, ketika kepalaku tidak seberat sekarang ini.
Mungkin berat karena terbeban paksaan tak kasat mata untuk terus berpikir dan tidak terlihat bodoh, tapi untuk memaksa diri terus terjaga hingga sepagi ini saja sudah menyuarakan irasionalitas kita sendiri-sendiri. Tapi kadang untuk menikmati kita tidak butuh alasan lagi. Bukankah absurditas adalah absolut dan ketidakpastian adalah pasti?
Biarkan diri kita bicara ke sana dan ke sini. Peduli apa kita pada arti? Ah, mungkin kamu dengan prinsip-prinsipmu iya, tapi aku belum. Salah? Entah, kita bicara saja tentang relativitas yang kamu sanggupi sebagai bagian dari kehidupan.

Absurd.. Absurd..
Bicara kita semakin tak jelas (menurut mereka pasti demikian), tapi kita kan hanya sedang bicara tentang realita? Dan dalam ketiadaberartian ini yang menjadikan kita nyaris serupa, ketika dunia tidak menganggap kita pernah ada.

Enam puntung rokok bersisa di atas asbak keramik bercat merah yang retak. Geretan rebah di samping tanganmu yang buku-buku jari kurusnya bergelagat semacam menatap aku balik dengan ketus. Kita sama-sama berada di antara nilai dan norma, dan mempertanyakan cara merubuhkan benteng tinggi sebagai jedanya. Aku sedang berbicara tentang masa.

"Aku mengantuk."
"Aku juga," jawabmu.

Malam menjadi begitu dingin ketika kita mengendurkan diri. Menggigil sebentar, lalu menarik selimut. Cangkir ungu tertinggal di ujung meja, masih ada kopi yang tersisa. Tegukan terakhir. Kecapannya kembali bersisa di bibir, meski sudah tidak ada lagi panas yang bersisa, hanya kafein yang berbekas di bibir kita: berjam-jam lalu mengikuti kita bicara tentang segala dan enggan untuk dilupa.
Aku menggulung diri di bawah selimut, semakin dingin. Hari sudah pagi, tapi kita sama-sama terdisorientasi. Seprei menatapi, beradu pandang dalam spasi panjang pada kafein yang juga bersisa di pipi.
Lampu kamar sudah lama padam. Layar masih berkedipan. Kita berdekapan, dengan 65 kilometer jauhnya ketubuhan kita.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe