12/15/2010 10:17:00 AM

betapa melelahkannya hidup dalam proyeksi yang bukan visi-visi kita sendiri. pada kemulukan mimpi untuk menjadi yang orang cintai adalah rodhi bagi batin dan fisik.
kepada siapa saya harus bertanya?
saya berbicara tentang kebebasan dan bercita meneriakkan hak asasi,
tapi bebas tak lagi saya kendali. sudah sejak berhari lalu,
saya sudah mati.


sini, padamu, bahagia ingin kuberi.
pada diri sendiri aku lupa pun juga punya mimpi. tapi kubilang, "biarkan saya. ada hati yang menuntutmu untuk meninggalkannya sekarang. mimpimu masih menunggu, jika ia memang masih berdiri di garis hidupmu yang sama, tapi hati mereka yang menginginkan gerakmu, tak bisa menunggu."

lalu saya terjebak pada miskonsepsi tentang
kebahagiaan
dan
kebebasan

saya lelah menghakimi diri sendiri
saya lelah melupakan diri sendiri
pun,
saya lelah menahan-nahan penolakan terhadap diri saya sendiri.

seperti ini yang kubilang,
hidup dalam lupa dan pura-pura tidak mendengar adalah kelegaan, dalam artiannya yang kadang ditolakkan.
bagaimana?
telingaku peduli, tapi saya letih. tapi hati -entah ia memang sudah mati atau memang sudah lupa aku ada diri- memaksa bibir memutar 'tidak' menjadi 'iya'.
saya ingin menjadi tidak peduli.
saya ingin menjalani hidup sendiri.
tanpa mengejar proyeksi orang-orang di kanan kiri;
biar proyeksi mimpi saya yang tegak berdiri, minta direalisasi.

mengapa super-ego harus selalu mengalahkan ego? barang sesekali, tidak bisakah saya terbebas dari tuntutan-tuntutan yang melelahkan ini?
tanda tanya besar pada penolakan atas jawaban yang rasional. tanda tanya besar pada penolakan atas jawaban yang kubentengi naluri manusiawi.
tanda tanya besar pada manusia yang tidak pernah mau mengerti.

pada dunia yang inginnya berlebih,
kamu bahagia sekarang?

saya ingin berhenti. saya ingin tidak peduli. ingin saya yang sekarang menunggu giliran dicapai.

saya ingin.
karena saya letih.

saya ingin,
tapi saya terhakimi.


selamat datang, alienasi.
selamat tinggal, diri.

You Might Also Like

0 comments

followers

Subscribe