men with cracked hearts
9/15/2010 06:18:00 PM
Saya dengan kaget mendapati diri dalam keheningan menangis di tengah malam di hari pemberitaan penusukan seorang Penatua Gereja dan pemukulan Pendeta HKBP Ciketing, Bekasi; belum ada seminggu dari pidato Presiden mengenai pembakaran Al-Quran yang direncanakan oleh Pendeta Terry Jones di United States. Malam itu, sebelum tidur, saya menghabiskan waktu di kasur membaca Jalur Gaza karya Trias Kuncahyono yang berisi gambaran kepedihan korban agresi militer Israel yang menyayat hati.
Pada saat itu saya menyadari betapa manusia telah menghancurkan kemanusiaannya sendiri.
Berkaitan dengan berita penusukan (yang sampai ke New York Times), beberapa isu berlalu lalang di timeline Twitter saya: ada yang mengatakan kriminal murni, konflik agama, penyebaran teror yang berlatar belakang perebutan lahan, upaya pemicuan isu SARA, dan hal-hal lain yang terlalu memuakkan untuk menjadi alasan sebuah penganiyaan.
Sebelumnya, saya pernah mengunjungi sebuah website yang berisi penghasutan untuk membakar Al-Quran. Artikel-artikel yang mengerikan dengan unsur-unsur provokatif yang dibuat oleh orang yang sama sekali tidak bisa disebut beragama atau berTuhan, dibuat oleh orang yang berpikir dia adalah segala-galanya. Ia sedang menghujat Tuhan dengan ingin menghancurkan perwahyuan yang disampaikan pada Rasul agama lain. Menyedihkan.
Bukan persoalan yang ditusuk dan dipukul adalah seorang Kristiani atau bukan. Bukan permasalahan yang terobsesi untuk membakar Al-Quran adalah seorang Kristen atau bukan. Ini bukan “saudara satu agama” saya. Ini tentang hati manusia-manusia yang telah terkoyakkan oleh ego dan yang telah terkoyakkan dengan menyaksikan kehancuran nurani manusia yang lain.
Betapa agama hanya menjadi label bagi sebagian (besar?) orang di negeri ini, di luar konteks upaya pembakaran Al-quran tadi. Saya jadi teringat lagi dengan rencana pembubaran Ahmadiyah yang dianggap sesat, dan terlintas lagi anarkisme yang dilakukan warga pada tempat peribadatan mereka. Oh, ya, lihat bagaimana FPI atas nama keagamaan dengan membabi buta bertindak anarkis untuk menghakimi. Lihat bagaimana gereja-gereja urung dibangun karena perizinan yang dipersulit dan ditarik terlalu banyak pungutan liar. Lihat bagaimana nama Buddha pernah dijadikan nama bar yang seringkali diidentikkan dengan kemaksiatan. Lihat bagaimana satu sosok dewa Hindu pernah dijadikan desain pada sandal yang akan diinjak-injak orang.
Apakah itu adalah hal yang patut dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya ber-Tuhan?
Pikirkan.
Saya percaya semua orang yang secara resmi disebut warga negara Indonesia pasti memiliki Kartu Tanda Penduduk dengan pilihan “Agama” yang ikut tertera di sana.
Seringkali pertanyaan ini muncul di kepala saya, “Jadi begitukah mereka melihat Agama? Untuk sekedar memberi label pada diri mereka sendiri?” Atau apa? Untuk menunjukkan loyalitas pada yang Esa, tak peduli bagaimanapun salahnya? Mereka mengingatkan saya pada aksi bom Bali I dan II.
Tuhan mana yang mengajarkan kehancuran atas sesama? Sungguh lucu melihat mereka melihat agama sebagai sebuah dogma yang absolut tanpa mau repot-repot merelevansikannya dengan keadaan yang sebenarnya. Nietzsche boleh menyebut orang Kristen bermental budak, tapi menurut saya, orang yang beragama yang serta-merta mau disetir oleh doktrin keagamaan dengan menerima segala perintah mentah-mentahlah yang bermental budak.
Saya tidak sedang bicara tentang pembangkangan atas hukum-hukum keagamaan.
Saya sedang bicara bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Pedoman norma dan moral? Hah, tengok lagi apa yang banyak saudara kita lakukan di luar sana: memberi cinta yang berbeda pada kelompok teman yang kebetulan berbeda keyakinan, atau pemberian cap-cap kekafiran pada yang berbeda agama, atau pelecehan terhadap keyakinan akan Tuhan dalam ajaran yang berbeda, mementingkan mereka yang beragama sama karena dianggap “saudara”, mengagung-agungkan keyakinannya sebagai kebenaran satu-satunya, menghancurkan manusia yang lain dengan berdasar pada pembelaan agamanya, dan hal-hal lain yang jauh dari ‘kepantasan’.
Keselamatan? Saya percaya sepenuhnya ini yang banyak dipikirkan umat beragama juga, yang percaya hari Kiamat itu akan datang, berkaitan dengan siapa yang akan dibawa pada kehidupan kekal atau pada kebinasaan dan penderitaan yang abadi.
Yang paling menyakitkan hati adalah melihat mereka yang akhirnya melakukan hal-hal yang ‘pantas’ sebagai seorang beragama, “Saya harus berbuat demikian” dengan berangkat dari:
“…karena saya ingin mendapatkan pahala.” Atau “..karena saya ingin diselamatkan” atau “…karena saya ingin menjadi yang paling unggul dalam mematuhi aturan agama.” Bukan karena “Tuhan telah terlebih dahulu mencintai saya, maka saya membaginya dengan yang lain.”
Bukankah dengan terus berangkat dari alasan-alasan tadi untuk berbuat baik, kita sedang menunjukkan keinginan kita untuk mendapat pamrih? Kalau tidak ada konsep tentang surga dan neraka, masihkah mau berbuat baik? Jika tidak ada pewahyuan tentang kesengsaraan pada hari Kiamat, masihkah kita mau berbuat baik bagi sesama? Jika Dia tidak membeberkan hukuman apa yang akan kita terima karena perbuatan jahat, masihkah kita mau menahan diri dari segala godaan?
Sedikit ekstrim, bacalah apa yang saya temukan di dashboard Tumblr saya: Hak dan Kewajiban Moral Ateis, yang mereka lakukan atas kehendak bebas mereka bukan karena ada suatu tuntutan yang menekan. Saya bukan menyebarkan paham ateisme yang seringkali terasa jauh di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia yang demikian hebatnya dalam menanamkan pendidikan agama sebagai sesuatu yang HARUS, bahkan saya sendiri bersekolah dari TK sampai SMA di sekolah berbasis Katolik.
Bicara tentang ini; saya sendiri akrab dengan pernyataan “Saya ateis.” Beberapa orang yang saya kenal, atau strangers yang saya temui di Twitter / Tumblr menjadikan pernyataan itu sebagai sesuatu yang “biasa” (ya, dalam tanda kutip). Lalu, bagaiman seharusnya saya bereaksi? Apakah saya harus membenci mereka? Haruskah saya menjadikan mereka musuh? Haruskah saya mengucilkan mereka, memasang tembok batas di sekeliling saya, sebagaimana teman-teman saya mengusulkan?
Ketika kita menjawabnya dengan “Ya”, seorang ateis yang mungkin sedang membaca ini akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana rapuhnya keimanan kita yang takut akan luntur yang oleh karena perkataannya kita khawatirkan akan menghancurkan perkataan hati kita sendiri tentang keluarbiasaan Tuhan.
Katakanlah, seorang lacur. Ia menjadi buruk di mata orang yang beriman, tapi menjadi baik di mata penikmat. Ateis menjadi begitu buruk di mata orang-orang yang memiliki agama, namun menjadi baik bagi mereka yang sedang mencari makna eksistensi mereka tanpa harus bersandar pada Tuhan. Sama sekali tidak bermaksud menyamakan ateis dengan lacur. Tidak sama sekali. Saya menghormati mereka selayaknya manusia pantas dan berhak dihormati whoever they believe they are. “Menjadi benar” adalah “Menjadi sesuatu yang relatif.”
Apakah lacur tak layak hidup dan mencari jalan kehidupannya sendiri?
Apakah lacur tak memiliki kebebasan untuk menentukan hatinya sendiri?
Apakah lacur tak berhak untuk menjadi bagian dari komunitas manusia di semesta ini?
Namun apakah lacur tak memiliki hak untuk mendapat kehidupan yang layak dengan bertumpu hanya pada norma dan moral sebagaimana agama kita ajarkan?
Mereka berhak hidup dengan jalan mereka sendiri. Mereka berhak atas kebabasan untuk menjalaninya dengan hati mereka sendiri. Mereka berhak dan memang tanpa perlu ditanyakan, adalah bagian dari komunitas manusia dalam konteks sekompleks apapun. DAN mereka tetap memiliki hak untuk mendapat kehidupan yang layak, untuk menjadi baik, dan diselamatkan seperti yang agama kita ajarkan. Katakan sekarang, agama mana yang tidak pernah mengajarkan bahwa Tuhan adalah pemaaf dan penyayang, yang akan tetap mencari milik-Nya (manusia) untuk kembali pada-Nya?
Membenci manusia berarti lari dari tanggung jawab untuk mengasihi manusia.
Menjauhi manusia berarti lari dari tanggung jawab untuk membagi kasih sayang Tuhan.
Menghakimi manusia berarti lari tanggung jawab untuk tetap menjadi rendah hati, bukannya malah menonjolkan “Lihat, saya paling benar di antara kamu sekalian.”
Namun, membiarkan orang tetap pada jalan yang kita anggap salah, meski kadang membingungkan dan merepotkan, juga berarti lari dari tanggung jawab untuk ikut menyebarkan cinta Tuhan.
Saya pikir demikian sepantasnya agama dilihat oleh pemeluknya. Banyak aspek yang mestinya diperhatikan dalam penerapannya. Kita memang kadang berbeda dalam beberapa hal, tapi sama dalam satu ciptaan: Human. Toh, Kitab tidak memberi makan orang yang lapar kan? Bagaimana ajaran dari yang tertulis di Kitab itulah yang menjadikan kita kenyang, baik secara rohani maupun jasmani, yang dalam pencapaian “kenyang” ini membutuhkan proses yang tak singkat dan sederhana, kan?
Jadi saya pikir, ateis (ya..cakupkan juga lah agnostis sekalian), jika kita ingin membuang keegoisan dan menyisakan sedikit waktu untuk menyimak, sebenarnya secara tidak langsung memberi pelajaran pada beberapa dari kita yang telah atau sedang menjadikan ajaran Tuhan semata sebagai label atau kesempatan untuk mewujudkan segala yang ego kita inginkan tanpa dipikirkan ulang, menjadikannya sebuah cela, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kefanatikan sendiri kan sebenarnya tidak jauh beda dengan menghujat Tuhan, hanya dalih-nya saja yang membuatnya terdengar “suci”.
Tidak usah terlalu picik mengartikan saya pro-ateis. Toh, saya sendiri mempercayai keberadaan Tuhan and His omnipotence doesn’t matter what those people say. Saya hanya ingin mengajak kita sama-sama bercermin pada hati kita masing-masing.
Sudah cukupkah kita menyakitkan hati Tuhan dengan segala ketidakmanusiaan ini? Sudah cukupkah nama-Nya kita jadikan kambing hitam atas kerasnya ego pribadi kita? Sudah cukupkah kita menghancurkan hati manusia lain dengan segala kekeraskepalaan kita yang salah ini?
Saya bukan orang yang sempurna dalam keagamaan, bukan juga sempurna dalam mengamalkan moral-moral baik di setiap hal, tapi setidaknya saya memiliki hati, begitu pun manusia-manusia lain, yang selain untuk memenuhi kepenuhan hati sendiri, juga untuk memenuhi hasrat kebersamaan. Saya bicara seperti ini bukan untuk mengatakan bahwa sayalah yang terhebat. Saya tidak sebaik yang orang pikir. Toh perkataan itu mudah, permulaan untuk melaksanakannya yang sulit. Saya hanya memiliki keinginan kecil, agar kita bisa sama-sama saling mengingatkan.
Stop pretending your ego which you think is louder than your voice within is the only one you’re supposed to trust. Everyone else has same need also: happiness. We all, with no exception, deserve it. Just try to stop breaking somebody’s heart with inhumanity, won’t we?
Pada saat itu saya menyadari betapa manusia telah menghancurkan kemanusiaannya sendiri.
Berkaitan dengan berita penusukan (yang sampai ke New York Times), beberapa isu berlalu lalang di timeline Twitter saya: ada yang mengatakan kriminal murni, konflik agama, penyebaran teror yang berlatar belakang perebutan lahan, upaya pemicuan isu SARA, dan hal-hal lain yang terlalu memuakkan untuk menjadi alasan sebuah penganiyaan.
Sebelumnya, saya pernah mengunjungi sebuah website yang berisi penghasutan untuk membakar Al-Quran. Artikel-artikel yang mengerikan dengan unsur-unsur provokatif yang dibuat oleh orang yang sama sekali tidak bisa disebut beragama atau berTuhan, dibuat oleh orang yang berpikir dia adalah segala-galanya. Ia sedang menghujat Tuhan dengan ingin menghancurkan perwahyuan yang disampaikan pada Rasul agama lain. Menyedihkan.
Bukan persoalan yang ditusuk dan dipukul adalah seorang Kristiani atau bukan. Bukan permasalahan yang terobsesi untuk membakar Al-Quran adalah seorang Kristen atau bukan. Ini bukan “saudara satu agama” saya. Ini tentang hati manusia-manusia yang telah terkoyakkan oleh ego dan yang telah terkoyakkan dengan menyaksikan kehancuran nurani manusia yang lain.
Betapa agama hanya menjadi label bagi sebagian (besar?) orang di negeri ini, di luar konteks upaya pembakaran Al-quran tadi. Saya jadi teringat lagi dengan rencana pembubaran Ahmadiyah yang dianggap sesat, dan terlintas lagi anarkisme yang dilakukan warga pada tempat peribadatan mereka. Oh, ya, lihat bagaimana FPI atas nama keagamaan dengan membabi buta bertindak anarkis untuk menghakimi. Lihat bagaimana gereja-gereja urung dibangun karena perizinan yang dipersulit dan ditarik terlalu banyak pungutan liar. Lihat bagaimana nama Buddha pernah dijadikan nama bar yang seringkali diidentikkan dengan kemaksiatan. Lihat bagaimana satu sosok dewa Hindu pernah dijadikan desain pada sandal yang akan diinjak-injak orang.
Apakah itu adalah hal yang patut dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya ber-Tuhan?
Pikirkan.
Saya percaya semua orang yang secara resmi disebut warga negara Indonesia pasti memiliki Kartu Tanda Penduduk dengan pilihan “Agama” yang ikut tertera di sana.
Seringkali pertanyaan ini muncul di kepala saya, “Jadi begitukah mereka melihat Agama? Untuk sekedar memberi label pada diri mereka sendiri?” Atau apa? Untuk menunjukkan loyalitas pada yang Esa, tak peduli bagaimanapun salahnya? Mereka mengingatkan saya pada aksi bom Bali I dan II.
Tuhan mana yang mengajarkan kehancuran atas sesama? Sungguh lucu melihat mereka melihat agama sebagai sebuah dogma yang absolut tanpa mau repot-repot merelevansikannya dengan keadaan yang sebenarnya. Nietzsche boleh menyebut orang Kristen bermental budak, tapi menurut saya, orang yang beragama yang serta-merta mau disetir oleh doktrin keagamaan dengan menerima segala perintah mentah-mentahlah yang bermental budak.
Saya tidak sedang bicara tentang pembangkangan atas hukum-hukum keagamaan.
Saya sedang bicara bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Pedoman norma dan moral? Hah, tengok lagi apa yang banyak saudara kita lakukan di luar sana: memberi cinta yang berbeda pada kelompok teman yang kebetulan berbeda keyakinan, atau pemberian cap-cap kekafiran pada yang berbeda agama, atau pelecehan terhadap keyakinan akan Tuhan dalam ajaran yang berbeda, mementingkan mereka yang beragama sama karena dianggap “saudara”, mengagung-agungkan keyakinannya sebagai kebenaran satu-satunya, menghancurkan manusia yang lain dengan berdasar pada pembelaan agamanya, dan hal-hal lain yang jauh dari ‘kepantasan’.
Keselamatan? Saya percaya sepenuhnya ini yang banyak dipikirkan umat beragama juga, yang percaya hari Kiamat itu akan datang, berkaitan dengan siapa yang akan dibawa pada kehidupan kekal atau pada kebinasaan dan penderitaan yang abadi.
Yang paling menyakitkan hati adalah melihat mereka yang akhirnya melakukan hal-hal yang ‘pantas’ sebagai seorang beragama, “Saya harus berbuat demikian” dengan berangkat dari:
“…karena saya ingin mendapatkan pahala.” Atau “..karena saya ingin diselamatkan” atau “…karena saya ingin menjadi yang paling unggul dalam mematuhi aturan agama.” Bukan karena “Tuhan telah terlebih dahulu mencintai saya, maka saya membaginya dengan yang lain.”
Bukankah dengan terus berangkat dari alasan-alasan tadi untuk berbuat baik, kita sedang menunjukkan keinginan kita untuk mendapat pamrih? Kalau tidak ada konsep tentang surga dan neraka, masihkah mau berbuat baik? Jika tidak ada pewahyuan tentang kesengsaraan pada hari Kiamat, masihkah kita mau berbuat baik bagi sesama? Jika Dia tidak membeberkan hukuman apa yang akan kita terima karena perbuatan jahat, masihkah kita mau menahan diri dari segala godaan?
Sedikit ekstrim, bacalah apa yang saya temukan di dashboard Tumblr saya: Hak dan Kewajiban Moral Ateis, yang mereka lakukan atas kehendak bebas mereka bukan karena ada suatu tuntutan yang menekan. Saya bukan menyebarkan paham ateisme yang seringkali terasa jauh di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia yang demikian hebatnya dalam menanamkan pendidikan agama sebagai sesuatu yang HARUS, bahkan saya sendiri bersekolah dari TK sampai SMA di sekolah berbasis Katolik.
Bicara tentang ini; saya sendiri akrab dengan pernyataan “Saya ateis.” Beberapa orang yang saya kenal, atau strangers yang saya temui di Twitter / Tumblr menjadikan pernyataan itu sebagai sesuatu yang “biasa” (ya, dalam tanda kutip). Lalu, bagaiman seharusnya saya bereaksi? Apakah saya harus membenci mereka? Haruskah saya menjadikan mereka musuh? Haruskah saya mengucilkan mereka, memasang tembok batas di sekeliling saya, sebagaimana teman-teman saya mengusulkan?
Ketika kita menjawabnya dengan “Ya”, seorang ateis yang mungkin sedang membaca ini akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana rapuhnya keimanan kita yang takut akan luntur yang oleh karena perkataannya kita khawatirkan akan menghancurkan perkataan hati kita sendiri tentang keluarbiasaan Tuhan.
Katakanlah, seorang lacur. Ia menjadi buruk di mata orang yang beriman, tapi menjadi baik di mata penikmat. Ateis menjadi begitu buruk di mata orang-orang yang memiliki agama, namun menjadi baik bagi mereka yang sedang mencari makna eksistensi mereka tanpa harus bersandar pada Tuhan. Sama sekali tidak bermaksud menyamakan ateis dengan lacur. Tidak sama sekali. Saya menghormati mereka selayaknya manusia pantas dan berhak dihormati whoever they believe they are. “Menjadi benar” adalah “Menjadi sesuatu yang relatif.”
Apakah lacur tak layak hidup dan mencari jalan kehidupannya sendiri?
Apakah lacur tak memiliki kebebasan untuk menentukan hatinya sendiri?
Apakah lacur tak berhak untuk menjadi bagian dari komunitas manusia di semesta ini?
Namun apakah lacur tak memiliki hak untuk mendapat kehidupan yang layak dengan bertumpu hanya pada norma dan moral sebagaimana agama kita ajarkan?
Mereka berhak hidup dengan jalan mereka sendiri. Mereka berhak atas kebabasan untuk menjalaninya dengan hati mereka sendiri. Mereka berhak dan memang tanpa perlu ditanyakan, adalah bagian dari komunitas manusia dalam konteks sekompleks apapun. DAN mereka tetap memiliki hak untuk mendapat kehidupan yang layak, untuk menjadi baik, dan diselamatkan seperti yang agama kita ajarkan. Katakan sekarang, agama mana yang tidak pernah mengajarkan bahwa Tuhan adalah pemaaf dan penyayang, yang akan tetap mencari milik-Nya (manusia) untuk kembali pada-Nya?
Membenci manusia berarti lari dari tanggung jawab untuk mengasihi manusia.
Menjauhi manusia berarti lari dari tanggung jawab untuk membagi kasih sayang Tuhan.
Menghakimi manusia berarti lari tanggung jawab untuk tetap menjadi rendah hati, bukannya malah menonjolkan “Lihat, saya paling benar di antara kamu sekalian.”
Namun, membiarkan orang tetap pada jalan yang kita anggap salah, meski kadang membingungkan dan merepotkan, juga berarti lari dari tanggung jawab untuk ikut menyebarkan cinta Tuhan.
Saya pikir demikian sepantasnya agama dilihat oleh pemeluknya. Banyak aspek yang mestinya diperhatikan dalam penerapannya. Kita memang kadang berbeda dalam beberapa hal, tapi sama dalam satu ciptaan: Human. Toh, Kitab tidak memberi makan orang yang lapar kan? Bagaimana ajaran dari yang tertulis di Kitab itulah yang menjadikan kita kenyang, baik secara rohani maupun jasmani, yang dalam pencapaian “kenyang” ini membutuhkan proses yang tak singkat dan sederhana, kan?
Jadi saya pikir, ateis (ya..cakupkan juga lah agnostis sekalian), jika kita ingin membuang keegoisan dan menyisakan sedikit waktu untuk menyimak, sebenarnya secara tidak langsung memberi pelajaran pada beberapa dari kita yang telah atau sedang menjadikan ajaran Tuhan semata sebagai label atau kesempatan untuk mewujudkan segala yang ego kita inginkan tanpa dipikirkan ulang, menjadikannya sebuah cela, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kefanatikan sendiri kan sebenarnya tidak jauh beda dengan menghujat Tuhan, hanya dalih-nya saja yang membuatnya terdengar “suci”.
Tidak usah terlalu picik mengartikan saya pro-ateis. Toh, saya sendiri mempercayai keberadaan Tuhan and His omnipotence doesn’t matter what those people say. Saya hanya ingin mengajak kita sama-sama bercermin pada hati kita masing-masing.
Sudah cukupkah kita menyakitkan hati Tuhan dengan segala ketidakmanusiaan ini? Sudah cukupkah nama-Nya kita jadikan kambing hitam atas kerasnya ego pribadi kita? Sudah cukupkah kita menghancurkan hati manusia lain dengan segala kekeraskepalaan kita yang salah ini?
Saya bukan orang yang sempurna dalam keagamaan, bukan juga sempurna dalam mengamalkan moral-moral baik di setiap hal, tapi setidaknya saya memiliki hati, begitu pun manusia-manusia lain, yang selain untuk memenuhi kepenuhan hati sendiri, juga untuk memenuhi hasrat kebersamaan. Saya bicara seperti ini bukan untuk mengatakan bahwa sayalah yang terhebat. Saya tidak sebaik yang orang pikir. Toh perkataan itu mudah, permulaan untuk melaksanakannya yang sulit. Saya hanya memiliki keinginan kecil, agar kita bisa sama-sama saling mengingatkan.
Stop pretending your ego which you think is louder than your voice within is the only one you’re supposed to trust. Everyone else has same need also: happiness. We all, with no exception, deserve it. Just try to stop breaking somebody’s heart with inhumanity, won’t we?

0 comments